“Bagaimana bisa kamu menyembunyikan semua itu, Sam?” Mungkin itu
akan slalu keluar dari pertanyaan Joni, sahabatku dari kecil. Dia tahu bahkan
sebelum aku secara jujur menceritakan semua ini kepadanya, aku memang tak
selamanya bisa sembunyi dan lari dari perasaanku sendiri apalagi hanya karena
sebuah alasan aku tak ingin sang mawar merahku pergi menjauhiku. Aku slalu
frustasi kalau harus mengingat sedalam ini aku mencintainya, namun aku tak bisa
memilikinya. Bukan tak bisa, hanya saja aku yang terlalu lemah untuk itu semua,
terlalu bodoh karena terpaku pada alasan bodoh yang kubuat sendiri. Oh Tuhan,
kenapa aku harus selemah ini terhadap orang yang aku cintai yang secara jelas
juga mencintaiku secara tulus. Masih kurangkah waktu selama 10 tahun untuk aku
terus menjadi pengecut, yang slalu bersembunyi darinya dan mencari mangsa lain
yang tak pernah bisa membuatku menggapai kebahagiaan murni ketika aku bersama
nya.
Semalaman aku terjaga ketika
harus kembali mengingat kejadian sore itu. Dimana ketika aku dan Joni sedang
asyik minum kopi di café dekat alun-alun kota, tiba-tiba Joni menunjuk seorang
gadis biasa namun slalu bisa membuat hatiku berdebar entah sejak 10 tahun yang
lalu. Ya, gadis itu adalah Rara, cinta pertama yang kutemukan pada masa pertama
SMP. Kami begitu dekat hingga perasaan yang kumiliki untuknya tumbuh begitu
saja. Sayang sekali gadis itu kini tak sendiri, sore itu dia berjalan dengan
bahagianya bersama lelaki yang sangat serasi dengannya, andai saja yang sedang
berjalan dan beranda disampinya adalah aku. Selama ini aku selalu
menghindarinya, sejak lulus SMA aku tak pernah mengikuti acara reuni yang
kebetulan sejak SMP sampai SMA kami berada pada satu kelas yang sama. Itulah
bodohnya aku, sampai Joni sahabat yang paling mengerti akupun tak habis fikir
dengan sikapku selama ini terhadapnya.
Pagi ini kuhabiskan waktu ku di
toko buku milikku, yang ku bangun atas saran mama karena aku juga hobi membaca
buku. Kusibukkan diriku dengan tumpukan buku yang harus aku cek keadaannya,
slalu dengan cara menyibukkan diri aku bisa sedikit lupa dengan masalahku.
“Pagi Rahma, pagi Anton.” Sapaku ramah
terhadap dua pegawaiku.
“Pagi mas.” Jawab mereka bersamaan
disertai senyuman tulus. Ya mereka ku suruh memanggil mas, daripada aku harus
dipanggil pak? Umurku tak setua itu.
“Oh iya mas, kiriman dari pernerbit sudah
datang tadi. Mau di cek sekarang?” Anton membuka percakapan diantara kami
“Oke, kalian bantu saya ya.” Jawabku sembari
mencari buku yang berisi catatan stok toko buku ku.
“Siap mas.” Jawab mereka semangat.
Dibantu oleh
Rahma dan Anton yang sudah ku anggap sebagai adikku sendiri, aku mengecek buku
satu per satu hingga tak kusadari waktu makan siang telah lewat. Kulihat Rahma
dan Anton telah kembali dari istirahat makan siangnya secara bergantian,
kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 14.03 dan aku belum makan siang juga
tadi pagi belum sempat sarapan. Setelah membereskan sebagian data,aku pamit
pada Rahma dan Anton untuk keluar makan siang di café dekat toko buku.
“Aku keluar makan sebentar ya, ntar kalau
ada apa-apa tinggal hubungi mas aja.” Pamitku pada Rahma dan Anton
“Baik mas.” Jawab Rahma, sedang Anton
hanya mengangguk karena sedang melayani pembeli.
Sedang asyik
makan, ada pesan dari Joni yang isinya mengajakku untuk ikut acara reuni SMA
yang akan diadakan minggu ini di rumahnya. Sebenarnya aku malas untuk ikut
acara itu, tapi Joni mengingatkanku bahwa aku sudah 4 kali mangkir dari reuni SMA
dan 7 kali mangkir dari reuni SMA. Aku menghela nafas tak bersemangat lagi
untuk makan, setelah menerima 2 pesan dari Joni, belum sama sekali aku balas 2
pesannya tadi dia mengirimkan pesan baru yang membuatku antara senang atau
sedih. Isi pesannya memaksaku datang karena Rara tak akan menghadiri acara
reuni kali ini karena harus terbang ke Jakarta ada acara keluarga, jadi tak ada
alasan lagi untuk aku menghindari acara ini karena satu alasan terkuat adalah
aku menghindari Rara. Dengan terpaksa aku me-reply pesan Joni dan menyetujui
undangannya, itu artinya aku akan datang pada acara reuni tahun ini.
