Rabu, 31 Desember 2014

Tulisan Penghujung

Rintiknya masih riuh bersahutan, kilauan indah tersembunyi dalam gelap kabut. Aku masih saja bersenandung yang sama, lirihnya kusebut hampir terhafal oleh mereka yang mulai mengartikan ku kebisingan. Tapak terpijak kaki mungil nan lemah ini pun tak berubah alur, masih dengan jalur yang sama walau aku tau betapa terjal dan tajamnya kerikil yang kini mengapalkan telapak telanjangku.

Kau ingat tidak tentang apa yang pernah kita, maksud ku aku dan kamu sebut sebagai tujuan? Kalau dahulu terdengar romantis tapi kini aku menganggapnya lucu. Ya lucu, kau tak salah dengar karena begitu mengingat kata demi kata yang aku dan kamu rangkai dulu, kini ku rasa terlalu cepat tercetus maka dari itu aku menganggapnya kini sebuah kelucuan.

Lihatlah hujan masih setia memeluk langit malam, aku jadi iri dengan kesetiaannya. Karena aku tak pernah bisa se egois hujan yang memeluk malam dan tak peduli dingin menghujam kulit tiap insan. Harusnya kau juga iri kan? Karena dulu kau yang paling menginginkan setia itu membingkai aku dan kamu menjadi kita. Tapi gagal, bukan cuman kamu tapu juga aku tapi bukan lagi kita karena aku dan kamu bukan lagi pada satu jalur, meski aku dan kamu memandang langit sama tapi arah tatapnya beda.

Di ujung sana ada sebuah tempat indah yang di janji kan oleh takdir, bukan tempat yang ingin kita janjikan. Jangan tertawa, ini sedikit konyol memang bagaimana dulu aku dan kamu terlalu yakin akan sebuah masa depan. Kan tadi sudah kubilang bahwa itu kini terlalu lucu tapi tenang itu wajar kalo kata pujangga, karena hati yang sedang terpanah itu memang sering berlaku di luar nalar.

Aku kini berada di ujung, kamu juga di ujung. Tapi aku dan kamu dalam lingkup berbeda, tapi aku percaya bahagia itu nyata tuk dimiliki. Bukan hanya sekedar menjadi tujuan dan angan seperti dulu aku dan kamu lakukan dulu. Ingatlah meski aku bukanlah tempat penghujungmu dan kau juga sebaliknya akan ada bahagua yang memeluk aku dan kamu dengan keindahan yang bahkan lebih mengejutkan.

Ingat saja, apapun yang sudah berakhir ataupun berujung itu tak selamanya menyakiti. Tinggal bagaimana kita mengartikan, kemana arah penglihatan kita mengerjap, dan apa yang terapal oleh bibir kita. Aku slalu percaya bahagia itu tak selamanya terencana karena yang tak terduga itu jauh lebih mengejutkan.

Minggu, 21 Desember 2014

Mawar Merah Itu Sang Malaikat Tanpa Sayap

Guyuran hujan membasahi tanah merah yang kini mendekap erat orang yang sangat dia cintai, meski terkadang dia masih belum bisa membahagiakan malah menyakiti hati tapi sosok yang kini sudah mendiami dimensi dunia yang berbeda tak sekalipun membenci sikap dan laku buruk selama ini. Dia ingin menangis menumpahkan segala rasa sedihnya tapi tak mampu, dadanya terasa sesak membawanya pada memori sebelum berada di depan gundukan tanah ini, dia merasa seolah tak pantas menangisi sosok bijak yang diam-diam dia kagumi, dia merasa hanyalah sosok anak durhaka yang tak  punya hak untuk menangisi karena selama hidup sosok ini dia hanya menyematkan luka yang tak seharusnya, dia menyesal sangat menyesal, berharap sekali bisa memutar waktu jika tahu usia sosok ini hanya sampai pada hari ini karena kesan terakhir begitu tak mengenakkan di ingat.

Tujuh hari sejak kepergiannya, dia mungkin terlihat tegar dengan mengikuti semua prosesi pemakaman dengan tanpa air mata tak ada yang tahu betapa tidak percayanya dia tentang hari itu. Dia masih menganggap Bunda nya masih akan bangun ketika akan dimandikan, bahkan saat pemakaman dia masoh berharap Bunda nya berdiri dan meminta pulang bersamanya, juga saat kini duduk ditengah acara tahlilan dia masih berharap Bunda nya muncul di depan pintu dan mengatakan "Bunda pulang, capek beberapa hari bantuin orang lahiran." dia menatap getir halaman rumahnya hanya kerabat, sahabat, dan tetangga yang sedang khidmat memanjatkan doa, harapannya musnah sudah Bunda nya tak akan kembali. Tak terasa air matanya menetes perlahan menjadi sebuah isakan yang menyakitkan setiap yang mendengar, dia bergumam lirih namun bisa di dengar orang yang duduk disampingnya "Ternyata Bunda beneran meninggal." setelah gumaman itu hanya terdengar isakan yang sungguh memilukan. Tujuh hari kepergian Bunda nya dan dia baru bisa menyadarinya bahwa ini bukan candaan Tuhan seperti yang diharapkannya.

Duduk bersandar pada sandaran kasur masih terdengar isakan tanpa air mata, memandangi seisi kamarnya sendiri yang memunculkan kenangan. Menatap cermin disamping kanan sisi kamar, tempat dimana Bunda sering nyerobot ikut bercermin meski dikamarnya sendiri ada cermin. Tumpukan buku bacaan di meja belajar, Bunda selalu ngomel kalau melihat dia terlalu sering membaca apalagi setelah diharuskan memakai kacamata sejak SMP karena minus di matanya yang mengganggu penglihatannya. Ada kacamata yang tergeletak disamping tumpukan buku, kacamata berjejer yang pertama di beli kan Bunda dengan sogikan es krim sampai yg terbaru dia beli dengan uang sendiri yang diantar langsung oleh Bunda ke optik meski kesehatan Bunda saat itu tak lagi sehat saat berjalan, Bumda senang saat melihat dia sudah sedikit bisa membeli kebutuhannya sendiri. Lalu kini dia menatap nanar pada bagian kosong disisi tempatnya duduk kini, biasanya Bunda selalu ikut tidur disini saat beliau kecapekan dan tak ada teman ngobrol maka Bunda pasti akan nyusul dia terlelap di kasur meski sering iseng dulu. Atau saat Bunda membangunkanya tiap pagi dan sore karena kebiasaan tidur kebablasan alis tukang tidur yamg dia lakukan membuat Bunda kadang jengkel.


Hari ini 233 hari tepat Bunda pergi tanpa pernah kembali, membagikan hanya sekedar cerita nostalgia bersama Ayah ataupun kisaj sehari-hari yang tak pernah mudah untuk dijalani beliau karena jauh dari sanak saudara kandung meski kini beliau memiliki anak dan banyak cucu yang siap menggenggam tangan renta di usia senjanya. 233 hari sudah beliau melewatkan semua momen yang harusmya membahagiakan tapi malah jadi mengharukan karena mengingat betapa belum bisanya dia dan para saudaranya mampu memberikan secuil kebahagiaan pada Bunda, Bunda melewatkan hari ulang tahun dia, ayah, kesemua kakaknya. Melewati hari ulangtahunnya sendiri yang selalu merrngek meminta hadiah sederhana,hanya sebuah pelukan dan ciuman penuh kasih sayang bukan sebuah perhiasan apalagi berlian yang beliau minta sebagai kado. Hari ini juga beliau melewatkan perayaan hari ibu, dimana moment terakhir perayaan Hari Ibu tahun kemarin dia baru bisa mengucapkannya meski demgan malu-malu karena tak terbiasa selama hidup 20 tahun lebih itu yang pertama malah disaat Bunda dalam keadaan sakit. Dan itu sukses menjadi kan moment perayaan Hari Ibu pertama dan terakhir yang bisa dia ucapkan secara langsung pada Bundanya karena kini nyatanya dia harus puas hanya menitiplan salam pada Bundanya lewat do'a.

Dia bergumam lirih menghadap jendela yang menampilkan awan teduh. " Bunda, andai kau masih bisa mendampingiku melewati hariku sampai nanti kau tahu betapa bahagianya aku? Maaf atas segala sikap, sering pulang malam hanya untyk mengikuti ekstrakulikuler yang jadi hobi ku sampai kadamg harus nginep disekolah membuat mu cemas setengah mati. Ngumpet di lemari karena kesal merasa terabaikan, membanting pintu tiap kali keinginanku tak kau wujudkan dengan mudah. Maaf belum bisa mewujudkan harapanmu untukku segera memiliki pendamping hidup. Maaf membuatmu harus terbaring sakit karena memikirkan semua sikap dan  keinginanku yg di luar batas, kata orang sebab kau sakit struk sampai terbaring dirumah sakit selama 2 minggu sampai jadi cacat setelahnya karena tak mampu berjalan sendiri, aku yang membuat kau begitu karena kau terlalu berfikir keras untuk menuruti keinginanku. Saat ku dengar ada yang menyalahkanku aku menangis bukan tak terima tapi sangat menerima hingga aku sendiri benci pada diriku sendiri saat bersikap denganmu saat itu.

