Sabtu, 22 November 2014

Di Bawah Purnama

Kilau dalam purnama
Dihantar alunan lembut angin
Senyapnya damai
Bukan mencekam

Aku menguntitmu
Yang terduduk menengadah
Seolah bercakap asyik dengan langit
Tak terusik sedikit pun

Tak terasa ada lengkungan bibirku
Menatap damai mu
Kau indah yang nyata
Hanya saja tak tercapai ku

Kudengar kau bersenandung
Lucu sekali, karna fals dimana-mana
Tapi itu tak mengapa
Bagiku suaramu lantunan doa

Rasanya cukup tuk hari ini
Tenang saja besok aku kembali
Menguntitmu dalam diam
Entah sampai kapan

Salam hangat kusampaikan
Langsung pada hatimu
Bukan lagi telingamu
Semoga kau mendengar

Kamis, 20 November 2014

Mata Coklat

Kosong, sulit
Ah andai ilmu ramal kumiliki
Aku tak akan segila ini
Mengartikan sorot itu.

Lupakan, lupakan ini tak penting
Tapi aku penasaran
Ingin rasanya menyelam
Dalam manik coklat muda itu.

Lalu aku harus bagaimana?
Terus mencari tahu
Atau bersikap tak peduli?
Aku bingung, kenapa aku ini.

Kau pemahaman yang sulit
Butuh berkali-kali penafsiran
Dan, yeah.
Belum tentu itu jitu
Kau tak tertebak

Sungguh lempar saja aku
Menuju psikiater
Karena demi Tuhan, sorot manik coklat itu
Membuatku gila dan senyum bersamaan.

Rabu, 19 November 2014

Menunggu

Aku terkadang merasa tergelitik ketika mendengar seorang pemuja pada pujaannya bahwa dia akan menunggunya sampai kapanpun, menyimpan rasa cinta tulus untuk di urai suatu saat nanti ketika pujaannya telah bisa membuka hati untuknya. Namun yang sering terjadi bukan demikian, ah atau mungkin aku saja yang mengalaminya. Ya, kuharap hanya aku saja yang tak percaya kalau ada cinta itu bisa menunggu. Karena yang terjadi seringnya mereka bahkan menyerah membuat percaya alih-alih akan menunggu dan berjuang.

Malam itu aku masihlah gadis kecil yang bahkan masih bingung apa itu cinta, apalagi terhadap orang yang bahkan baru beberapa kali bertatap muka denganku yang hanya bisa dihitung dengan jari sebelah. Kau mengatakan akan menungguku sampai kapanpun, menggapai mimpi untuk memilikiku. Namun baru hitungan hari saja kau menghindar, dan seolah saling tak kenal. Apa ini yang namanya usaha? Menjauh untuk lupa?

Andai saja, ya ini cuman pengandaian. Kau mau sedikit bersabar, akan aku kabarkan satu senyuman bahwa aku tlah mencintaimu. Namun sayang, kini kudengar kau tak lagi sendiri dan tebakan salahmu bahwa aku mencintai teman baikku masih saja kau oertahankan. Bahkan terakhir kali aku coba menyapamu, nada hangat yg selama ini kudapat seolah raib, berganti dingin tak bersahabat. Ya, dulu aku melukaimu dan kini kau melukaiku. Kita impas kan?

Kata Terangkai

          Aku membaca kata demi kata yang terangkai indah dalam tumpukan kertas yang mereka sebut novel. Terkadang terbesit dalam imajinasi kalau kata terangkai yang kubaca itu adalah dirimu, betapa mudahnya aku bisa jatuh cinta padamu. Tapi ternyata tak semua yang di impikan indah akan nyata dengan indah, karena kata terangkai itu sama saja denganmu. Sama-sama membuatku jatuh cinta, namun tak bisa membalaskan yang sama untukku. Kata terangkai itu tak membalas karena tak mampu berucap, sedangkan kau hanya tak pernah sadar akan yang ku rasa. Mungkin aku terlalu berimpian tinggi, kalau kata sekarang adalah drama queen. Merasa tersakiti dan paling terluka akan semua rasa jatuh cinta yang ku alami, sementara aku sendiri tak mampu hanya sekedar membagi tahu soal ini padamu.