“Ya kita lihat aja nanti, semoga mood ku
sedang bagus untuk hadir.” Gumamku tak jelas.
Minggu jam setengah Sembilan
pagi aku sampai dirumah Joni, belum banyak yang datang karena memang acaranya
akan dimulai masih setengah jam lagi. Banyak wajah yang tak kukenali karena
sudah lama tak bertemu, mungkin yang ku ingat adalah Joni, Romi, Boim, dan Rico
yang merupakan teman sekampusku dulu. Setengah jam kemudian rumah Joni telah
ramai, ada yang membawa serta pacar, isteri bahkan anak mungkin hanya beberapa
yang datang sendiri. Aku tertawa geli mengingat bagaimana mereka sewaktu masih
di bangku sekolah, tapi kini naluri ayah serta ibu telah melekat sempurna di
wajah mereka. Acara reuni kelasku memang tak heboh hanya di isi oleh
makan-makan dan juga ngobrol bareng meski sering kali malah ada yang curhat dan
gossip. Kini aku berada di ruang tengah rumah Joni bersama Ayu, Lala, Romi,
Boim, dan Rico teman sebangku ku dari kelas X sampai XII.
“Jadi pada sibuk ngapain sekarang?” tanya
Lala membuka pembicaraan
“Aku sih lagi sibuk nerusin S2, La. Pengen cepet
lulus, kerja terus nikah gitu.” Jawaban Romi membuat kami tertawa, sang
jenius sudah mulai mikir pernikahan ternyata.
“Kalau aku bantuin mama di bisnis salonnya,
lumayankan bisa jadi penerus keluarga.” Ya Ayu adalah anak pemilik salon
terkenal di kota kami, bakatnya terlihat sejak SMA dimana dia sering mendandani
teman-temannya saat acara kartini atau pemilihan miss sekolah.
“Boim lagi sibuk persiapan pernikahan, nanti
kalian semua harus dating ya bawa pasangan masing-masing.” Boim memberikan
jawabannya, sungguh di luar dugaan Boim yang slalu dihindari cewek-cewek untuk
diajak pacaran karena gendut tapi slalu slalu baik kok jadi temen malah mau
nikah, kalah dah ni cowok ganteng gumamku dalam hati.”
“Kalau aku ngurusin toko buku ku, lumayanlah
walaupun masih kecil. Kan sayang juga punya hobi baca gak di tularin.” Kini
giliranku memberi jawaban.
“Wah enak tuh, ntar kalau gue mau hunting
buku ke toko buku kamu aja ya Sam. Kali aja dapat gratisan.” Jawab Lala
yang disetujui oleh teman lain.
“Ya enak ya yang masih jomblo, kesono kemari
terbang sana terbang sini. Tapi enakan juga punya isteri anak deh bisa tau
jelas semangat kerja aku untuk siapa.” Jawaban Rico membuat kami semua
tertawa dan di hadiahi timpukan kacang telur karena mengatakan kami jomblo.
Sedang asyik
mengobrol kudengar ada suara riuh heboh dari arah teras dimana sebagian juga
ngobrol disana, sepertinya ada yang baru datang dan mendapat sambutan heboh
seperti ini, entahlah siapa dia. Ayu dan Lala yang kepo abis memilih meninggalkan
kami menuju teras depan.
“Apaan sih rame banget di depan?” ujar
Ayu penasaran.
“Nggak tau tuh, lihat dulu ah. Kepo nih.” Lala
langsung berlari menuju teras.
“Ikutan La.” Ayu berlari mengejar Lala.
Tak
berapa lama Lala kembali dengan menggandeng cewek cantik berambut panjang
memakai dress hitam selutut yang tersenyum sungguh manis diikuti oleh semua
anak lain yang masih bercanda dan bersorak ria dibelakang mereka. Aku menatap
terkejut gadis itu, aku kenal sekali pemilik senyum yang sangat mempesona dan
manis yang kini duduk tepat didepan tempat aku duduk sedari tadi.
“Wuidihh.. apa kabar miss selebritis?”
sapa Rico yang duduk disampingku
“Makin cakep aja neng, ntar kalau S2 lulus
aku lama raja deh ya Ra.” Respon Romi membuat semua tercengang dan
menertawakannya sedang Boim menatapnya takjub sembari berguman tak jelas. Sedangkan
aku hanya diam menatap, ya dia semakin cantik dan semua orang tahu dia adalah
seorang penulis muda yang cukup terkenal.