Bunda, terimakasih atas segala yg ada di dirimu. Kalau kata orang bijak, ibu adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sering terabaikan. Trrima kasih sudah jadi malaikat sekaligus mawar merahku, terima kasih atas segala hadiah dan es krim saat kau membujukku memakai kaca mata dan atas bujukan dg 2 kotak eskrim aku menyanggupi memakai benda konyol itu sampai saat ini. Terima kasih atas biaya hidup selama 20 tahun lebih hasil banting tulangmu, dari bayi sampai dewasa yang memiliki banyak keinginan. Terima kasih turut bangga atas sgala prestasi yg kuraih mulai dari modelling saat usia kanak-kanak sampai terakhir menyabet gelar di sebuah festival seni masa SMA, meski kau jengkel karena aku sering lupa waktu untuk kuluangkan untukmu tapi diam-diam kau bangga. Terima kasih juga telah beberapa kali hadir dalam mimpiku hanya untuk mengatakan bahwa kau sudah memaafkan semua kesalahan ku dan meminta ku untuk tak slalu menyalahkan diri sendiri. Tapi demi Tuhan saat kau memimt untuk tak lagi menyalahkan diri sendiri aku selalu berusaha meski sering kali gagal tapi harus ku coba berdamai dg kehidupan bukankah itu yg slalu kau ajarkan buka? Pada intinya terima kasih atas segalanya, kasih sayang dan segenap cinta yang tak pernah habisnya untuk kau bagi. Love you Bunda betapa aku merindukanmu."

Di usapnya air mata yang mulai mengering meninggalkan jejak di pipi chubbynya. Tersenyum menatap bingkai foto keluarga yang terlijat amat bahagia, mungkin satu sosok sudah meninggalkan dunia tapi kenangannya akan slalu abadi dalam sanubari siapapun yg mengenalnya.

Minggu, 14 Desember 2014

Senyuman Indah

Seulas senyumnya masih terlintas dalam koridor khayal ku, indah. Tak banyak memang, namun cukup melelehkan hati yang telah jatuh ini terhadap sosoknya. Pujian serta sanjungan tak hentinya bergumam dalam sanubari, me damaikan kerinduan.

Hari ini aku seolah ingin kembali pada hari itu, hari dimana aku bisa melihat senyuman indah itu meski dari kejauhan dari balik punggung seorang tak ku kenal yang tengah asyik bergurau dengan mu. Aku sungguh terlihat seperti seekor kucing yang mengintai ikan di dapur.

Sayangnya, hari itu tak lekas datang kembali meski aku duduk di tempat yang sama selama 3 minggu terakhir. Sepertinya aku harus terbangun, membereskan pekerjaan di dunia nyata ku ketimbang sibuk dengan khayalan tentang sosokmu pemilik senyuman indah.

Aku berserah pada takdir, itu lah mengapa tanpa sengaja ada yang mendorong hati ku untuk melangkah ketempat ini kembali setelah 5 bulan aku melupakan kenangan apa yang pernah ku nanti kan disini. Tak banyak berubah, hanya semakin ramai apalagi di jam pulang sekolah seperti ini.

Ternyata sudah satu jam aku duduk disini berteman secangkir coklat panas dan novel romantis kegemaranku. Dan kurasa aku kembali berkhayal seperti beberapa bulan silam saat aku duduk disini melihatsenyuman sosok itu. Tapi kurasa khayalan ini semakin liar karna sosok itu berada tepat di bangku depan yang masih satu meja denganku.

Sepertinya aku butuh istirahat, mungkin juga efek deadline satu minggu ini membuat ku lelah, dan berfantasi salah seperti saat ini. Ku masukkan novel ku ke dalam tas dan beranjak menuju kasir, namun cekalan tangan di lenganku menhentikan langkah. Aku merasa semakin gila dalam khayalan.

"Harusnya aku tadi nggak kesini." ucap ku tanpa sadar. Ku dengar deheman halus dari sosok yang mencekal lenganku
 "Tuh kan, yang ada otak aku makin kacau kepikiran lagi." tambah ku dengan kesal. Sosok di depanku menyentakku duduk kembali, menatapku penuh tanya. "Maaf apabila mengganggu, nona. Boleh saya berkenalan dengan anda?" ucap nya dengan sopan. "Apa aku sedang bermimpi?" tanya ku semakin bingung. Sosok pria itu malah tertawa pelan membuat ku jengkel. "Hei, apa lucu membiarkan orang semakin bingung?"

Sejak hari kebingungan ku, aku dan kau mulai sering bertemu di tempat ini yang ternyata adalah cafe milik mu. Rainaldo Martin, sosok yang pernah membuatku seperti seorang pengintai hanya karena senyuman indahnya. Dan kini masih sulit ku percaya, aku bisa memandangimu dari dekat bahkan bercanda layaknya teman lama. Seperti malam ini sepulang dari kantor aku mampir ke cafe mu.

"Beberapa bulan lalu ku lihat kau sering datang kesini terus kau tak muncul lagi setelahnya. Sepertinya kau menunggu seseorang, siapa?" tanya mu yang membuat ku tercengang, tak mungkin kalau aku mengatakan bahwa aku menunggunya kan?. "Hm..bagaimana kau tahu?" aku tak punya pilihan lain selain balik bertanya. Ku lihat kau mengusap tengkuk mu, tersenyum gugup. "Maaf, aku memperhatikan mu saat beberapa kali kau datang kemari. Ku rasa aku tertarik dengan mu, Ra."

Pernyataan mu malam itu membuatku terkaget sekaligus merasa senang, ku rasa aku benar-benar larut dalam mimpi sejak bertemu dengan sosok Rain pertama kali bahkan sampai saat ini. Kini kau bahkan mulai berani mengajak ku jalan, bukan lagi hanya sekedar duduk bercanda berdua di bangku cafe. "Kau tahu Ra, kau itu seperti pelangi." Aku menyerngit bingung. "Karna kau memebuat hitam putih hidup ku jadi mulai berwarna." Lanjutmu dengan senyuman indah mu. Aku tertawa mendengan ucapan mu yang ku artikan candaan itu. "Siapa yang mengajari mu menggombal seperti itu, Rain?" tanya ku di sela tawa ku. Kau meraih kedua tangan ku dalam genggamanmu, membuatku menghentikan tawaku. "Aku serius, Ra. Be my mine, please." Tatapan mata mu mengunci pandangan ku, refleks aku mengangguk menuruti hati ku tanpa sanggup berucap. Selang itu kau merengkuh ku ke dalam dekapanmu, hangat.

Kegilaanku menjadi penguntit waktu itu ternyata tak aku sendiri yang melakukan, karena kau pun melakukan hal yang sama seperti ku. Dan ternyata dari kegilaan karena senyuman indah itu membuncahkan bahagia yang tak terhingga saat kau memintakua menjadi teman hidup seorang Rainaldo Martin.



Sabtu, 22 November 2014

Di Bawah Purnama

Kilau dalam purnama
Dihantar alunan lembut angin
Senyapnya damai
Bukan mencekam

Aku menguntitmu
Yang terduduk menengadah
Seolah bercakap asyik dengan langit
Tak terusik sedikit pun

Tak terasa ada lengkungan bibirku
Menatap damai mu
Kau indah yang nyata
Hanya saja tak tercapai ku

Kudengar kau bersenandung
Lucu sekali, karna fals dimana-mana
Tapi itu tak mengapa
Bagiku suaramu lantunan doa

Rasanya cukup tuk hari ini
Tenang saja besok aku kembali
Menguntitmu dalam diam
Entah sampai kapan

Salam hangat kusampaikan
Langsung pada hatimu
Bukan lagi telingamu
Semoga kau mendengar

Kamis, 20 November 2014

Mata Coklat

Kosong, sulit
Ah andai ilmu ramal kumiliki
Aku tak akan segila ini
Mengartikan sorot itu.

Lupakan, lupakan ini tak penting
Tapi aku penasaran
Ingin rasanya menyelam
Dalam manik coklat muda itu.

Lalu aku harus bagaimana?
Terus mencari tahu
Atau bersikap tak peduli?
Aku bingung, kenapa aku ini.