            Sadarku terlewat begitu saja, kekosongan yang andai saja tak bercampur ego mungkin tak akan sesepi ini. Aku adalah penakut paling juara, dimana aku slalu saja bersembunyi dibalik alasanku sendiri untuk slalu tenggelam menjauh dari apapun tentangmu. Aku adalah pecundang yang melemparkan mimpiku jauh sebelum aku sendiri benar-benar berjuang dengan segala yang aku ingin dan aku miliki. Aku adalah seorang tuli, yang menulikan segala inderaku hanya untuk menghindari rasa sakit yang pada ujungnya tetap menghampiriku karena kebodohanku. Tapi apakah aku akan menjadi seorang penyesal? Membiarkan semua keterlambatan semua waktuku untuk hanya sekedar menangisi sikap penakut, pecundang dan tuli yang kulakukan selama ini. Membiarkan air mata jatuh dengan lihainya hanya dengan melihat kau bersama hati lain yang lebih berani menunjukkan rasanya padamu yang jauh berbeda dengan sikap yang ku ambil. Ya, sekarang aku menjadi penyesal membiarkan seluruh air mataku bermain di seluruh wajahku hingga menyembunyikan warna putih pucat dan menggantinya dengan merah membengkak.



Selasa, 11 November 2014

SHE AND HE, WE JUST BEST FRIEND




                Jalanan masih basah bekas hujan sejak tadi pagi, bahkan matahari seolah sembunyi dibalik awan hitam sampai sore menjelang malam. Rara menatap gelisah jam tangan berwarna merah yang terbalut cantik di pergelangan tangan kirinya, jam kesayangannya. Sudah jam 17.30 tapi angkot yang dia tunggu belum juga datang, apa mungkin dia ketinggalan?. Seharusnya angkutan itu sudah datang sejak lima belas menit yang lalu, Rara makin gelisah menatap langit yang makin gelap pertanda malam akan tiba dan sepertinya hujan akan kembali turun. Harusnya tadi dia menerima tawaran kakak lelakinya untuk pulang bersama, tapi dia terlalu keras kepala menerima tawaran Arya. Terlalu gensi teriak batinnya, masa lagi berantem mau terima tebengan kan gak lucu. Ya dua saudara ini bagaikan tom dan jerry dalam serial kartun, tapi mereka tahu dengan pasti kalau mereka saling menyayangi meski tak menunjukkan secara jelas. Sedang asyik dengan pikiran dan kegelisahannya tiba-tiba ada yang menepuk pundak Rara yang membuatnya terperenjak kaget membalikkan badannya menatap sosok dibelakangnya. “Belum pulang? Udah sore banget ini loh.” Ucap Dimas, sosok yang mengagetkan Rara yang merupakan sahabatnya juga teman kerjanya. Rara menghela nafas karena kagetnya tadi. “Kebiasaan deh Dim, ngagetin orang aja sih. Iya, angkotnya dari tadi gak muncul nih.” Dimas tertawa mendengar omelan Rara, sudah biasa dan lucu setiap melihat gadis ini ngomel gak jelas. “Udah puas ketawanya? Udah sana jauh-jauh deh bikin bête aja.” Rara sebal mendengar Dimas yang terus mentertawakannya. “Ya udah maaf, jangan ngambek dong. Aku anterin deh kebetulan mau ketempatnya bude ini.” Ucap Dimas, sembari mengacak poni Rara yang menggemaskan. “Hm..buruan mau hujan nih.” Balas Rara masih dengan wajah ditekuk membuat Dimas tersenyum tipis. Masih tak berubah, tetap manja gak sesuai umur. Gumam Dimas dalam hati.