Kutoleh
wajah Joni dengan penuh pertanyaan dan pergi menuju taman dibelakang rumah
Joni. Kurasa aku benar-benar belum siap bertemu dengannya, sekuat apapun aku
mencoba aku akan slalu jatuh tersungkur oleh alasan tolol yangkubuat sendiri.
Sebetulnya apa maksud Joni membohongi bahwa gadis itu tak akan ikut acara kali
ini, tapi nyatanya dia malah muncul begitu saja dengan sambutan meriah, sedang
semasa sekolah mungkin hanya akan ada aku yang terang-terangan menyambut serta
menggodanya dengan penuh kejahilanku yang di bumbui rasa sayang terhadapnya.
Aku benar-benar frustasi dengan semua ini, kuputuskan untuk pamit pulang karena
aku tak akan pernah bisa berlama-lama memandangi gadis itu atau yang paling
buruk aku akan mengacaukan acara ini karena tak bisa mengontrol ketakutanku.
Baru saja hendak berbalik dan melangkahkan kaki menuju ruang tengah tiba- tiba
ada tubuh langsing yang memelukku dari belakang, aku terkaget siapa yang berani
memelukku seperti ini apalagi di acara reuni macam ini. Kuhela nafas panjang
mencoba berbalik badan dan melepaskan pelukan entah siapa ini, namun pelukan
itu semakin erat dan terasa ada air hanta yang membasahi punggung bajuku, dia
menangis? Tanyaku dalam hati. Kutanya siapakah dia, namun tak juga ada jawaban
dan hanya ada suara sesenggukan yang membuatku semakin gila apalagi setelah
melihat gadis pemilik senyum manis itu beberapa menit yang lalu kenapa harus
ditambah lagi dengan keadaan seperti ini, siapa gadis yang menangis ini.
Dengan sedikit kasar kulepas
pelukan itu dan menolehnya kebelakangan, betapa terkejutnya aku. Gadis yang
memelukku adalah Rara, sang pemilik senyum manis itu. Bagaimana mungkin dan
kenapa dia melakukan ini, serta kenapa dia harus menangis apa ada yang
menyakitinya?. Tapi siapa yang berani menyakiti dan membuatnya menangis seperti
ini. Ku raih tangannya, menanyakan apa dia baik-baik saja. Namun hanya dibalas
sebuah anggukan pelan, matanya begitu lekat menatapku seolah menyuruhku untuk
mengatakan sesuatu yang tlah lama dia nantikan. Aku membawanya duduk dibangku
taman tak jauh dari tempat kami berdiri tadi, mencoba menenangkannya yang
sedari tadi masih saja menangis. Aku ingat pertama bahkan terakhir aku memeluknya
dalam tangis yaitu ketika perpisahan SMA, dimana dia menangis entah untuk takut
berpisah denganku atau lebih dari ketakutan itu dan kini dia kembali menangis
dalam pelukanku.
“Hai kenapa?” tanyaku pada Rara yang
masih sesenggukan dari tadi
Hening, tak ada
jawaban.
“Ra…?”
“Kamu masih mau jauhin aku Sam? Emang salah
aku apa sih sama kamu?” kini tangisnya semakin pecah, tatapannya semakin
membuatku merasa sangat tertusuk.
“Kenapa ngomongnya gitu, Ra? Kamu gak punya
salah apa-apa kok.” Aku mencoba menenangkannya.
“Tapi kenapa selama ini kamu selalu
menghindari aku Sam? Aku tahu bahkan semua teman juga tahu dengan pasti alasan
kenapa kamu selalu gak mau ikutan acar reuni, untuk semua karena kamu gak mau
ketemu aku kan?” Rara tertunduk dengan ucapannya, sedangkan aku seolah
telah menjelma menjadi seorang pembunuh yang melukai gadis yang sangat ku
cintai dalam hati.
“Udah Sam, dah waktunya kamu jujur sama
semuanya sebelum waktu bener-bener tertutup buat kamu. Gak selamanya kamu bisa
lari sekenceng itu untuk menghindari apa yang sebenernya malah kamu butuhkan.”
Joni datang mengagetkanku dan Rara, ditemani oleh Lala yang berdiri disamping
Joni member anggukan setuju. Rara kini tak lagi menunduk, menatapku penuh tanya
dan harapan.
“Good luck ya.” Ujar Lala, bersama Joni
langsung meninggalkan aku dan Rara berdua. Ku angkat wajahnya, kutatap lembut
tepat di matanya.
“Ra, tapi kamu janji ya gak bakalan marah
kalau aku ngomongin ini ke kamu. Kamu bakalan janji tetap gak akan benci sama
aku.” Rara hanya mengangguk pelan dan mantap.
