Rabu, 31 Desember 2014

Tulisan Penghujung

Rintiknya masih riuh bersahutan, kilauan indah tersembunyi dalam gelap kabut. Aku masih saja bersenandung yang sama, lirihnya kusebut hampir terhafal oleh mereka yang mulai mengartikan ku kebisingan. Tapak terpijak kaki mungil nan lemah ini pun tak berubah alur, masih dengan jalur yang sama walau aku tau betapa terjal dan tajamnya kerikil yang kini mengapalkan telapak telanjangku.

Kau ingat tidak tentang apa yang pernah kita, maksud ku aku dan kamu sebut sebagai tujuan? Kalau dahulu terdengar romantis tapi kini aku menganggapnya lucu. Ya lucu, kau tak salah dengar karena begitu mengingat kata demi kata yang aku dan kamu rangkai dulu, kini ku rasa terlalu cepat tercetus maka dari itu aku menganggapnya kini sebuah kelucuan.

Lihatlah hujan masih setia memeluk langit malam, aku jadi iri dengan kesetiaannya. Karena aku tak pernah bisa se egois hujan yang memeluk malam dan tak peduli dingin menghujam kulit tiap insan. Harusnya kau juga iri kan? Karena dulu kau yang paling menginginkan setia itu membingkai aku dan kamu menjadi kita. Tapi gagal, bukan cuman kamu tapu juga aku tapi bukan lagi kita karena aku dan kamu bukan lagi pada satu jalur, meski aku dan kamu memandang langit sama tapi arah tatapnya beda.

Di ujung sana ada sebuah tempat indah yang di janji kan oleh takdir, bukan tempat yang ingin kita janjikan. Jangan tertawa, ini sedikit konyol memang bagaimana dulu aku dan kamu terlalu yakin akan sebuah masa depan. Kan tadi sudah kubilang bahwa itu kini terlalu lucu tapi tenang itu wajar kalo kata pujangga, karena hati yang sedang terpanah itu memang sering berlaku di luar nalar.

Aku kini berada di ujung, kamu juga di ujung. Tapi aku dan kamu dalam lingkup berbeda, tapi aku percaya bahagia itu nyata tuk dimiliki. Bukan hanya sekedar menjadi tujuan dan angan seperti dulu aku dan kamu lakukan dulu. Ingatlah meski aku bukanlah tempat penghujungmu dan kau juga sebaliknya akan ada bahagua yang memeluk aku dan kamu dengan keindahan yang bahkan lebih mengejutkan.

Ingat saja, apapun yang sudah berakhir ataupun berujung itu tak selamanya menyakiti. Tinggal bagaimana kita mengartikan, kemana arah penglihatan kita mengerjap, dan apa yang terapal oleh bibir kita. Aku slalu percaya bahagia itu tak selamanya terencana karena yang tak terduga itu jauh lebih mengejutkan.

Minggu, 21 Desember 2014

Mawar Merah Itu Sang Malaikat Tanpa Sayap

Guyuran hujan membasahi tanah merah yang kini mendekap erat orang yang sangat dia cintai, meski terkadang dia masih belum bisa membahagiakan malah menyakiti hati tapi sosok yang kini sudah mendiami dimensi dunia yang berbeda tak sekalipun membenci sikap dan laku buruk selama ini. Dia ingin menangis menumpahkan segala rasa sedihnya tapi tak mampu, dadanya terasa sesak membawanya pada memori sebelum berada di depan gundukan tanah ini, dia merasa seolah tak pantas menangisi sosok bijak yang diam-diam dia kagumi, dia merasa hanyalah sosok anak durhaka yang tak  punya hak untuk menangisi karena selama hidup sosok ini dia hanya menyematkan luka yang tak seharusnya, dia menyesal sangat menyesal, berharap sekali bisa memutar waktu jika tahu usia sosok ini hanya sampai pada hari ini karena kesan terakhir begitu tak mengenakkan di ingat.