                Minggu pagi adalah hari libur kerjanya, biasanya Rara akan bangun siang menikmati waktu untuk istirahat setelah setiap hari berkutat dengan pekerjaan. Tapi pagi ini Rara sudah rapi bersiap pergi menghadiri acara komunitas Teater nya di SMA, banyak alumni yang akan datang tak terkecuali Rara dan juga Dimas. Setelah siap, Rara keluar kamar untuk pamit kepada Ayah dan ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Tak berapa lama Dimas datang untuk menjemputnya menuju sekolah SMA nya dulu. Sampai di lokasi, mereka langsung berbaur dengan teman yang lain menghebohkan semua orang yang ada karena mereka berdua memang terkenal bukan hanya di teman seangkatan bahkan alumni jauh dan adik kelaspun mengenalnya, saking rajinnya mereka mengikuti kegiatan komunitas ini. “Rara, makin cakep sumpah dah. Masih aja lengket sama si Dimas.” Tantri memeluk Rara erat melepas kerinduannya. “Aku emang ditakdirin buat slalu cakep, jadi jangan iri ya. Ya kita kan udah paket jangan heran deh.” Rara tertawa bersama Tantri. “Iya sampai banyak yang mau modusin kamu malah mundur gegara Dimas slalu stay disamping kamu.” Rara hanya tertawa mendengarnya, ya begitulah banyak yang mengira Rara dan Dimas adalah sepasang kekasih yang sangat serasi tapi para sahabat mereka mendengar itu malah membuat mereka tertawa. Acara hari ini sungguh seru dan menyenangkan, entah sudah berapa kali mereka tertawa bersama. Hal seperti inilah yang sering mereka rindukan sejak resmi lulus menjadi siswa siswi SMA dan harus berhadapan dengan dunia baru yang benar-benar berbeda dari dunia mainan.

                Istirahat kerja dihabiskan Rara dan Dimas untuk makan bersama di warung dekat tempat kerja, ini mereka pilih karena sebagai staff biasa dari perusahaan furniture yang memiliki gaji tak berlebih jadi harus hemat. Mereka tak sendirian, teman yang lainpun melakukan yang sama. Awalnya membuat kaget rekan lain apalagi mereka adalah staff termuda disana dibanding yang lain, rekan lain fikir mereka akan gensi menikmati makan siang di sebuah warung sederhana seperti ini.”Acara seminggu kemarin kamu ketemu Alya gak, Ra?” tanya Dimas disela makan siangnya. “Alya adik angkatan kita yang sepupunya kak Denis itu? Liat sih cuman gak sempet ngobrol. Kenapa?” Rara balik bertanya pada Dimas. “Dapet salam tuh dari kak Denis, Alya yang bilang. Dia kan gak dateng gara-gara sibuk skripsi di Jogja. Cie kayaknya masih naksir kamu tuh, Ra.” Rara tersedak mendengar ucapan Dimas, buru-buru Dimas mengulurkan minum padanya. “Sembarangan kalo ngomong, mana mungkin idola para wanita naksir aku Dim! Lagian Alya juga gak ngomong apa-apa sama aku, jadi jangan ngarang.” Ucapnya kembali menikmati makannya yang tertunda. “Terserah deh, tapi aku gak ngarang. Kalo jadian bilang-bilang ya mau minta PJ nih.” Tawa Dimas membuat Rara kesal dan mengacuhkan sahabatnya ini. Ya dari para temannya Rara tahu kalau kak Denis suka padanya waktu masih di SMA, waktu itu Rara masih kelas sepuluh dan kak Denis kelas dua belas. Mereka mengikuti komunitas teater jadi kabar tentang hal itu sempat kencang berhembus meski Rara gak pernah mendengar langsung dari orangnya.