Kau pemahaman yang sulit
Butuh berkali-kali penafsiran
Dan, yeah.
Belum tentu itu jitu
Kau tak tertebak

Sungguh lempar saja aku
Menuju psikiater
Karena demi Tuhan, sorot manik coklat itu
Membuatku gila dan senyum bersamaan.

Rabu, 19 November 2014

Menunggu

Aku terkadang merasa tergelitik ketika mendengar seorang pemuja pada pujaannya bahwa dia akan menunggunya sampai kapanpun, menyimpan rasa cinta tulus untuk di urai suatu saat nanti ketika pujaannya telah bisa membuka hati untuknya. Namun yang sering terjadi bukan demikian, ah atau mungkin aku saja yang mengalaminya. Ya, kuharap hanya aku saja yang tak percaya kalau ada cinta itu bisa menunggu. Karena yang terjadi seringnya mereka bahkan menyerah membuat percaya alih-alih akan menunggu dan berjuang.

Malam itu aku masihlah gadis kecil yang bahkan masih bingung apa itu cinta, apalagi terhadap orang yang bahkan baru beberapa kali bertatap muka denganku yang hanya bisa dihitung dengan jari sebelah. Kau mengatakan akan menungguku sampai kapanpun, menggapai mimpi untuk memilikiku. Namun baru hitungan hari saja kau menghindar, dan seolah saling tak kenal. Apa ini yang namanya usaha? Menjauh untuk lupa?

Andai saja, ya ini cuman pengandaian. Kau mau sedikit bersabar, akan aku kabarkan satu senyuman bahwa aku tlah mencintaimu. Namun sayang, kini kudengar kau tak lagi sendiri dan tebakan salahmu bahwa aku mencintai teman baikku masih saja kau oertahankan. Bahkan terakhir kali aku coba menyapamu, nada hangat yg selama ini kudapat seolah raib, berganti dingin tak bersahabat. Ya, dulu aku melukaimu dan kini kau melukaiku. Kita impas kan?

Kata Terangkai

          Aku membaca kata demi kata yang terangkai indah dalam tumpukan kertas yang mereka sebut novel. Terkadang terbesit dalam imajinasi kalau kata terangkai yang kubaca itu adalah dirimu, betapa mudahnya aku bisa jatuh cinta padamu. Tapi ternyata tak semua yang di impikan indah akan nyata dengan indah, karena kata terangkai itu sama saja denganmu. Sama-sama membuatku jatuh cinta, namun tak bisa membalaskan yang sama untukku. Kata terangkai itu tak membalas karena tak mampu berucap, sedangkan kau hanya tak pernah sadar akan yang ku rasa. Mungkin aku terlalu berimpian tinggi, kalau kata sekarang adalah drama queen. Merasa tersakiti dan paling terluka akan semua rasa jatuh cinta yang ku alami, sementara aku sendiri tak mampu hanya sekedar membagi tahu soal ini padamu.

            Sadarku terlewat begitu saja, kekosongan yang andai saja tak bercampur ego mungkin tak akan sesepi ini. Aku adalah penakut paling juara, dimana aku slalu saja bersembunyi dibalik alasanku sendiri untuk slalu tenggelam menjauh dari apapun tentangmu. Aku adalah pecundang yang melemparkan mimpiku jauh sebelum aku sendiri benar-benar berjuang dengan segala yang aku ingin dan aku miliki. Aku adalah seorang tuli, yang menulikan segala inderaku hanya untuk menghindari rasa sakit yang pada ujungnya tetap menghampiriku karena kebodohanku. Tapi apakah aku akan menjadi seorang penyesal? Membiarkan semua keterlambatan semua waktuku untuk hanya sekedar menangisi sikap penakut, pecundang dan tuli yang kulakukan selama ini. Membiarkan air mata jatuh dengan lihainya hanya dengan melihat kau bersama hati lain yang lebih berani menunjukkan rasanya padamu yang jauh berbeda dengan sikap yang ku ambil. Ya, sekarang aku menjadi penyesal membiarkan seluruh air mataku bermain di seluruh wajahku hingga menyembunyikan warna putih pucat dan menggantinya dengan merah membengkak.



Selasa, 11 November 2014

SHE AND HE, WE JUST BEST FRIEND




                Jalanan masih basah bekas hujan sejak tadi pagi, bahkan matahari seolah sembunyi dibalik awan hitam sampai sore menjelang malam. Rara menatap gelisah jam tangan berwarna merah yang terbalut cantik di pergelangan tangan kirinya, jam kesayangannya. Sudah jam 17.30 tapi angkot yang dia tunggu belum juga datang, apa mungkin dia ketinggalan?. Seharusnya angkutan itu sudah datang sejak lima belas menit yang lalu, Rara makin gelisah menatap langit yang makin gelap pertanda malam akan tiba dan sepertinya hujan akan kembali turun. Harusnya tadi dia menerima tawaran kakak lelakinya untuk pulang bersama, tapi dia terlalu keras kepala menerima tawaran Arya. Terlalu gensi teriak batinnya, masa lagi berantem mau terima tebengan kan gak lucu. Ya dua saudara ini bagaikan tom dan jerry dalam serial kartun, tapi mereka tahu dengan pasti kalau mereka saling menyayangi meski tak menunjukkan secara jelas. Sedang asyik dengan pikiran dan kegelisahannya tiba-tiba ada yang menepuk pundak Rara yang membuatnya terperenjak kaget membalikkan badannya menatap sosok dibelakangnya. “Belum pulang? Udah sore banget ini loh.” Ucap Dimas, sosok yang mengagetkan Rara yang merupakan sahabatnya juga teman kerjanya. Rara menghela nafas karena kagetnya tadi. “Kebiasaan deh Dim, ngagetin orang aja sih. Iya, angkotnya dari tadi gak muncul nih.” Dimas tertawa mendengar omelan Rara, sudah biasa dan lucu setiap melihat gadis ini ngomel gak jelas. “Udah puas ketawanya? Udah sana jauh-jauh deh bikin bête aja.” Rara sebal mendengar Dimas yang terus mentertawakannya. “Ya udah maaf, jangan ngambek dong. Aku anterin deh kebetulan mau ketempatnya bude ini.” Ucap Dimas, sembari mengacak poni Rara yang menggemaskan. “Hm..buruan mau hujan nih.” Balas Rara masih dengan wajah ditekuk membuat Dimas tersenyum tipis. Masih tak berubah, tetap manja gak sesuai umur. Gumam Dimas dalam hati.

                Minggu pagi adalah hari libur kerjanya, biasanya Rara akan bangun siang menikmati waktu untuk istirahat setelah setiap hari berkutat dengan pekerjaan. Tapi pagi ini Rara sudah rapi bersiap pergi menghadiri acara komunitas Teater nya di SMA, banyak alumni yang akan datang tak terkecuali Rara dan juga Dimas. Setelah siap, Rara keluar kamar untuk pamit kepada Ayah dan ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Tak berapa lama Dimas datang untuk menjemputnya menuju sekolah SMA nya dulu. Sampai di lokasi, mereka langsung berbaur dengan teman yang lain menghebohkan semua orang yang ada karena mereka berdua memang terkenal bukan hanya di teman seangkatan bahkan alumni jauh dan adik kelaspun mengenalnya, saking rajinnya mereka mengikuti kegiatan komunitas ini. “Rara, makin cakep sumpah dah. Masih aja lengket sama si Dimas.” Tantri memeluk Rara erat melepas kerinduannya. “Aku emang ditakdirin buat slalu cakep, jadi jangan iri ya. Ya kita kan udah paket jangan heran deh.” Rara tertawa bersama Tantri. “Iya sampai banyak yang mau modusin kamu malah mundur gegara Dimas slalu stay disamping kamu.” Rara hanya tertawa mendengarnya, ya begitulah banyak yang mengira Rara dan Dimas adalah sepasang kekasih yang sangat serasi tapi para sahabat mereka mendengar itu malah membuat mereka tertawa. Acara hari ini sungguh seru dan menyenangkan, entah sudah berapa kali mereka tertawa bersama. Hal seperti inilah yang sering mereka rindukan sejak resmi lulus menjadi siswa siswi SMA dan harus berhadapan dengan dunia baru yang benar-benar berbeda dari dunia mainan.

                Istirahat kerja dihabiskan Rara dan Dimas untuk makan bersama di warung dekat tempat kerja, ini mereka pilih karena sebagai staff biasa dari perusahaan furniture yang memiliki gaji tak berlebih jadi harus hemat. Mereka tak sendirian, teman yang lainpun melakukan yang sama. Awalnya membuat kaget rekan lain apalagi mereka adalah staff termuda disana dibanding yang lain, rekan lain fikir mereka akan gensi menikmati makan siang di sebuah warung sederhana seperti ini.”Acara seminggu kemarin kamu ketemu Alya gak, Ra?” tanya Dimas disela makan siangnya. “Alya adik angkatan kita yang sepupunya kak Denis itu? Liat sih cuman gak sempet ngobrol. Kenapa?” Rara balik bertanya pada Dimas. “Dapet salam tuh dari kak Denis, Alya yang bilang. Dia kan gak dateng gara-gara sibuk skripsi di Jogja. Cie kayaknya masih naksir kamu tuh, Ra.” Rara tersedak mendengar ucapan Dimas, buru-buru Dimas mengulurkan minum padanya. “Sembarangan kalo ngomong, mana mungkin idola para wanita naksir aku Dim! Lagian Alya juga gak ngomong apa-apa sama aku, jadi jangan ngarang.” Ucapnya kembali menikmati makannya yang tertunda. “Terserah deh, tapi aku gak ngarang. Kalo jadian bilang-bilang ya mau minta PJ nih.” Tawa Dimas membuat Rara kesal dan mengacuhkan sahabatnya ini. Ya dari para temannya Rara tahu kalau kak Denis suka padanya waktu masih di SMA, waktu itu Rara masih kelas sepuluh dan kak Denis kelas dua belas. Mereka mengikuti komunitas teater jadi kabar tentang hal itu sempat kencang berhembus meski Rara gak pernah mendengar langsung dari orangnya.

                Malam minggu kelabu, Rara hanya menonton tv dirumah sambil sibuk dengan hp nya yang berisik gegara notif grup BBM Teater. Biasanya Dimas main kerumahnya tapi kali ini dia lagi ngapel sama gebetannya, teman angkatan yang ketemu di acara Teater dua minggu yang lalu. Dasar Dimas playboy masih aja gak waras. “Kagak keluar cuy?” tanya Arya sambil mengambil duduk disamping adiknya ini.  “Kagak.” Jawab Rara singkat. “Masih ngambek aja, inget umur deh Ra.” Arya mencubit pipi chubby Rara dengan gemas. “Dih apaan sih, dah sono ngapel aja. Gangguin orang nonton aja sih.” Jawabnya dengan sewot. “Sinta lagi keluar kota, jadi ya udah dirumah aja. Bagas sama Reno juga sibuk ngapel, jadi ya mending dirumah aja gangguin gadis jomblo.” Tawa Arya membuat Rara mencebik kesal. “Bodoh ah, kak Arya mah reseh gitu minta di balikin ke perut ibu.” Protes Rara memukul lengan Arya dengan majalah. “Yee sembarangan jadi adik. Tuh hp bunyi mulu dari operator?” Arya kembali iseng pada Rara. “Terserah deh.” Rara menghempaskan tubuhnya tidur di sofa dan menutup sebagian wajahnya dengan bantal sambil mengutak atik smartphonenya, sedang Arya sibuk tenggelam dalam tontonannya. Mata Rara terbelalak“Apaan sih, kesambet Ra?” Rara masih terpaku pada layar smartphonenya dengan mulut mlongo sempurna. Arya yang merasa diabaikan ikut kepo dan melihat layar touchscreen itu. “Duh ileh, di invite cogan ternyata. Lumayan sih, eh bentar ini kan?? Denis ya?” tanya Arya sambil merebut benda itu dari tangan adiknya. “Dih balikin sini, ngapain ikutan heboh sih.” Rara merebutnya dan berlari ke kamar tak peduli ejekan dari kakaknya yang membuat pipinya bersemu.

                Beberapa hari ini Rara terlihat sumringah sekali, Dimas merasa penasaran dengan apa yang menimpa sahabatnya ini. Bahkan saat hangout bersama Tantri, tatapan mata Rara tak pernah lepas dari smarphonenya membuat Tantri juga ikut penasaran. Mereka bertiga duduk di salah satu meja café di sebuah mall, Tantri yang duduk disebelah Rara memandang Dimas seolah bertanya sedang Dimas yang juga penasaran hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. “Gadismu salah obat ya, kok jadi aneh gini?” bisik Tantri pada Dimas yang duduk di depannya. “Tau tuh, udah tiga hari ini kayak gitu, perasaan di warung deket kantor makanannya gak aneh-aneh kok.” Dimas dan Tantri geleng-geleng kepala dengan tingkah Rara. Rara yang merasa diperhatikan mendongak menatap dua sahabatnya itu. “Kenapa?” Tantri mencubit pipi kanan Rara sedang Dimas mencubit bagian kiri. “Aww..sakit begs.” Jerit Rara tak terima, mengelus kedua pipinya. “Kesambet dimana sih, Ra?” tanya Tantri. “Iya dari kemarin aneh banget tau.” Sambung Dimas masih dengan wajah penuh tanya. “Aku gak kesambet. Kalian kok jadi ketularan kak Arya sih? Bête ih.” Gerutu Rara pada dua sahabatnya ini. “Kayaknya ntar aku musti tanya kak Arya deh Tan.” Ucap Dimas yang di hadiahi anggukan oleh Tantri tanda setuju. Rara hanya memutar bola matanya melihat kelakuan mereka. 

“Hai, Ra.” Sapaan itu membuat ketiganya menoleh. Rara yang sadar dengan siapa yang menyapanya menjadi agak gugup dan bersemu merah. “Ehh..ha hai kak.” Balas Rara. “Eh ada Tantri sama Dimas juga.” Denis menatap Tantri dan Dimas bergantian. “Hai, Kak Denis.” Jawab mereka bersamaan. “Kok ada disini kak?” tanya Dimas yang mempersilahkan Denis duduk di kursi sampingnya depan Rara. “Kebetulan lagi nganter temen cari sepatu futsal, terus BBM Rara katanya ada disini ya nyusul aja capek juga abis muter.” Jawab Denis yang membuat Dimas dan Tantri melirik jenaka Rara, wajahnya kini sudah memerah malu. “Kayaknya kamu gak usah nanya sama kak Arya deh, Dim.” Ucap Tantri jahil. “Waduh Tan, aku patah hati nih bakal di duain.” Jawab Dimas seolah merasa sakit yang dibuat-buat yang mendapat tatapan tajam dari Rara dan tawa tertahan dari Tantri, sedang Denis menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Ehm..kalian masih deket aja ya kayak perangko.” Menunjuk pada Rara dan Dimas membuat keduanya melongo dan Tantri menahan tawa yang akan meledak. “Mm..maksud kak Denis?” tanya Rara gugup.”Kalian kan pacaran. Awet sekali, sejak kalian masuk SMA kalo gak salah denger.” Jawab Denis. Tantri yang sedari tadi menahan tawa sudah tak sanggup lagi langsung menyemburkan tawa disusul oleh Dimas dan Rara belakangan. Hal ini membuat Denis bingung, sepertinya tadi tak ada yang lucu tapi kenapa ketiga orang ini malah tertawa begitu kencang. “Wah..Kak Denis stalker apa ikutan rutinitas gossip sih?” tanya Tantri disela tawanya. “Maksudmu?” Dimas menghela nafas, menahan tawanya. “Kita berdua sahabatan, Kak. Rara ini ibarat kata tong sampah buang unek-unek aku sejak kelas 7. Sejak saat itu kita sekelas terus, nah pas SMA tong sampah aku nambah satu yaitu Tantri tapi dilihat yang paling deket sama aku cuman Rara karna kita sering barengan.” Jelas Dimas panjang lebar. “Dan Dimas ini deket banget sama kakak aku, karena dia anak tunggal dan pengen ngerasain punya kakak. Malah kadang yang berasa adik kandung itu dia di banding aku.” Tawa Tantri dan Dimas bertambah keras melihat Rara mencebik kesal dengan perlakuan kak Arya padanya. Denis pun ikut mentertawakan tingkah Rara yang menggemaskan.

Dimas dan Arya sibuk menggoda Rara yang wajahnya semakin bersemu merah, Ayah dan ibu yang melihat tingkah mereka hanya tersenyum sambil geleng kepala. Rara pun semakin kesal dengan kekompakan kakak dan sahabat baiknya ini, jika mereka sudah sepihak seperti ini bisa dipastikan Rara hanya akan jadi bulan-bulanan target digoda apalagi mengingat kejadian seminggu lalu bertemu dengan Denis, Rara dan Denis terlihat semakin dekat. Ketika sedang asyik bercanda, pintu rumah diketuk mereka bertiga yang asyik duduk dikarpet depan tv saling pandang. Ibu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. “Jadi mukanya kayak udang rebus, Dim?” tanya Arya melanjutkan godaannya. “Parah banget kak, ngalahin udang rebus. Kirain kesambet ternyata kepanah asmara, duh ileh bikin cemburu.” Tawa Dimas disusul oleh Arya.”Patah hati dong situ?” dihadiahi anggukan tawa oleh Dimas.  Ah reseh ah kalian.” Rara melemparkan bantal kearah dua pria menyebalkan ini. “Siapa to Dim, yang bikin gadis Ayah jadi putri malu itu?” Ayah Rara ikut menggoda anak gadisnya, membuat Dimas dan Arya merasa bertambah kekuatan. “Ah Ayah belum dikasih tahu? Wah parah kamu Ra gak dikawinin sama bapakmu mampus tuh.” Canda Dimas. “Ya udah minta tolong aja sama bapakmu, kita tukeran gimana?” jawab Rara dengan kesal. “Loh kok gitu? Udah bosen jadi anak Ayah sampai minta pensiun?” tanya Ayah Rara pura-pura ngambek. “Ayah sih, ah kak Arya juga. Dimas…!!! ini gara-gara kamu.” Gelak tawa menggema melihat Rara yang semakin tak berkutik, sampai ibu masuk pun tawa mereka masih belum reda. “Ra, ada tamu tuh.” Ibu menghampiri  Rara. “Siapa bu?” tanya Rara. “Gak tahu namanya, cowok. Ganteng loh Ra, jangan-jangan itu yang diceritain Dimas?” semua mata menatap Rara penuh selidik dan senyuman penuh tanya.”Terserah.” jawab Rara sambil berlalu menuju ruang tamu. Setelah pamit pada orang rumah plus dapat berbagai macam pertanyaan usil dan jahil, Deni mengajak Rara pergi ke café tak jauh dari rumah Rara. Tak ada pembicaraan yang mereka lakukan di sepanjang perjalanan, Rara yang dibonceng dibelakang hanya sibuk dengan fikirannya sendiri sedang Denis focus pada jalanan. Sampai di café mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati suasana dingin sehabis hujan tadi sore. “Keluarga mu seru ya, Ra. Akrab banget lagi.” Tanya Denis sambil menikmati secangkir kopi panas pesanannya. “Iya, Kak. Begitulah rame banget tapi kadang reseh juga kayak tadi itu.” Jawab Rara sambil memainkan cangkirnya yang berisi hot chocholate. “Dimas juga ya?”. Tambah Denis. “Iya, Dimas udah di anggep kayak keluarga sendiri. Sering nginep juga kalau ortunya di luar kota.” Jawab Rara. “Kalian cocok banget loh Ra, kenapa gak pacaran?” Rara menatap wajah Denis tak percaya dengan pertanyaan pujaan hatinya ini. “Kadang kita risih juga bingung dianggep kayak gitu, perasaan tingkah kita biasa aja sebagai seorang sahabat yang saling menjaga, kita bahkan punya crush masing-masing yang jadi rahasia kita betiga bareng Tantri. He is Dimas, and I’m Rara. We just bestfriend, gak akan berubah sampai kapanpun.” Jawab Rara sambil tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan kecewa. ”Sorry, Ra. Aku gak maksud.” Mata Denis menatap Rara penuh penyesalan. “Udahlah, kalau kak Denis ngajak kesini cuman mau bahas ini mendingan aku pulang aja deh.” Ucap Rara, ketika akan beranjak dari kursi tangannya di cegah oleh Denis. “Maaf, duduk lagi ya. Ada yang mau aku omongin lagi bukan itu tujuan aku ngajak kamu kesini.”

Pulang kerja, Rara mampir ke rumah Dimas. Kebetulan orang tua Dimas baru pulang dari luar kota dan sudah lama Rara nggak main ke rumah keluarga Dimas. Setibanya disana dia langsung disapa hangat oleh Papa dan Mama Dimas, seperti keberadaan Dimas di keluarga Rara, disinipun Rara sudah dianggap sebagai seorang anak apalagi Dimas adalah anak tunggal. “Rara, Mama kangen banget sama kamu. Apa kabar nak? Keliatan makin seger nih?” canda Mama Dimas. “Mama bisa aja, aku baik Ma. Aku juga kangen banget, Mama sama Papa jalan-jalan terus sih gak ngajak.” Jawab Rara disertai tawa hangat dari semuanya. “Tenang aja Ra, walaupun gak di ajak oleh-oleh kamu tetep nomer satu.” Sambung Papa Dimas. “Giliran Rara aja kayak gitu, Pa, Ma, ini Dimas anak kalian!!” protes Dimas. Semua semakin tertawa melihat tingkah Dimas yang cemburu dengan perhatian yang diberikan pada Rara. “Denger-denger ada yang lagi berbunga nih?” bisik Mama namun dapat didengar oleh semuanya yang membuat Rara bersemu malu. “Ini pasti Dimas nih, ah curang kan aku yang punya cerita kok kamu yang curhatin sih?” melempar bantak di kursi tamu ke wajah Dimas. “Eitss.. gak kena. Lagian kita kan mau dikasih PJ, Ra. Jarang-jarang kan Rara pacaran ditembak di café pula.” Tawa Dimas meledak tak bisa ditahan membuat Rara semakin merengut. “Udah Dim, jangan digodain terus. Nanti pas acara pertunangan Dimas di ajak ya Ra.” Papa menengahi debat keduanya. “Wuihh.jadi Dim? Cepet banget gila kemarin aja masih ngajak nge-date yang lain, takut lepas lagi ya? Hahahaha” Dimas menoyor kepala Rara. “Sembarangan kalo ngomong, kelamaan gak enak Ra. Kamu juga buruan ajak Denis nikah, jangan mau cuman dipacarin.” Canda Dimas. “Iya deh ntar aku bilangin, ntar nikahnya kita barengan aja biar lucu.” Merekapun bercanda tawa penuh kebahagiaan.

Dimas terlihat gelisah mengingat besok adalah hari pertunangannya dengan seorang gadis yang selama ini mengisi hatinya, masa pacaran mereka mungkin baru sekitar 4 bulan karena sulit sekali mendekati gadis lain akibat gosip kedekatannya dengan Rara. Namun Dimas dengan sekuat tenaga dan kesungguhan cintanya bisa menakhlukkan Salsa, sang gadis pujaan dalam waktu yang bisa dikatakan bukan sebentar. Dengan persiapan yang matang, Dimas berharap besok acaranya akan berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Terbangun dari lamunannya karena getar dari smartphone miliknya, buru-buru dia meraih benda itu. Terpampang pesan singkat dari gadis yang menjadi objek fikirannya beberapa detik lalu, yang membuat sebingkai senyuman manis terukir indah di wajahnya. “Kamu gak deg-degan sendiri kok. Semangat ya, jangan kecapekan. Sampai jumpa besok, sayang.” Setelah membalas pesan singkat itu, Dimas terjun ke ranjang tidurnya menuju scene mimpi indah. Penantian selama ini didepan mata, Salsa yang merupakan teman seangkatannya meski tak pernah satu kelas namun sering sekali mereka terlibat bersama dalam acara yang di adakan di sekolah.

Ditemani kedua orang tuanya juga sahabatnya, tak ketinggalan keluarga Rara dan juga Denis. Dimas mantap meminang sang gadis, dengan sangat gagah dan penuh keyakinan. Sorak gembira dan syukur pujianpun terdengar di kediaman Salsa. Mampu memberikan haru bahagia juga tatapan iri para gadis lain yang belum di pinang prianya. Acara berlanjut dengan ramah tamah dan makan bersama. Dimas yang duduk bersama Salsa langsung diserbu oleh dua sahabat cantiknya, di goda dan di usilin seperti biasa mereka lakukan. Mungkin kedepan mereka tak akan bisa seperti ini lagi untuk saling menjaga perasaan hati lain yang begitu mereka jaga dan perjuangkan. “Cie Dimas, sudah laku nih.” Seru Tantri. “Iya terus siapa nih yang ninggalin siapa? Cemburu nih woy.” Canda Rara yang dihadiahi jitakan oleh Dimas dan Tantri. Namun yang di jitak malah tertawa meski agak kesakitan. “Denger Denis, mampus noh.” Rara semakin tertawa kencang.” Lagian kamu dulu kan gitu pas kak Denis PDKT aku. Balas dendam dikit boleh dong.” Sebelah matanya dikedipkan menggoda sahabatnya. Tantri dan Salsa tertawa melihat tingkah keduanya, yang terkadang akrab meski tak jarang juga saling selisih paham seperti ini tapi mereka saling menyayangi satu sama lain. “Udah ah, kayak Tom n Jerry aja malu tuh diliatin bocah. Aku ada kabar gembira.” Tantri menengahi keduanya. “Kamu dapet arisan Tan?” tanya Rara. “Nggak, kamu pasti abis menang lotre. Ya kan?” tanya Dimas tak mau kalah membuat Salsa tertawa dan Tantri memberikan hadiahi jitakan dikepala keduanya. “Sembarangan jadi orang. Aku mau tunangan bro minggu depan.” Ucap Tantri dengan penuh semangat. “Demi apa?? Jadi sama Niko?” Rara dan Dimas bersamaan, keduanya kaget juga bahagia langsung menghambur ke pelukan Tantri membuat Tantri sulit bernafas. “Lepas, gila. Gak bisa nafas ini.” Protes Tantri yang langsung dilepas keduanya. “Berarti tinggal satu bocah ini doang yang belum nih?” tanya Dimas melirik Rara.”Apaan?” mata Rara membulat sempurna. “Serem amat buk!!” teriak Dimas, Tantri dan Salsa barengan. “Siapa bilang, udah lamaran keluarga inti kok. Langsung nikah gak perlu tunangan.” Ucap suara dari Denis yang sudah berdiri di belakang Rara sembari tersenyum manis. “Demi apa?? Kok kamu gak cerita?” jeritan Dimas dan Tantri semakin keras membuat semua orang di rumah itu menatap mereka, yang membuat mereka nyengir gak jelas karena malu. Denis langsung duduk di samping Rara dan memeluknya penuh rasa cinta, dan tatapan keduanya penuh kebahagiaan. Dimas dan Salsa pun tak mau kalah menunjukkan kemesraannya membuat Tantri merengut karena Niko gak bisa ikut ke acara ini. Namun tiba-tiba ada sentuhan hangat dipundak Tantri yang membuat jeritan yang akan keluat menjadi senyum bahagia melihat Niko datang menghampirinya. “Aku sama Kak Denis nikah selang satu minggu sama Dimas, kata Mama sama Papa sekalian repotnya ya udah Ayah Ibu juga setuju. Bapak Bunda apalagi.” Jelas Rara menambah kebahagiaan diantara sahabat itu.

Menikah adalah impian setiap pasang kekasih, dengan berbagai macam perjuangan dan perselisihan membuat mereka semakin yakin akan apa yang mereka pilih. Jika gagal pada perjuangan awal bukan berarti akan kalah di akhir, karena kehidupan berputar dan berganti. Musim berganti, waktu berganti. Pernikahan Dimas minggu lalu berjalan sukses dan lancar, kini dia resmi memperisteri Salsa sebagai nyonya Dimas Saputra. Dilanjutkan pernikahan Rara dan Denis berlangsung sederhana namun hikmat dan sakral, kebahagiaan penuh meliputi Rara menyandang gelar Nyonya Dimas. Tak jauh beda dengan kedua sahabatnya, Tantri juga resmi menjadi nyonya Niko seminggu sebelum Dimas menikah. Persahabatan penuh lika liku yang mereka pertahankan sekalipun hampir saja merenggut kebahagiaan di masing-masing hati mereka. Tak ada perjuangan yang sia-sia kalau memang kita serius menjadikannya kebaikan untuk kita pikul. Suara-suara lain itu hanya untuk di dengar bukan lagi untuk di mengerti kalau hanya akan menimbulkan masalah. Selama masih ada rasa kasih serta sayang yang digenggam, semua akan lebih mudah dan indah.

Rabu, 29 Oktober 2014

IF YOU KNOW



          Melihatnya tersenyum seperti itu, apalagi yang bisa kurasakan selain turut bahagia. Meski senyuman itu bukanlah untukku, tapi setidaknya aku bisa memastikan dia akan bahagia selamanya. Raina Sandy, satu nama terindah yang akan selalu menghiasi setiap hariku, tak peduli badai apapun yang kurasakan asal dia akan selalu menjadi princess dalam kehidupan ini. Aku tak bisa lama-lama memandang pemandangan indah namun kalau boleh jujur akan membunuhku secara perlahan, karena disaat ini aku melihat Raina Sandy tersenyum bahagia dihadapan pria yang di anggapnya sebagai pangeran Satrio Mahardika. Aku menghela nafas panjang, membayangkan andai saja pangeran itu aku, ah membayangkannya saja membuatku merasa tak pantas. Dia akan selamanya menganggapku seorang kakak yang menyayangi adiknya, tak akan bisa lebih daripada ini. Andai saja aku bisa meminta pada Tuhan, menepiskan rasa cintaku pada adik sahabatku sendiri yang kusayangi lebih dari apapun setelah kedua orangtuaku. Andai saja perjanjianku dan Rama tak pernah ada, ya perjanjian konyol mengatasnamakan persahabatan. 

Tiba-tiba ada tangan kecil yang mengagetkanku keluar dari lamunan, aku hampir menjitak orangnya kalau tak menyadari ternyata dia adalah Renata sahabat terdekat dari Reina. Mereka bersahabat sejak masih di bangku SMP, selalu ditempatkan dikelas yang sama dan juga hobi yang tak berbeda jauh menjadikan mereka sangat dekat seperti saudara. “Nah loh ngelamunin nih ceritanya?” tebaknya padaku. “Kepo banget jadi bocah.” Balasku mendorong tubuhnya menjauh dari taman sekolah dimana sejak tadi aku berdiri. “Bang Handy kebiasaan deh, dorong-dorong anak orang seenak jidat. Jangan mentang-mentang senior dong!” gerutu Renata membuatku tertawa, dia hampir mirip dengan Reina sikap manjanya tapi Renata lebih bersikap dewasa dibanding Reina yang polosnya minta di cubit. “Jangan marah terus, ntar di putusin Arta loh.” Kata-kataku membuatnya menatapku tajam, dengan tangan yang berkacak pinggang. Sebisa mungkin ku tahan tawaku yang akan meledak. “Kok gitu sih, sepupu ipar. Aku bilangin Reina loh kalo Bang Handy diam-diam suka padanya.” Kini gentian Renata yang tertawa keras meninggalkanku yang masih melongo tak percaya.

Malam minggu ini kuhabiskan bermain Playstation dengan Rama, kalau kebanyakan remaja menghabiskan waktu dengan hang out bareng teman atau pacar maka disinilah kami berdua sebagai jomblo terhormat yang malas dengan keramaian tak jelas di luar sana, tapi bukan berarti kami anti social ya. Kulihat Reina tengah duduk di sofa satu ruang dengan aku dan Rama sedang sibuk dengan smartphonenya, pakaiannya rapi sepertinya dia mau pergi, kencan mungkin? entahlah apa urusannya denganku. “Dy, kalah traktir di café Red seminggu ya.” Tantang Rama padaku. “OK, siapa takut palingan juga situ yang kalah.” Jawabku ringan. “PD amat jadi orang, jomblo abadi mana mungkin ngalahin cowok setia kayak Rama.” Ucapnya bangga. “Situ kan cuman gak bisa lepas dari nenek lampir sekolah bukannya setia itu namanya.” Jawabku usil membuatnya menyikut lenganku keras. “Bener tu kata Bang Hanhan, mau aja di siksa sama si lampir. Nyari lain gitu katanya Kakak ganteng rebutan banyak orang.” Reina ikut mengusili Rama, yang membuatku tertawa keras merasa menang. “Shut up, dek. Bocah pemula pacaran mana ngerti sih?” Rama sewot, tawaku kini menghilang berganti senyuman kecut mengingat Reina sudah memiliki kekasih, ya Tuhan apa yang kufikirkan. “Yang penting kan Satrio itu baik, setia, sayang sama aku. Baiklah pokoknya.” Terang Reina yang membuatku dan Rama mendengus kesal namun berbeda sebab. “Baikan juga si Hanhan mu ini, tingkat kegantengannya juga masih lumayan meski masih di bawah kakak lah.” Ujar Rama dengan sangat PDnya dan mengedipkan sebelah matanya padaku. “Aduh plastik mana plastik? Ember juga boleh deh.” Jawabku tak terima selolah ingin muntah. Aku dan Rama pun tertawa bersamaan. “Udah ah terserah, mau ke kamar aja reseh nih kak Ramram sama bang Hanhan.” Reina beranjak dari sofa menuju kamarnya. “Gak jadi kencannya?” tanyaku padanya. “Gak jadi. Tau ah bête nih.” Ucapnya malas. “Idih labih sih dek.” Tawa Rama menggema, yang di hadiahi plototan tajam dari Reina yang membuatku ikut tertawa.

Senin siang sepulang sekolah, aku dan Rama mampir ke café Red. Seperti perjanjian kemarin yang kalah wajib traktir selama seminggu, dan lihatlah muka Rama yang penuh kemalasan karena seminggu ini dia harus traktir aku. Rasakan penderitaanmu Rama, lumayan juga kebetulan Papa dan Mama lagi ke luar kota jenguk kerabat selama seminggu. Jadi uang saku dari Papa bisa kumanfaatkan untuk yang lain, thanks before Rama. “Gak usah lesu kayak orang susah deh, Ram.” Rama mendelik tajam padaku dari balik buku menu yang di bacanya. “Salah tempat deh kita, ini bukan café Red pindah yuk.” Jawabnya ngasal membuatku tertawa dan pelayan disamping meja kami melongo gak jelas. “Eh Romo, café Red daerah sini ya cuman satu ya ini nih. Gak usah halusinasi, buruan pesen aku laper.” Pelayanpun segera mencatat dan 10 menit kemudian pesanan kami datang. Ditengah asyik makan, tiba-tiba Rama memukul kepalaku dengan sendok, emang kurang ajar ni orang. “Apaan sih?” tanyaku kesal, dia hanya menunjuk seseorang di meja tak jauh dari tempat kami. “Satrio? Sama siapa tuh? Bukan Reina kan?” aku memberondong banyak pertanyaan pada Rama yang di jawab dengan putaran bola mata malas. Seolah berkata –Kalo tahu, gak bakal nanya situ. Akupun nyengir gak jelas, dalam hati aku ingin marah melihat pacar princess hatiku selingkuh. “Jangan kasih tahu Reina, Ram.” Rama yang sibuk mengetik sebuah pesan menatapku penuh tanya. “Baru aja mau aku sms, napa sih?” jawabnya. Aku merebut smartphone miliknya. “Eh balikin, aku sayang sama Reina. Dan gak ada yang boleh nyakitin dia, inget kan Dy?” Rama seolah menahan emosi. “Aku juga sayang sama dia, kita cari bukti dulu. Jangan gegabah malah bikin Reina sedih.” Jawabku mengembalikan smartphone miliknya.

Seminggu setelah kejadian itu, aku dan Rama beberapa kali masih sering melihat Satrio dengan cewek yang sama seperti sebelumnya. Aku semakin emosi melihatnya apalagi Rama, bagaimana mungkin hubungan mereka yang baru satu bulan beberapa hari lagi sudah di bumbui dengan perselingkuhan? Tapi itulah nyatanya, setelah melakukan penyelidikan tanpa sepengetahuan siapapun ternyata ada yang tidak beres dengan sikap Satrio yang mendadak menyatakan cinta pada Reina dahal dulu dia cuek pada gadis itu mengingat mereka juga selalu satu kelas sejak SMP. “Bang Dy, ngapain sih ngajak Rena kesini kan aku mau kencan sama Arta. Jadinya malah triple sama bang Dy kan gak lucu jadiin abang ganteng obat nyamuk.” Renata mulai neyrocos gak jelas, dan berhenti ketika mendapat cubitan di hidungnya dari Arta. Good job Arta sangat membantu. “Diem dulu sayang, ini penting kayaknya jadi kita dengerin bang Dy dulu ya.” Arta emang pengertian, Rena kini memasang wajah bête absurd. “Kenal Satrio kan?” tanganku membekap mulut Rena, tahu kalau dia akan memotong kalimatku dan mencemoohku karena dia tahu aku suka dengan Reina. “Dia selingkuh, udah beberapa kali ini aku sama Rama mergokin. Menurut kalian ada yang aneh dengan sikap Satio selama ini?” tanyaku sembari melepas tangan dari mulut Rena yang kehabisan nafas. “Gila, gak lucu kalau ada berita gadis SMA cantik mati di bekap abang ganteng.” Celoteh Rena membuatku dan Arta mendengus kesal. “Bisa tau cewek yang sama Satrio, bang?” tanya Arta. “Gak tau itu siapa, mungkin kalian kenal.” Aku meunjukkan beberapa foto yang kuambil kemarin. Rena dan Arta yang melihat foto itu berubah mimik wajahnya. “Itu kan Marsya, yang dulu hobi banget nge bully anak SMP termasuk Reina.” Pernyataan Renata membuatku menyerngit meminta penjelasan lebih. “Dia adiknya Daren, teman seangkatanku yang pernah naksir sama Reina tapi di tolak mentah-mentah. Inget?” Arta menambahi. “Jangan bilang kalau Daren mau balas dendam sama Reina?” tanyaku penuh selidik. “Bisa saja, tapi ada kemungkinan lain Marsya juga ingin balas dendam karena dulu gebetannya malah suka sama Reina.” Aku menutup mata frustasi. Renata melanjutkan kalimatnya, “Ada yang aneh, dulu Satrio cuek banget sama Reina tapi..” kalimat Renata menggantung membuatku membuka mata menatapnya begitu juga Arta yang memandangi wajah kekasihnya penuh tanya. “Ya ampun aku baru inget kalau dulu pernah ada kabar Satrio naksir sama Marsya.” Renata mengusap wajahnya tak mampu berkata-kata. “Jadi dia manfaatin Satrio yang di cintai mati sama Reina?” Arta menggenggam tangan Renata member ketenangan.

Kulihat Reina berdiri di depan gerbang sekolah, sepertinya menunggu Satrio dari parkiran. Aku kini pulang cepat karena guru les tambahan di kelasku sedang berhalangan hadir dan tak ada guru ganti. Kutarik Reina menuju motorku. “Bang hanhan, ngapain sih nyeret Reina kayak gini sakit tau.” Reina mendumel padaku, aku hanya tersenyum manis melepas tarikan pada tangannya. “Maaf, yuk pulang bareng abang. Kak Rama masih ada les tambahan.” Ucapku santai padahal aku tahu kalau dia menunggu Satrio bukan Rama. “Sekarang kan aku pulangnya emang gak pernah barengan kak Rama tapi sama Satrio, bang.” Aku menghela nafas panjang menahan emosi. “Udah sama bang Handy aja, mulai sekarang jauhin Satrio.” Kini Rama berada tepat di depan Reina, mendengar kalimat kakaknya membuat Reina melotot. “Maksud kakak apaan sih? Gak usah ngelarang deh, emang kalau aku nyuruh kak Rama jauhin si lampir itu mau?” Rama geram dengan sikap adiknya satu ini. Akupun juga merasakan hal yang sama. “Dia gak pantes buat kamu, dia itu busuk. Ngerti gak?” bisik Rama pada Reina tak ingin semua orang mendengar pertengkaran mereka apalagi masih dilingkungan sekolah. Reina meneteskan air mata dan bergumam pelan namun bisa aku dan Rama dengar kan “ Kakak sama abang jahat, kalian gak sayang sama aku.” Tangisnya pecah begitu saja. Dari kejauhan kulihat Satrio mendekati gerbang, Rama melirikku untuk cepat membawa Reina pulang. “Tuh bocah biar aku yang urus, aku percaya kamu bisa nenangin dia.” Aku mengangguk mengerti dan memaksa Reina menaiki motorku.

Selama perjalanan pulang, Reina masih saja terus menangis. Aku udah berusaha ngehibur tapi tetap saja princess kepala batu ini tak menggubrisnya dengan baik. Ayo berfikir Handy, cari solusi tanpa masalah ayo lah. Gerutuku dalam hati, akhirnya aku mendapat ide. Puter balik menuju café Red, kebetulan Renata dan Arta sedang kencan disana, bagaimana bisa tahu ya karena miss update yang disandang Renata, mungkin Renata bisa bantu ngehibur bocah yang kusayangi secara diam ini. “Ngapain puter balik? Bentar lagi kan nyampe rumah?” protes Reina, aku hanya diam tak menjawab. “Bang Handy ngapain sih kayak gini, bisa gak kasih Reina kebebasan. Aku bukan ank kecil lagi, kemarin aku nurut untuk jauhin kak Daren. Tapi aku cinta mati sama Satrio bang.” Aku menggeram melajukan motor dengan gilanya, Reina ketakutan mendekapku erat seolah akan mati saat ini juga. Aku yang paling sakit Rei, andai aja kamu ngerti gimana sakitnya ngelihat kamu sama orang lain. Dan saat aku udah mau belajar melepasmu orang itu malah nyakitin kamu, kamu masih ngebela dia? Segitu cintanya kah kamu sama dia sampai aku gak pernah dapet kesempatan itu, atau mungkin emang gak akan pernah. Aku menggumam dan marah dalam hatiku sendiri berteriak dengan suara jiwaku. Semua harusnya menyadarkanku kalau Reina selamanya hanya seorang adik gak akan lebih.

Sampai di café Red, aku menyusul Renata dan Arta yang sebelumnya tadi di depan ku telfon terlebih dahulu. Kutarik tangan Reina menyusul Renata dan Arta, melihat kondisi Reina yang sembab membuat Renata langsung mendekap erat sahabatnya itu. “Kak Rama mana?” tanya Arta menghilangkan suasana tegang dan hening. “Masih ngurusin bocah, gimana Daren sama Marsya? Beres?” aku menghela nafas lelah, kulihat dari ekor mataku Reina menatapku ketika menanyakan tentang Daren dan Marsya. “Bereslah, makanya kita bisa cepet dateng kesininya.” Cengir Arta enteng tanpa beban. “Baguslah, untung gak Rama sendiri yang ngambil.” Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa yang empuk, nyaman. “Kata siapa gak ikut? Heboh banget tuh tua gak mau kalah sama yang muda.” Jawab Renata ditambahi tawa renyah dari Arta. “Maksudnya apaan sih?” Reina mulai angkat bicara. “Udah nangis aja dulu selesein, kita dah gak mau nampung air mata penuh luka.” Cibir Renata. “Kenapa sih Ta, kok kamu jadi sewot sama aku?” Reina melepas pelukannya pada Renata, menatap kami penuh kebingungan dan juga emosi. “Habis kamu dibantuin malah gitu, kamu marah kan sama bang Handy sampe dia jadi diem kayak gitu? Kamu tuh udah dibohongin sama Marsya dan Daren lewat Satrio.” Reina menatap tak percaya membuatku menghela nafas, sia-sia sudah segala perjuanganku sepertinya tak akan pernah ada aku dihatinya. “Aku balik duluan ya, bentar lagi Rama kesini. Maaf ya Reina kalau selalu bikin kamu gak nyaman.” Reina masih terpaku pada pandangan kososng, kutepuk lembut puncak kepalanya. Arta dan Renata tersenyum tipis seolah mengerti apa yang kurasakan. Sesampainya di pintu café aku bertemu dengan Rama, mengobrol sebentar dan akupun pamit pergi dan melangkahkan kaki menjauh dari café.

                Pindah ke Jogja menjadi pilihan tepat untuk memulai semuanya dari awal, membuka hati pada kehidupan baru. Ah semoga saja ini lebih banyak menyenangkan dari sebelumnya, sekolah baru lingkungan baru teman baru. Sejak pertemuan terakhir dengan Reina di café waktu itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya, meski dia sering mengirimkan pesan atau mencoba menelfonku namun ku abaikan. Aku benar-benar butuh memulainya dari awal, hanya Rama yang tahu aku pindah ke Jogaja dan juga alasan sebenarnya. Aku melarangnya memberitahu pada adik tersayangnya itu, hingga aku benar-benar sudah tiba di Jogja. Sedang Renata dan Arta tetap saja menjadi couple kepo yang memaksaku memberitahu dimana keberadaanku sekarang, mereka benar-benar serasi membuat iri  meski terkadang aneh. Kudengan dari Arta dan Renata bahwa Reina sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya, tentu saja Rama yang memberitahu.  Kata mereka dia shock dan merasa bersalah bersikap acuh kepadaku, tapi itu tak akan merubah segala keputusanku. Rama menjelaskan dengan detial semua kejadiannya sampai aksi mengancam Daren dan Marsya yang akan di adukan kepada Kepala Sekolah untuk mencopot jabatan sebagai ketua basket dan cheerleaders, juga perlakuan Rama terhadap Satrio yang merasa bersalah dan malah benci pada Marsya karena telah di tipu. Aku memang tak akan pernah marah dan benci padanya karena dia adalah princess hatiku sampai kapanpun meski nanti hatiku terisi orang lain.

Tiga tahun sudah aku memulai semuanya dengan yang baru, tak sesulit yang kubayangkan dulu. Semua berjalan dengan sangat baik, aku menyelesaikan sekolah dan juga melanjutkan kuliah disini. Mengejar gelar dokter seperti impianku sejak dulu, aku sudah membayangkan setiap hari memakai jas putih kebanggan itu hhaha. Sebentar lagi, ya karena kini aku sudah di semester akhir tinggal menyusun skripsi dan voila aku adalah dr.Handy Wijaya. Aku masih berhubungan dengan Rama, Arta dan juga Renata tapi dengan Reina aku masih belum bisa entah sampai kapan. Ruang hatikupun masih saja penuh bayangannya tak bisa di usik dengan lainnya, terlalu pengecut mungkin. Sudahlah lupakan saja semua itu sudah berlalu.

Duduk di café menikmati hujan disore hari lewat jendela berteman secangkir kopi adalah yang biasa ku lakukan untuk membunuh rasa sepiku. Kurasa ada yang menepuk pundakku menepis segala imajinasi yang kurangkai dengan sangat nyamannya. “Permisi, boleh duduk disini? Semua kursi penuh.” Sepertinya aku mengenal suara ini, ya sangat mengenal tapi apakah aku masih terjebak dalam imajinasiku? Mungkin iya. Kutengok kesamping asal suara, membuatku membeku sesaat. “Reina Sandy?!” ucapku pelan. Gadis disampingku pun tak kalah terkejutnya namun tak lama seulas senyum manis menghiasai wajahnya, tak banyak berubah semakin terlalu indah. “Bang Han-han?” dia masih saja memakai panggilan itu, hancur sudah pertahanan yang ku buat aku benar-benar merindukannya. Reina menghambur ke pelukanku, dapat kudengar dia terisak, dia menangis. Tapi kenapa? Apakah dia juga merindukanku? “Jangan tinggalin Reina bang, Reina sayang sama bang Han-han. Maafin Reina..” ku usap punggungnya pelan memberikan kenyamanan agar dia tak lagi menangis. “Iya, maafin abang ya princess.” Ucapku pelan, dia semakin mengeratkan pelukannya. “Reina sayang sama abang, Rei..Reina cinta sama bang Han-han.” Aku kaget mendengar penuturannya, jadi cintaku gak bertepuk sebelah tangan? Kuurai pelukan kami, kupandang wajahnya tatapannya teduh namun penuh kerinduan, ke berikan senyuman manisku padanya ku kecup keningnya pelan membuatnya tersipu malu. “Bang han-han juga sayang sama, princess..” ku atur nafasku yang terasa berat “juga ci..cinta sama kamu. Tapi..” berat sekali mengucapnya mengingat perjanjianku dengan Rama. “Tapi kenapa?” itu suara Rama, tapi bagaimana bisa? Aku dan Reina mendongak ke asal suara, itu beneran Rama, Tuhan. Tangannya menyilang di dada dan melotot seram. “Udah lupain aja perjanjian itu, kan tujuannya aku mau lindungin adek aku. Tapi kalau ternyata itu malah bikin princess aku sakit ya udah batalin aja, gampang kan?” aku melongo mendengarnya, enak banget ngomongnya. Kujitak kepalanya cukup keras. “Bego..kenapa baru ngomong sekarang? Gak dari dulu aja sih, oon?!” Rama mendengus kesal, sedang Reina tertawa melihat kelakuan kami. “Ish situ yang bencong, belum apa-apa udah nyerah gitu aja padahal juga mau ngomong ini udah lama. Kamu tuh yang oon! Pake kabur jauh kesini masih aja jomblo.” aku gantian mendengus kesal. “Hore traktiran nih ada yang baru jadian.” Itu teriakan couple kepo. “Traktiran aja heboh mas mbak. Eh bentar deh kok kalian ada disini sih?” tanyaku penuh keheranan. Arta menjitak kepalaku dengan amat tenang tanpa dosa di wajahnya. “Calon dokter masih aja oon, gak up to date. Kan Reina kuliah disini, dan kita lagi jengukin dia sekalian nganter kak Rama prewed.” Aku melongo makin lebar, mereka semua tertawa melihat kelakuanku, namun tak lama Reina memelukku erat membuatku harus kembali sadar dari kebodohanku. Thanks God, it’s so beautiful.teriakku dalam hati.

Akhirnya cintaku tak bertepuk sebelah tangan, indahnya dunia ini. Arta dan Renata juga masih langgeng sampai sekarang, sebentar lagi mereka berencana melangsungkan pesta pertunangan. Dan yang mengejutkan adalah Rama, bentar lagi dia nikah. Tentu saja dengan nenek lampir, sebenarnya namanya Karmila Anatasya bukan nenek lampir, baguskan? Tapi karena dia cerewet banget apalagi sama Rama ya udah aku sama Reina manggil dia nenek lampir tapi dia baik kok gak nyeremin. Reina juga kuliah di Jogja ternyata jurusan kedokteran tapi beda universitas denganku. Couple dokter? Bisalah unik juga daripada couple kepo yang ku nobatkan untuk Arta dan Renata.