Tujuh hari sejak kepergiannya, dia mungkin terlihat tegar dengan mengikuti semua prosesi pemakaman dengan tanpa air mata tak ada yang tahu betapa tidak percayanya dia tentang hari itu. Dia masih menganggap Bunda nya masih akan bangun ketika akan dimandikan, bahkan saat pemakaman dia masoh berharap Bunda nya berdiri dan meminta pulang bersamanya, juga saat kini duduk ditengah acara tahlilan dia masih berharap Bunda nya muncul di depan pintu dan mengatakan "Bunda pulang, capek beberapa hari bantuin orang lahiran." dia menatap getir halaman rumahnya hanya kerabat, sahabat, dan tetangga yang sedang khidmat memanjatkan doa, harapannya musnah sudah Bunda nya tak akan kembali. Tak terasa air matanya menetes perlahan menjadi sebuah isakan yang menyakitkan setiap yang mendengar, dia bergumam lirih namun bisa di dengar orang yang duduk disampingnya "Ternyata Bunda beneran meninggal." setelah gumaman itu hanya terdengar isakan yang sungguh memilukan. Tujuh hari kepergian Bunda nya dan dia baru bisa menyadarinya bahwa ini bukan candaan Tuhan seperti yang diharapkannya.

Duduk bersandar pada sandaran kasur masih terdengar isakan tanpa air mata, memandangi seisi kamarnya sendiri yang memunculkan kenangan. Menatap cermin disamping kanan sisi kamar, tempat dimana Bunda sering nyerobot ikut bercermin meski dikamarnya sendiri ada cermin. Tumpukan buku bacaan di meja belajar, Bunda selalu ngomel kalau melihat dia terlalu sering membaca apalagi setelah diharuskan memakai kacamata sejak SMP karena minus di matanya yang mengganggu penglihatannya. Ada kacamata yang tergeletak disamping tumpukan buku, kacamata berjejer yang pertama di beli kan Bunda dengan sogikan es krim sampai yg terbaru dia beli dengan uang sendiri yang diantar langsung oleh Bunda ke optik meski kesehatan Bunda saat itu tak lagi sehat saat berjalan, Bumda senang saat melihat dia sudah sedikit bisa membeli kebutuhannya sendiri. Lalu kini dia menatap nanar pada bagian kosong disisi tempatnya duduk kini, biasanya Bunda selalu ikut tidur disini saat beliau kecapekan dan tak ada teman ngobrol maka Bunda pasti akan nyusul dia terlelap di kasur meski sering iseng dulu. Atau saat Bunda membangunkanya tiap pagi dan sore karena kebiasaan tidur kebablasan alis tukang tidur yamg dia lakukan membuat Bunda kadang jengkel.


Hari ini 233 hari tepat Bunda pergi tanpa pernah kembali, membagikan hanya sekedar cerita nostalgia bersama Ayah ataupun kisaj sehari-hari yang tak pernah mudah untuk dijalani beliau karena jauh dari sanak saudara kandung meski kini beliau memiliki anak dan banyak cucu yang siap menggenggam tangan renta di usia senjanya. 233 hari sudah beliau melewatkan semua momen yang harusmya membahagiakan tapi malah jadi mengharukan karena mengingat betapa belum bisanya dia dan para saudaranya mampu memberikan secuil kebahagiaan pada Bunda, Bunda melewatkan hari ulang tahun dia, ayah, kesemua kakaknya. Melewati hari ulangtahunnya sendiri yang selalu merrngek meminta hadiah sederhana,hanya sebuah pelukan dan ciuman penuh kasih sayang bukan sebuah perhiasan apalagi berlian yang beliau minta sebagai kado. Hari ini juga beliau melewatkan perayaan hari ibu, dimana moment terakhir perayaan Hari Ibu tahun kemarin dia baru bisa mengucapkannya meski demgan malu-malu karena tak terbiasa selama hidup 20 tahun lebih itu yang pertama malah disaat Bunda dalam keadaan sakit. Dan itu sukses menjadi kan moment perayaan Hari Ibu pertama dan terakhir yang bisa dia ucapkan secara langsung pada Bundanya karena kini nyatanya dia harus puas hanya menitiplan salam pada Bundanya lewat do'a.

Dia bergumam lirih menghadap jendela yang menampilkan awan teduh. " Bunda, andai kau masih bisa mendampingiku melewati hariku sampai nanti kau tahu betapa bahagianya aku? Maaf atas segala sikap, sering pulang malam hanya untyk mengikuti ekstrakulikuler yang jadi hobi ku sampai kadamg harus nginep disekolah membuat mu cemas setengah mati. Ngumpet di lemari karena kesal merasa terabaikan, membanting pintu tiap kali keinginanku tak kau wujudkan dengan mudah. Maaf belum bisa mewujudkan harapanmu untukku segera memiliki pendamping hidup. Maaf membuatmu harus terbaring sakit karena memikirkan semua sikap dan  keinginanku yg di luar batas, kata orang sebab kau sakit struk sampai terbaring dirumah sakit selama 2 minggu sampai jadi cacat setelahnya karena tak mampu berjalan sendiri, aku yang membuat kau begitu karena kau terlalu berfikir keras untuk menuruti keinginanku. Saat ku dengar ada yang menyalahkanku aku menangis bukan tak terima tapi sangat menerima hingga aku sendiri benci pada diriku sendiri saat bersikap denganmu saat itu.

Bunda, terimakasih atas segala yg ada di dirimu. Kalau kata orang bijak, ibu adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sering terabaikan. Trrima kasih sudah jadi malaikat sekaligus mawar merahku, terima kasih atas segala hadiah dan es krim saat kau membujukku memakai kaca mata dan atas bujukan dg 2 kotak eskrim aku menyanggupi memakai benda konyol itu sampai saat ini. Terima kasih atas biaya hidup selama 20 tahun lebih hasil banting tulangmu, dari bayi sampai dewasa yang memiliki banyak keinginan. Terima kasih turut bangga atas sgala prestasi yg kuraih mulai dari modelling saat usia kanak-kanak sampai terakhir menyabet gelar di sebuah festival seni masa SMA, meski kau jengkel karena aku sering lupa waktu untuk kuluangkan untukmu tapi diam-diam kau bangga. Terima kasih juga telah beberapa kali hadir dalam mimpiku hanya untuk mengatakan bahwa kau sudah memaafkan semua kesalahan ku dan meminta ku untuk tak slalu menyalahkan diri sendiri. Tapi demi Tuhan saat kau memimt untuk tak lagi menyalahkan diri sendiri aku selalu berusaha meski sering kali gagal tapi harus ku coba berdamai dg kehidupan bukankah itu yg slalu kau ajarkan buka? Pada intinya terima kasih atas segalanya, kasih sayang dan segenap cinta yang tak pernah habisnya untuk kau bagi. Love you Bunda betapa aku merindukanmu."

Di usapnya air mata yang mulai mengering meninggalkan jejak di pipi chubbynya. Tersenyum menatap bingkai foto keluarga yang terlijat amat bahagia, mungkin satu sosok sudah meninggalkan dunia tapi kenangannya akan slalu abadi dalam sanubari siapapun yg mengenalnya.

Minggu, 14 Desember 2014

Senyuman Indah

Seulas senyumnya masih terlintas dalam koridor khayal ku, indah. Tak banyak memang, namun cukup melelehkan hati yang telah jatuh ini terhadap sosoknya. Pujian serta sanjungan tak hentinya bergumam dalam sanubari, me damaikan kerinduan.

Hari ini aku seolah ingin kembali pada hari itu, hari dimana aku bisa melihat senyuman indah itu meski dari kejauhan dari balik punggung seorang tak ku kenal yang tengah asyik bergurau dengan mu. Aku sungguh terlihat seperti seekor kucing yang mengintai ikan di dapur.

Sayangnya, hari itu tak lekas datang kembali meski aku duduk di tempat yang sama selama 3 minggu terakhir. Sepertinya aku harus terbangun, membereskan pekerjaan di dunia nyata ku ketimbang sibuk dengan khayalan tentang sosokmu pemilik senyuman indah.

Aku berserah pada takdir, itu lah mengapa tanpa sengaja ada yang mendorong hati ku untuk melangkah ketempat ini kembali setelah 5 bulan aku melupakan kenangan apa yang pernah ku nanti kan disini. Tak banyak berubah, hanya semakin ramai apalagi di jam pulang sekolah seperti ini.

Ternyata sudah satu jam aku duduk disini berteman secangkir coklat panas dan novel romantis kegemaranku. Dan kurasa aku kembali berkhayal seperti beberapa bulan silam saat aku duduk disini melihatsenyuman sosok itu. Tapi kurasa khayalan ini semakin liar karna sosok itu berada tepat di bangku depan yang masih satu meja denganku.

Sepertinya aku butuh istirahat, mungkin juga efek deadline satu minggu ini membuat ku lelah, dan berfantasi salah seperti saat ini. Ku masukkan novel ku ke dalam tas dan beranjak menuju kasir, namun cekalan tangan di lenganku menhentikan langkah. Aku merasa semakin gila dalam khayalan.

"Harusnya aku tadi nggak kesini." ucap ku tanpa sadar. Ku dengar deheman halus dari sosok yang mencekal lenganku
 "Tuh kan, yang ada otak aku makin kacau kepikiran lagi." tambah ku dengan kesal. Sosok di depanku menyentakku duduk kembali, menatapku penuh tanya. "Maaf apabila mengganggu, nona. Boleh saya berkenalan dengan anda?" ucap nya dengan sopan. "Apa aku sedang bermimpi?" tanya ku semakin bingung. Sosok pria itu malah tertawa pelan membuat ku jengkel. "Hei, apa lucu membiarkan orang semakin bingung?"

Sejak hari kebingungan ku, aku dan kau mulai sering bertemu di tempat ini yang ternyata adalah cafe milik mu. Rainaldo Martin, sosok yang pernah membuatku seperti seorang pengintai hanya karena senyuman indahnya. Dan kini masih sulit ku percaya, aku bisa memandangimu dari dekat bahkan bercanda layaknya teman lama. Seperti malam ini sepulang dari kantor aku mampir ke cafe mu.

"Beberapa bulan lalu ku lihat kau sering datang kesini terus kau tak muncul lagi setelahnya. Sepertinya kau menunggu seseorang, siapa?" tanya mu yang membuat ku tercengang, tak mungkin kalau aku mengatakan bahwa aku menunggunya kan?. "Hm..bagaimana kau tahu?" aku tak punya pilihan lain selain balik bertanya. Ku lihat kau mengusap tengkuk mu, tersenyum gugup. "Maaf, aku memperhatikan mu saat beberapa kali kau datang kemari. Ku rasa aku tertarik dengan mu, Ra."

Pernyataan mu malam itu membuatku terkaget sekaligus merasa senang, ku rasa aku benar-benar larut dalam mimpi sejak bertemu dengan sosok Rain pertama kali bahkan sampai saat ini. Kini kau bahkan mulai berani mengajak ku jalan, bukan lagi hanya sekedar duduk bercanda berdua di bangku cafe. "Kau tahu Ra, kau itu seperti pelangi." Aku menyerngit bingung. "Karna kau memebuat hitam putih hidup ku jadi mulai berwarna." Lanjutmu dengan senyuman indah mu. Aku tertawa mendengan ucapan mu yang ku artikan candaan itu. "Siapa yang mengajari mu menggombal seperti itu, Rain?" tanya ku di sela tawa ku. Kau meraih kedua tangan ku dalam genggamanmu, membuatku menghentikan tawaku. "Aku serius, Ra. Be my mine, please." Tatapan mata mu mengunci pandangan ku, refleks aku mengangguk menuruti hati ku tanpa sanggup berucap. Selang itu kau merengkuh ku ke dalam dekapanmu, hangat.

Kegilaanku menjadi penguntit waktu itu ternyata tak aku sendiri yang melakukan, karena kau pun melakukan hal yang sama seperti ku. Dan ternyata dari kegilaan karena senyuman indah itu membuncahkan bahagia yang tak terhingga saat kau memintakua menjadi teman hidup seorang Rainaldo Martin.