                Malam minggu kelabu, Rara hanya menonton tv dirumah sambil sibuk dengan hp nya yang berisik gegara notif grup BBM Teater. Biasanya Dimas main kerumahnya tapi kali ini dia lagi ngapel sama gebetannya, teman angkatan yang ketemu di acara Teater dua minggu yang lalu. Dasar Dimas playboy masih aja gak waras. “Kagak keluar cuy?” tanya Arya sambil mengambil duduk disamping adiknya ini.  “Kagak.” Jawab Rara singkat. “Masih ngambek aja, inget umur deh Ra.” Arya mencubit pipi chubby Rara dengan gemas. “Dih apaan sih, dah sono ngapel aja. Gangguin orang nonton aja sih.” Jawabnya dengan sewot. “Sinta lagi keluar kota, jadi ya udah dirumah aja. Bagas sama Reno juga sibuk ngapel, jadi ya mending dirumah aja gangguin gadis jomblo.” Tawa Arya membuat Rara mencebik kesal. “Bodoh ah, kak Arya mah reseh gitu minta di balikin ke perut ibu.” Protes Rara memukul lengan Arya dengan majalah. “Yee sembarangan jadi adik. Tuh hp bunyi mulu dari operator?” Arya kembali iseng pada Rara. “Terserah deh.” Rara menghempaskan tubuhnya tidur di sofa dan menutup sebagian wajahnya dengan bantal sambil mengutak atik smartphonenya, sedang Arya sibuk tenggelam dalam tontonannya. Mata Rara terbelalak“Apaan sih, kesambet Ra?” Rara masih terpaku pada layar smartphonenya dengan mulut mlongo sempurna. Arya yang merasa diabaikan ikut kepo dan melihat layar touchscreen itu. “Duh ileh, di invite cogan ternyata. Lumayan sih, eh bentar ini kan?? Denis ya?” tanya Arya sambil merebut benda itu dari tangan adiknya. “Dih balikin sini, ngapain ikutan heboh sih.” Rara merebutnya dan berlari ke kamar tak peduli ejekan dari kakaknya yang membuat pipinya bersemu.

                Beberapa hari ini Rara terlihat sumringah sekali, Dimas merasa penasaran dengan apa yang menimpa sahabatnya ini. Bahkan saat hangout bersama Tantri, tatapan mata Rara tak pernah lepas dari smarphonenya membuat Tantri juga ikut penasaran. Mereka bertiga duduk di salah satu meja café di sebuah mall, Tantri yang duduk disebelah Rara memandang Dimas seolah bertanya sedang Dimas yang juga penasaran hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. “Gadismu salah obat ya, kok jadi aneh gini?” bisik Tantri pada Dimas yang duduk di depannya. “Tau tuh, udah tiga hari ini kayak gitu, perasaan di warung deket kantor makanannya gak aneh-aneh kok.” Dimas dan Tantri geleng-geleng kepala dengan tingkah Rara. Rara yang merasa diperhatikan mendongak menatap dua sahabatnya itu. “Kenapa?” Tantri mencubit pipi kanan Rara sedang Dimas mencubit bagian kiri. “Aww..sakit begs.” Jerit Rara tak terima, mengelus kedua pipinya. “Kesambet dimana sih, Ra?” tanya Tantri. “Iya dari kemarin aneh banget tau.” Sambung Dimas masih dengan wajah penuh tanya. “Aku gak kesambet. Kalian kok jadi ketularan kak Arya sih? Bête ih.” Gerutu Rara pada dua sahabatnya ini. “Kayaknya ntar aku musti tanya kak Arya deh Tan.” Ucap Dimas yang di hadiahi anggukan oleh Tantri tanda setuju. Rara hanya memutar bola matanya melihat kelakuan mereka. 