“Ra, sebenernya aku itu suka sama kamu,
bahkan aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu waktu penerimaan
siswa baru di SMP. Kamu inget kan waktu pertama kita ketemu waktu itu kita satu
kelas, dan kita sering banget di hukum bareng dan dikerjain kakak kelas.” Aku
tersenyum tipis mengingat hal itu masih dengan memandangi wajah Rara yang tak
berubah meski aku udah ngomong yang sejujurnya sama dia. Namun tiba-tiba dia
melepaskan tanganku yang memegangi wajahnya, itu membuatku sedikit panik jangan
sampai dia marah dan benci sama aku.
“Kenapa gak jujur sama aku, Sam?”
suaranya pelan menahan tangis.
“Maaf Ra, aku sendiri masih sangat bingung. Aku
gak mau di benci sama kamu dengan bilang jujur tentang perasaan aku, meski aku
tahu sikap aku kayak gini malah bikin kamu benci sama aku.”
“Apa rasa itu masih dan akan slalu aku?”
tanya Rara yang membuatku terlonjak kaget.
“Maksud kamu Ra?” aku masih saja tak
mengerti apa yang Rara maksud.
“Apa kamu masih mau memberikan rasa itu sama
aku dan berjuang demi mendapatkan rasa itu?”
Aku menghela
nafas sesak dalam hatiku, apa aku masih bisa. “Entah Ra, aku rasa terlalu capek sepuluh tahun berjuang sendirian
kayak gini. Tapi untuk nyerah juga gak semudah itu, lihat kan sampai sekarang
aku masih saja terus menyimpannya untukmu.” Aku merasa tak sanggup lagi
harus membicarakan hal ini dengan Rara, aku memutuskan berdiri dan melangkah
namun kembali tanganku diraihnya dengan cepat.
“Kenapa gak ngajak aku untuk berjuang? Kita berjuang
sama-sama mungkin dari awal.” Sam menoleh cepat mendengar perkataan Rara,
yang seolah bagai hujan ditengah kemarau.
“Kamu serius Ra?” aku masih tak percaya
dan Rara hanya memberi respon anggukan mantap juga senyuman manis miliknya. Ya
Tuhan terimakasih, ucapku dalam hati. Kuraih tangannya mencium buku-buku
tangannya dengan lembut sambil berjongkok di hadapannya bak sebuah dongeng.
Dari arah dalam rumah kudengar
riuh kebahagiaan dari semua teman-teman ku, ternyata dari tadi mereka menguping
pembicaraanku dengan Rara. Dan juga ini semua adalah ide Joni yang di
modifikasi oleh Lala agar terlihat natural, ditambah teman-teman yang lain
sungguh sempurna dan sangat membantu. Joni mengatakan kalau Rara tak akan ikut
karena ke Jakarta, tapi nyatanya jadwal di undur jadi minggu depan karena acara
itu juga akan dihadiri oleh Lala yang merupakan sepupu Rara yang bersekongkol
dengan Joni. Ya sebenarnya Joni dan Lala sudah tahu sejak lama tentang
perasaanku pada Rara dan sudah mulai bosan dengan tingkahku yang slalu lari
seperti anak kecil padahal Rara juga memiliki rasa yang sama, andai saja Joni
dan Lala terlambat ber-strategi mungkin dia tak akan punya kesempatan lagi
karena Rara sekarang adalah Rara dambaan para lelaki. Kini mereka berhamburan
menuju halaman belakang memeluk kami secara bersamaan memberi ucapan selamat
dengan sesekali menggoda, rasanya kami sedang berada dalam acara perpisahan SMA
waktu itu, sungguh gak tahu harus bagaimana membalas kebaikan teman-temanku yang
slalu saja mengerti bahkan lebih peka dari rasaku sendiri.
Kini aku dan Rara resmi menjalin
hubungan yang serius, bahkan dalam waktu dekat kami merencanakan sebuah
pertunangan. Terlalu cepat? Kurasa tidak karena telah lama rasa kami saling
tetrikat, juga kedua orang tua serta keluarga sudah setuju dan saling mengenal.
Karena sejak sekolah aku maupun Rara sering berkunjung ke rumah masing-masing. Aku
merasa sangat bahagia, dan tak pernah merasa menyesal menunggunya selama ini. Mungkin
yang aku sesali adalah kenapa aku terlalu lama menunggu, kalau saja aku cepat
bertindak waktu itu aku dan Rara sudah menikah atau malah sudah punya anak.
Hari-hari ku benar-benar bermakna saat itu juga, kini aku tak mengurus toko
buku ku sendiri, karena Rara dengan senang hati menawarkan membantu aku
mengurusnya. Sungguh bukan hanya partner hati tapi juga partner hidup yang
tepat, sekaligus calon ibu yang sempurna karena rasa kasih sayangnya yang
begitu tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar