Sabtu, 20 September 2014

Apa Masih Dan Akan Selalu Untuk Aku?



                “Bagaimana bisa kamu menyembunyikan semua itu, Sam?” Mungkin itu akan slalu keluar dari pertanyaan Joni, sahabatku dari kecil. Dia tahu bahkan sebelum aku secara jujur menceritakan semua ini kepadanya, aku memang tak selamanya bisa sembunyi dan lari dari perasaanku sendiri apalagi hanya karena sebuah alasan aku tak ingin sang mawar merahku pergi menjauhiku. Aku slalu frustasi kalau harus mengingat sedalam ini aku mencintainya, namun aku tak bisa memilikinya. Bukan tak bisa, hanya saja aku yang terlalu lemah untuk itu semua, terlalu bodoh karena terpaku pada alasan bodoh yang kubuat sendiri. Oh Tuhan, kenapa aku harus selemah ini terhadap orang yang aku cintai yang secara jelas juga mencintaiku secara tulus. Masih kurangkah waktu selama 10 tahun untuk aku terus menjadi pengecut, yang slalu bersembunyi darinya dan mencari mangsa lain yang tak pernah bisa membuatku menggapai kebahagiaan murni ketika aku bersama nya.

                Semalaman aku terjaga ketika harus kembali mengingat kejadian sore itu. Dimana ketika aku dan Joni sedang asyik minum kopi di café dekat alun-alun kota, tiba-tiba Joni menunjuk seorang gadis biasa namun slalu bisa membuat hatiku berdebar entah sejak 10 tahun yang lalu. Ya, gadis itu adalah Rara, cinta pertama yang kutemukan pada masa pertama SMP. Kami begitu dekat hingga perasaan yang kumiliki untuknya tumbuh begitu saja. Sayang sekali gadis itu kini tak sendiri, sore itu dia berjalan dengan bahagianya bersama lelaki yang sangat serasi dengannya, andai saja yang sedang berjalan dan beranda disampinya adalah aku. Selama ini aku selalu menghindarinya, sejak lulus SMA aku tak pernah mengikuti acara reuni yang kebetulan sejak SMP sampai SMA kami berada pada satu kelas yang sama. Itulah bodohnya aku, sampai Joni sahabat yang paling mengerti akupun tak habis fikir dengan sikapku selama ini terhadapnya. 

                Pagi ini kuhabiskan waktu ku di toko buku milikku, yang ku bangun atas saran mama karena aku juga hobi membaca buku. Kusibukkan diriku dengan tumpukan buku yang harus aku cek keadaannya, slalu dengan cara menyibukkan diri aku bisa sedikit lupa dengan masalahku.
“Pagi Rahma, pagi Anton.” Sapaku ramah terhadap dua pegawaiku.
“Pagi mas.” Jawab mereka bersamaan disertai senyuman tulus. Ya mereka ku suruh memanggil mas, daripada aku harus dipanggil pak? Umurku tak setua itu.
“Oh iya mas, kiriman dari pernerbit sudah datang tadi. Mau di cek sekarang?” Anton membuka percakapan diantara kami
“Oke, kalian bantu saya ya.” Jawabku sembari mencari buku yang berisi catatan stok toko buku ku.
“Siap mas.” Jawab mereka semangat.
Dibantu oleh Rahma dan Anton yang sudah ku anggap sebagai adikku sendiri, aku mengecek buku satu per satu hingga tak kusadari waktu makan siang telah lewat. Kulihat Rahma dan Anton telah kembali dari istirahat makan siangnya secara bergantian, kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 14.03 dan aku belum makan siang juga tadi pagi belum sempat sarapan. Setelah membereskan sebagian data,aku pamit pada Rahma dan Anton untuk keluar makan siang di café  dekat toko buku.  
“Aku keluar makan sebentar ya, ntar kalau ada apa-apa tinggal hubungi mas aja.” Pamitku pada Rahma dan Anton
“Baik mas.” Jawab Rahma, sedang Anton hanya mengangguk karena sedang melayani pembeli.
Sedang asyik makan, ada pesan dari Joni yang isinya mengajakku untuk ikut acara reuni SMA yang akan diadakan minggu ini di rumahnya. Sebenarnya aku malas untuk ikut acara itu, tapi Joni mengingatkanku bahwa aku sudah 4 kali mangkir dari reuni SMA dan 7 kali mangkir dari reuni SMA. Aku menghela nafas tak bersemangat lagi untuk makan, setelah menerima 2 pesan dari Joni, belum sama sekali aku balas 2 pesannya tadi dia mengirimkan pesan baru yang membuatku antara senang atau sedih. Isi pesannya memaksaku datang karena Rara tak akan menghadiri acara reuni kali ini karena harus terbang ke Jakarta ada acara keluarga, jadi tak ada alasan lagi untuk aku menghindari acara ini karena satu alasan terkuat adalah aku menghindari Rara. Dengan terpaksa aku me-reply pesan Joni dan menyetujui undangannya, itu artinya aku akan datang pada acara reuni tahun ini.
“Ya kita lihat aja nanti, semoga mood ku sedang bagus untuk hadir.” Gumamku tak jelas.

                Minggu jam setengah Sembilan pagi aku sampai dirumah Joni, belum banyak yang datang karena memang acaranya akan dimulai masih setengah jam lagi. Banyak wajah yang tak kukenali karena sudah lama tak bertemu, mungkin yang ku ingat adalah Joni, Romi, Boim, dan Rico yang merupakan teman sekampusku dulu. Setengah jam kemudian rumah Joni telah ramai, ada yang membawa serta pacar, isteri bahkan anak mungkin hanya beberapa yang datang sendiri. Aku tertawa geli mengingat bagaimana mereka sewaktu masih di bangku sekolah, tapi kini naluri ayah serta ibu telah melekat sempurna di wajah mereka. Acara reuni kelasku memang tak heboh hanya di isi oleh makan-makan dan juga ngobrol bareng meski sering kali malah ada yang curhat dan gossip. Kini aku berada di ruang tengah rumah Joni bersama Ayu, Lala, Romi, Boim, dan Rico teman sebangku ku dari kelas X sampai XII.
“Jadi pada sibuk ngapain sekarang?” tanya Lala membuka pembicaraan
“Aku sih lagi sibuk nerusin S2, La. Pengen cepet lulus, kerja terus nikah gitu.” Jawaban Romi membuat kami tertawa, sang jenius sudah mulai mikir pernikahan ternyata.
“Kalau aku bantuin mama di bisnis salonnya, lumayankan bisa jadi penerus keluarga.” Ya Ayu adalah anak pemilik salon terkenal di kota kami, bakatnya terlihat sejak SMA dimana dia sering mendandani teman-temannya saat acara kartini atau pemilihan miss sekolah.
“Boim lagi sibuk persiapan pernikahan, nanti kalian semua harus dating ya bawa pasangan masing-masing.” Boim memberikan jawabannya, sungguh di luar dugaan Boim yang slalu dihindari cewek-cewek untuk diajak pacaran karena gendut tapi slalu slalu baik kok jadi temen malah mau nikah, kalah dah ni cowok ganteng gumamku dalam hati.”
“Kalau aku ngurusin toko buku ku, lumayanlah walaupun masih kecil. Kan sayang juga punya hobi baca gak di tularin.” Kini giliranku memberi jawaban.
“Wah enak tuh, ntar kalau gue mau hunting buku ke toko buku kamu aja ya Sam. Kali aja dapat gratisan.” Jawab Lala yang disetujui oleh teman lain.
“Ya enak ya yang masih jomblo, kesono kemari terbang sana terbang sini. Tapi enakan juga punya isteri anak deh bisa tau jelas semangat kerja aku untuk siapa.” Jawaban Rico membuat kami semua tertawa dan di hadiahi timpukan kacang telur karena mengatakan kami jomblo.
Sedang asyik mengobrol kudengar ada suara riuh heboh dari arah teras dimana sebagian juga ngobrol disana, sepertinya ada yang baru datang dan mendapat sambutan heboh seperti ini, entahlah siapa dia. Ayu dan Lala yang kepo abis memilih meninggalkan kami menuju teras depan.
“Apaan sih rame banget di depan?” ujar Ayu penasaran.
“Nggak tau tuh, lihat dulu ah. Kepo nih.” Lala langsung berlari menuju teras.
“Ikutan La.” Ayu berlari mengejar Lala.

Tak berapa lama Lala kembali dengan menggandeng cewek cantik berambut panjang memakai dress hitam selutut yang tersenyum sungguh manis diikuti oleh semua anak lain yang masih bercanda dan bersorak ria dibelakang mereka. Aku menatap terkejut gadis itu, aku kenal sekali pemilik senyum yang sangat mempesona dan manis yang kini duduk tepat didepan tempat aku duduk sedari tadi.
“Wuidihh.. apa kabar miss selebritis?” sapa Rico yang duduk disampingku
“Makin cakep aja neng, ntar kalau S2 lulus aku lama raja deh ya Ra.” Respon Romi membuat semua tercengang dan menertawakannya sedang Boim menatapnya takjub sembari berguman tak jelas. Sedangkan aku hanya diam menatap, ya dia semakin cantik dan semua orang tahu dia adalah seorang penulis muda yang cukup terkenal.

Kutoleh wajah Joni dengan penuh pertanyaan dan pergi menuju taman dibelakang rumah Joni. Kurasa aku benar-benar belum siap bertemu dengannya, sekuat apapun aku mencoba aku akan slalu jatuh tersungkur oleh alasan tolol yangkubuat sendiri. Sebetulnya apa maksud Joni membohongi bahwa gadis itu tak akan ikut acara kali ini, tapi nyatanya dia malah muncul begitu saja dengan sambutan meriah, sedang semasa sekolah mungkin hanya akan ada aku yang terang-terangan menyambut serta menggodanya dengan penuh kejahilanku yang di bumbui rasa sayang terhadapnya. Aku benar-benar frustasi dengan semua ini, kuputuskan untuk pamit pulang karena aku tak akan pernah bisa berlama-lama memandangi gadis itu atau yang paling buruk aku akan mengacaukan acara ini karena tak bisa mengontrol ketakutanku. Baru saja hendak berbalik dan melangkahkan kaki menuju ruang tengah tiba- tiba ada tubuh langsing yang memelukku dari belakang, aku terkaget siapa yang berani memelukku seperti ini apalagi di acara reuni macam ini. Kuhela nafas panjang mencoba berbalik badan dan melepaskan pelukan entah siapa ini, namun pelukan itu semakin erat dan terasa ada air hanta yang membasahi punggung bajuku, dia menangis? Tanyaku dalam hati. Kutanya siapakah dia, namun tak juga ada jawaban dan hanya ada suara sesenggukan yang membuatku semakin gila apalagi setelah melihat gadis pemilik senyum manis itu beberapa menit yang lalu kenapa harus ditambah lagi dengan keadaan seperti ini, siapa gadis yang menangis ini.

                Dengan sedikit kasar kulepas pelukan itu dan menolehnya kebelakangan, betapa terkejutnya aku. Gadis yang memelukku adalah Rara, sang pemilik senyum manis itu. Bagaimana mungkin dan kenapa dia melakukan ini, serta kenapa dia harus menangis apa ada yang menyakitinya?. Tapi siapa yang berani menyakiti dan membuatnya menangis seperti ini. Ku raih tangannya, menanyakan apa dia baik-baik saja. Namun hanya dibalas sebuah anggukan pelan, matanya begitu lekat menatapku seolah menyuruhku untuk mengatakan sesuatu yang tlah lama dia nantikan. Aku membawanya duduk dibangku taman tak jauh dari tempat kami berdiri tadi, mencoba menenangkannya yang sedari tadi masih saja menangis. Aku ingat pertama bahkan terakhir aku memeluknya dalam tangis yaitu ketika perpisahan SMA, dimana dia menangis entah untuk takut berpisah denganku atau lebih dari ketakutan itu dan kini dia kembali menangis dalam pelukanku.
“Hai kenapa?” tanyaku pada Rara yang masih sesenggukan dari tadi
Hening, tak ada jawaban.
“Ra…?”
“Kamu masih mau jauhin aku Sam? Emang salah aku apa sih sama kamu?” kini tangisnya semakin pecah, tatapannya semakin membuatku merasa sangat tertusuk.
“Kenapa ngomongnya gitu, Ra? Kamu gak punya salah apa-apa kok.” Aku mencoba menenangkannya.
“Tapi kenapa selama ini kamu selalu menghindari aku Sam? Aku tahu bahkan semua teman juga tahu dengan pasti alasan kenapa kamu selalu gak mau ikutan acar reuni, untuk semua karena kamu gak mau ketemu aku kan?” Rara tertunduk dengan ucapannya, sedangkan aku seolah telah menjelma menjadi seorang pembunuh yang melukai gadis yang sangat ku cintai dalam hati.
“Udah Sam, dah waktunya kamu jujur sama semuanya sebelum waktu bener-bener tertutup buat kamu. Gak selamanya kamu bisa lari sekenceng itu untuk menghindari apa yang sebenernya malah kamu butuhkan.” Joni datang mengagetkanku dan Rara, ditemani oleh Lala yang berdiri disamping Joni member anggukan setuju. Rara kini tak lagi menunduk, menatapku penuh tanya dan harapan.
“Good luck ya.” Ujar Lala, bersama Joni langsung meninggalkan aku dan Rara berdua. Ku angkat wajahnya, kutatap lembut tepat di matanya.
“Ra, tapi kamu janji ya gak bakalan marah kalau aku ngomongin ini ke kamu. Kamu bakalan janji tetap gak akan benci sama aku.” Rara hanya mengangguk pelan dan mantap.
“Ra, sebenernya aku itu suka sama kamu, bahkan aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu waktu penerimaan siswa baru di SMP. Kamu inget kan waktu pertama kita ketemu waktu itu kita satu kelas, dan kita sering banget di hukum bareng dan dikerjain kakak kelas.” Aku tersenyum tipis mengingat hal itu masih dengan memandangi wajah Rara yang tak berubah meski aku udah ngomong yang sejujurnya sama dia. Namun tiba-tiba dia melepaskan tanganku yang memegangi wajahnya, itu membuatku sedikit panik jangan sampai dia marah dan benci sama aku.
“Kenapa gak jujur sama aku, Sam?” suaranya pelan menahan tangis.
“Maaf Ra, aku sendiri masih sangat bingung. Aku gak mau di benci sama kamu dengan bilang jujur tentang perasaan aku, meski aku tahu sikap aku kayak gini malah bikin kamu benci sama aku.”
“Apa rasa itu masih dan akan slalu aku?” tanya Rara yang membuatku terlonjak kaget.
“Maksud kamu Ra?” aku masih saja tak mengerti apa yang Rara maksud.
“Apa kamu masih mau memberikan rasa itu sama aku dan berjuang demi mendapatkan rasa itu?”
Aku menghela nafas sesak dalam hatiku, apa aku masih bisa. “Entah Ra, aku rasa terlalu capek sepuluh tahun berjuang sendirian kayak gini. Tapi untuk nyerah juga gak semudah itu, lihat kan sampai sekarang aku masih saja terus menyimpannya untukmu.” Aku merasa tak sanggup lagi harus membicarakan hal ini dengan Rara, aku memutuskan berdiri dan melangkah namun kembali tanganku diraihnya dengan cepat.
Kenapa gak ngajak aku untuk berjuang? Kita berjuang sama-sama mungkin dari awal.” Sam menoleh cepat mendengar perkataan Rara, yang seolah bagai hujan ditengah kemarau.
“Kamu serius Ra?” aku masih tak percaya dan Rara hanya memberi respon anggukan mantap juga senyuman manis miliknya. Ya Tuhan terimakasih, ucapku dalam hati. Kuraih tangannya mencium buku-buku tangannya dengan lembut sambil berjongkok di hadapannya bak sebuah dongeng.

                Dari arah dalam rumah kudengar riuh kebahagiaan dari semua teman-teman ku, ternyata dari tadi mereka menguping pembicaraanku dengan Rara. Dan juga ini semua adalah ide Joni yang di modifikasi oleh Lala agar terlihat natural, ditambah teman-teman yang lain sungguh sempurna dan sangat membantu. Joni mengatakan kalau Rara tak akan ikut karena ke Jakarta, tapi nyatanya jadwal di undur jadi minggu depan karena acara itu juga akan dihadiri oleh Lala yang merupakan sepupu Rara yang bersekongkol dengan Joni. Ya sebenarnya Joni dan Lala sudah tahu sejak lama tentang perasaanku pada Rara dan sudah mulai bosan dengan tingkahku yang slalu lari seperti anak kecil padahal Rara juga memiliki rasa yang sama, andai saja Joni dan Lala terlambat ber-strategi mungkin dia tak akan punya kesempatan lagi karena Rara sekarang adalah Rara dambaan para lelaki. Kini mereka berhamburan menuju halaman belakang memeluk kami secara bersamaan memberi ucapan selamat dengan sesekali menggoda, rasanya kami sedang berada dalam acara perpisahan SMA waktu itu, sungguh gak tahu harus bagaimana membalas kebaikan teman-temanku yang slalu saja mengerti bahkan lebih peka dari rasaku sendiri.

                Kini aku dan Rara resmi menjalin hubungan yang serius, bahkan dalam waktu dekat kami merencanakan sebuah pertunangan. Terlalu cepat? Kurasa tidak karena telah lama rasa kami saling tetrikat, juga kedua orang tua serta keluarga sudah setuju dan saling mengenal. Karena sejak sekolah aku maupun Rara sering berkunjung ke rumah masing-masing. Aku merasa sangat bahagia, dan tak pernah merasa menyesal menunggunya selama ini. Mungkin yang aku sesali adalah kenapa aku terlalu lama menunggu, kalau saja aku cepat bertindak waktu itu aku dan Rara sudah menikah atau malah sudah punya anak. Hari-hari ku benar-benar bermakna saat itu juga, kini aku tak mengurus toko buku ku sendiri, karena Rara dengan senang hati menawarkan membantu aku mengurusnya. Sungguh bukan hanya partner hati tapi juga partner hidup yang tepat, sekaligus calon ibu yang sempurna karena rasa kasih sayangnya yang begitu tulus.