“Hai, Ra.” Sapaan itu membuat ketiganya menoleh. Rara yang sadar dengan siapa yang menyapanya menjadi agak gugup dan bersemu merah. “Ehh..ha hai kak.” Balas Rara. “Eh ada Tantri sama Dimas juga.” Denis menatap Tantri dan Dimas bergantian. “Hai, Kak Denis.” Jawab mereka bersamaan. “Kok ada disini kak?” tanya Dimas yang mempersilahkan Denis duduk di kursi sampingnya depan Rara. “Kebetulan lagi nganter temen cari sepatu futsal, terus BBM Rara katanya ada disini ya nyusul aja capek juga abis muter.” Jawab Denis yang membuat Dimas dan Tantri melirik jenaka Rara, wajahnya kini sudah memerah malu. “Kayaknya kamu gak usah nanya sama kak Arya deh, Dim.” Ucap Tantri jahil. “Waduh Tan, aku patah hati nih bakal di duain.” Jawab Dimas seolah merasa sakit yang dibuat-buat yang mendapat tatapan tajam dari Rara dan tawa tertahan dari Tantri, sedang Denis menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Ehm..kalian masih deket aja ya kayak perangko.” Menunjuk pada Rara dan Dimas membuat keduanya melongo dan Tantri menahan tawa yang akan meledak. “Mm..maksud kak Denis?” tanya Rara gugup.”Kalian kan pacaran. Awet sekali, sejak kalian masuk SMA kalo gak salah denger.” Jawab Denis. Tantri yang sedari tadi menahan tawa sudah tak sanggup lagi langsung menyemburkan tawa disusul oleh Dimas dan Rara belakangan. Hal ini membuat Denis bingung, sepertinya tadi tak ada yang lucu tapi kenapa ketiga orang ini malah tertawa begitu kencang. “Wah..Kak Denis stalker apa ikutan rutinitas gossip sih?” tanya Tantri disela tawanya. “Maksudmu?” Dimas menghela nafas, menahan tawanya. “Kita berdua sahabatan, Kak. Rara ini ibarat kata tong sampah buang unek-unek aku sejak kelas 7. Sejak saat itu kita sekelas terus, nah pas SMA tong sampah aku nambah satu yaitu Tantri tapi dilihat yang paling deket sama aku cuman Rara karna kita sering barengan.” Jelas Dimas panjang lebar. “Dan Dimas ini deket banget sama kakak aku, karena dia anak tunggal dan pengen ngerasain punya kakak. Malah kadang yang berasa adik kandung itu dia di banding aku.” Tawa Tantri dan Dimas bertambah keras melihat Rara mencebik kesal dengan perlakuan kak Arya padanya. Denis pun ikut mentertawakan tingkah Rara yang menggemaskan.

Dimas dan Arya sibuk menggoda Rara yang wajahnya semakin bersemu merah, Ayah dan ibu yang melihat tingkah mereka hanya tersenyum sambil geleng kepala. Rara pun semakin kesal dengan kekompakan kakak dan sahabat baiknya ini, jika mereka sudah sepihak seperti ini bisa dipastikan Rara hanya akan jadi bulan-bulanan target digoda apalagi mengingat kejadian seminggu lalu bertemu dengan Denis, Rara dan Denis terlihat semakin dekat. Ketika sedang asyik bercanda, pintu rumah diketuk mereka bertiga yang asyik duduk dikarpet depan tv saling pandang. Ibu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. “Jadi mukanya kayak udang rebus, Dim?” tanya Arya melanjutkan godaannya. “Parah banget kak, ngalahin udang rebus. Kirain kesambet ternyata kepanah asmara, duh ileh bikin cemburu.” Tawa Dimas disusul oleh Arya.”Patah hati dong situ?” dihadiahi anggukan tawa oleh Dimas.  Ah reseh ah kalian.” Rara melemparkan bantal kearah dua pria menyebalkan ini. “Siapa to Dim, yang bikin gadis Ayah jadi putri malu itu?” Ayah Rara ikut menggoda anak gadisnya, membuat Dimas dan Arya merasa bertambah kekuatan. “Ah Ayah belum dikasih tahu? Wah parah kamu Ra gak dikawinin sama bapakmu mampus tuh.” Canda Dimas. “Ya udah minta tolong aja sama bapakmu, kita tukeran gimana?” jawab Rara dengan kesal. “Loh kok gitu? Udah bosen jadi anak Ayah sampai minta pensiun?” tanya Ayah Rara pura-pura ngambek. “Ayah sih, ah kak Arya juga. Dimas…!!! ini gara-gara kamu.” Gelak tawa menggema melihat Rara yang semakin tak berkutik, sampai ibu masuk pun tawa mereka masih belum reda. “Ra, ada tamu tuh.” Ibu menghampiri  Rara. “Siapa bu?” tanya Rara. “Gak tahu namanya, cowok. Ganteng loh Ra, jangan-jangan itu yang diceritain Dimas?” semua mata menatap Rara penuh selidik dan senyuman penuh tanya.”Terserah.” jawab Rara sambil berlalu menuju ruang tamu. Setelah pamit pada orang rumah plus dapat berbagai macam pertanyaan usil dan jahil, Deni mengajak Rara pergi ke café tak jauh dari rumah Rara. Tak ada pembicaraan yang mereka lakukan di sepanjang perjalanan, Rara yang dibonceng dibelakang hanya sibuk dengan fikirannya sendiri sedang Denis focus pada jalanan. Sampai di café mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati suasana dingin sehabis hujan tadi sore. “Keluarga mu seru ya, Ra. Akrab banget lagi.” Tanya Denis sambil menikmati secangkir kopi panas pesanannya. “Iya, Kak. Begitulah rame banget tapi kadang reseh juga kayak tadi itu.” Jawab Rara sambil memainkan cangkirnya yang berisi hot chocholate. “Dimas juga ya?”. Tambah Denis. “Iya, Dimas udah di anggep kayak keluarga sendiri. Sering nginep juga kalau ortunya di luar kota.” Jawab Rara. “Kalian cocok banget loh Ra, kenapa gak pacaran?” Rara menatap wajah Denis tak percaya dengan pertanyaan pujaan hatinya ini. “Kadang kita risih juga bingung dianggep kayak gitu, perasaan tingkah kita biasa aja sebagai seorang sahabat yang saling menjaga, kita bahkan punya crush masing-masing yang jadi rahasia kita betiga bareng Tantri. He is Dimas, and I’m Rara. We just bestfriend, gak akan berubah sampai kapanpun.” Jawab Rara sambil tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan kecewa. ”Sorry, Ra. Aku gak maksud.” Mata Denis menatap Rara penuh penyesalan. “Udahlah, kalau kak Denis ngajak kesini cuman mau bahas ini mendingan aku pulang aja deh.” Ucap Rara, ketika akan beranjak dari kursi tangannya di cegah oleh Denis. “Maaf, duduk lagi ya. Ada yang mau aku omongin lagi bukan itu tujuan aku ngajak kamu kesini.”

Pulang kerja, Rara mampir ke rumah Dimas. Kebetulan orang tua Dimas baru pulang dari luar kota dan sudah lama Rara nggak main ke rumah keluarga Dimas. Setibanya disana dia langsung disapa hangat oleh Papa dan Mama Dimas, seperti keberadaan Dimas di keluarga Rara, disinipun Rara sudah dianggap sebagai seorang anak apalagi Dimas adalah anak tunggal. “Rara, Mama kangen banget sama kamu. Apa kabar nak? Keliatan makin seger nih?” canda Mama Dimas. “Mama bisa aja, aku baik Ma. Aku juga kangen banget, Mama sama Papa jalan-jalan terus sih gak ngajak.” Jawab Rara disertai tawa hangat dari semuanya. “Tenang aja Ra, walaupun gak di ajak oleh-oleh kamu tetep nomer satu.” Sambung Papa Dimas. “Giliran Rara aja kayak gitu, Pa, Ma, ini Dimas anak kalian!!” protes Dimas. Semua semakin tertawa melihat tingkah Dimas yang cemburu dengan perhatian yang diberikan pada Rara. “Denger-denger ada yang lagi berbunga nih?” bisik Mama namun dapat didengar oleh semuanya yang membuat Rara bersemu malu. “Ini pasti Dimas nih, ah curang kan aku yang punya cerita kok kamu yang curhatin sih?” melempar bantak di kursi tamu ke wajah Dimas. “Eitss.. gak kena. Lagian kita kan mau dikasih PJ, Ra. Jarang-jarang kan Rara pacaran ditembak di café pula.” Tawa Dimas meledak tak bisa ditahan membuat Rara semakin merengut. “Udah Dim, jangan digodain terus. Nanti pas acara pertunangan Dimas di ajak ya Ra.” Papa menengahi debat keduanya. “Wuihh.jadi Dim? Cepet banget gila kemarin aja masih ngajak nge-date yang lain, takut lepas lagi ya? Hahahaha” Dimas menoyor kepala Rara. “Sembarangan kalo ngomong, kelamaan gak enak Ra. Kamu juga buruan ajak Denis nikah, jangan mau cuman dipacarin.” Canda Dimas. “Iya deh ntar aku bilangin, ntar nikahnya kita barengan aja biar lucu.” Merekapun bercanda tawa penuh kebahagiaan.

Dimas terlihat gelisah mengingat besok adalah hari pertunangannya dengan seorang gadis yang selama ini mengisi hatinya, masa pacaran mereka mungkin baru sekitar 4 bulan karena sulit sekali mendekati gadis lain akibat gosip kedekatannya dengan Rara. Namun Dimas dengan sekuat tenaga dan kesungguhan cintanya bisa menakhlukkan Salsa, sang gadis pujaan dalam waktu yang bisa dikatakan bukan sebentar. Dengan persiapan yang matang, Dimas berharap besok acaranya akan berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Terbangun dari lamunannya karena getar dari smartphone miliknya, buru-buru dia meraih benda itu. Terpampang pesan singkat dari gadis yang menjadi objek fikirannya beberapa detik lalu, yang membuat sebingkai senyuman manis terukir indah di wajahnya. “Kamu gak deg-degan sendiri kok. Semangat ya, jangan kecapekan. Sampai jumpa besok, sayang.” Setelah membalas pesan singkat itu, Dimas terjun ke ranjang tidurnya menuju scene mimpi indah. Penantian selama ini didepan mata, Salsa yang merupakan teman seangkatannya meski tak pernah satu kelas namun sering sekali mereka terlibat bersama dalam acara yang di adakan di sekolah.

Ditemani kedua orang tuanya juga sahabatnya, tak ketinggalan keluarga Rara dan juga Denis. Dimas mantap meminang sang gadis, dengan sangat gagah dan penuh keyakinan. Sorak gembira dan syukur pujianpun terdengar di kediaman Salsa. Mampu memberikan haru bahagia juga tatapan iri para gadis lain yang belum di pinang prianya. Acara berlanjut dengan ramah tamah dan makan bersama. Dimas yang duduk bersama Salsa langsung diserbu oleh dua sahabat cantiknya, di goda dan di usilin seperti biasa mereka lakukan. Mungkin kedepan mereka tak akan bisa seperti ini lagi untuk saling menjaga perasaan hati lain yang begitu mereka jaga dan perjuangkan. “Cie Dimas, sudah laku nih.” Seru Tantri. “Iya terus siapa nih yang ninggalin siapa? Cemburu nih woy.” Canda Rara yang dihadiahi jitakan oleh Dimas dan Tantri. Namun yang di jitak malah tertawa meski agak kesakitan. “Denger Denis, mampus noh.” Rara semakin tertawa kencang.” Lagian kamu dulu kan gitu pas kak Denis PDKT aku. Balas dendam dikit boleh dong.” Sebelah matanya dikedipkan menggoda sahabatnya. Tantri dan Salsa tertawa melihat tingkah keduanya, yang terkadang akrab meski tak jarang juga saling selisih paham seperti ini tapi mereka saling menyayangi satu sama lain. “Udah ah, kayak Tom n Jerry aja malu tuh diliatin bocah. Aku ada kabar gembira.” Tantri menengahi keduanya. “Kamu dapet arisan Tan?” tanya Rara. “Nggak, kamu pasti abis menang lotre. Ya kan?” tanya Dimas tak mau kalah membuat Salsa tertawa dan Tantri memberikan hadiahi jitakan dikepala keduanya. “Sembarangan jadi orang. Aku mau tunangan bro minggu depan.” Ucap Tantri dengan penuh semangat. “Demi apa?? Jadi sama Niko?” Rara dan Dimas bersamaan, keduanya kaget juga bahagia langsung menghambur ke pelukan Tantri membuat Tantri sulit bernafas. “Lepas, gila. Gak bisa nafas ini.” Protes Tantri yang langsung dilepas keduanya. “Berarti tinggal satu bocah ini doang yang belum nih?” tanya Dimas melirik Rara.”Apaan?” mata Rara membulat sempurna. “Serem amat buk!!” teriak Dimas, Tantri dan Salsa barengan. “Siapa bilang, udah lamaran keluarga inti kok. Langsung nikah gak perlu tunangan.” Ucap suara dari Denis yang sudah berdiri di belakang Rara sembari tersenyum manis. “Demi apa?? Kok kamu gak cerita?” jeritan Dimas dan Tantri semakin keras membuat semua orang di rumah itu menatap mereka, yang membuat mereka nyengir gak jelas karena malu. Denis langsung duduk di samping Rara dan memeluknya penuh rasa cinta, dan tatapan keduanya penuh kebahagiaan. Dimas dan Salsa pun tak mau kalah menunjukkan kemesraannya membuat Tantri merengut karena Niko gak bisa ikut ke acara ini. Namun tiba-tiba ada sentuhan hangat dipundak Tantri yang membuat jeritan yang akan keluat menjadi senyum bahagia melihat Niko datang menghampirinya. “Aku sama Kak Denis nikah selang satu minggu sama Dimas, kata Mama sama Papa sekalian repotnya ya udah Ayah Ibu juga setuju. Bapak Bunda apalagi.” Jelas Rara menambah kebahagiaan diantara sahabat itu.

Menikah adalah impian setiap pasang kekasih, dengan berbagai macam perjuangan dan perselisihan membuat mereka semakin yakin akan apa yang mereka pilih. Jika gagal pada perjuangan awal bukan berarti akan kalah di akhir, karena kehidupan berputar dan berganti. Musim berganti, waktu berganti. Pernikahan Dimas minggu lalu berjalan sukses dan lancar, kini dia resmi memperisteri Salsa sebagai nyonya Dimas Saputra. Dilanjutkan pernikahan Rara dan Denis berlangsung sederhana namun hikmat dan sakral, kebahagiaan penuh meliputi Rara menyandang gelar Nyonya Dimas. Tak jauh beda dengan kedua sahabatnya, Tantri juga resmi menjadi nyonya Niko seminggu sebelum Dimas menikah. Persahabatan penuh lika liku yang mereka pertahankan sekalipun hampir saja merenggut kebahagiaan di masing-masing hati mereka. Tak ada perjuangan yang sia-sia kalau memang kita serius menjadikannya kebaikan untuk kita pikul. Suara-suara lain itu hanya untuk di dengar bukan lagi untuk di mengerti kalau hanya akan menimbulkan masalah. Selama masih ada rasa kasih serta sayang yang digenggam, semua akan lebih mudah dan indah.