Jalanan masih basah bekas hujan
sejak tadi pagi, bahkan matahari seolah sembunyi dibalik awan hitam sampai sore
menjelang malam. Rara menatap gelisah jam tangan berwarna merah yang terbalut
cantik di pergelangan tangan kirinya, jam kesayangannya. Sudah jam 17.30 tapi
angkot yang dia tunggu belum juga datang, apa mungkin dia ketinggalan?. Seharusnya
angkutan itu sudah datang sejak lima belas menit yang lalu, Rara makin gelisah
menatap langit yang makin gelap pertanda malam akan tiba dan sepertinya hujan
akan kembali turun. Harusnya tadi dia menerima tawaran kakak lelakinya untuk
pulang bersama, tapi dia terlalu keras kepala menerima tawaran Arya. Terlalu
gensi teriak batinnya, masa lagi berantem mau terima tebengan kan gak lucu. Ya
dua saudara ini bagaikan tom dan jerry dalam serial kartun, tapi mereka tahu
dengan pasti kalau mereka saling menyayangi meski tak menunjukkan secara jelas.
Sedang asyik dengan pikiran dan kegelisahannya tiba-tiba ada yang menepuk
pundak Rara yang membuatnya terperenjak kaget membalikkan badannya menatap
sosok dibelakangnya. “Belum pulang? Udah
sore banget ini loh.” Ucap Dimas, sosok yang mengagetkan Rara yang
merupakan sahabatnya juga teman kerjanya. Rara menghela nafas karena kagetnya
tadi. “Kebiasaan deh Dim, ngagetin orang
aja sih. Iya, angkotnya dari tadi gak muncul nih.” Dimas tertawa mendengar
omelan Rara, sudah biasa dan lucu setiap melihat gadis ini ngomel gak jelas. “Udah puas ketawanya? Udah sana jauh-jauh
deh bikin bête aja.” Rara sebal mendengar Dimas yang terus
mentertawakannya. “Ya udah maaf, jangan
ngambek dong. Aku anterin deh kebetulan mau ketempatnya bude ini.” Ucap
Dimas, sembari mengacak poni Rara yang menggemaskan. “Hm..buruan mau hujan nih.” Balas Rara masih dengan wajah ditekuk
membuat Dimas tersenyum tipis. Masih tak berubah, tetap manja gak sesuai umur.
Gumam Dimas dalam hati.
Minggu pagi adalah hari libur
kerjanya, biasanya Rara akan bangun siang menikmati waktu untuk istirahat
setelah setiap hari berkutat dengan pekerjaan. Tapi pagi ini Rara sudah rapi
bersiap pergi menghadiri acara komunitas Teater nya di SMA, banyak alumni yang
akan datang tak terkecuali Rara dan juga Dimas. Setelah siap, Rara keluar kamar
untuk pamit kepada Ayah dan ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Tak
berapa lama Dimas datang untuk menjemputnya menuju sekolah SMA nya dulu. Sampai
di lokasi, mereka langsung berbaur dengan teman yang lain menghebohkan semua
orang yang ada karena mereka berdua memang terkenal bukan hanya di teman
seangkatan bahkan alumni jauh dan adik kelaspun mengenalnya, saking rajinnya
mereka mengikuti kegiatan komunitas ini. “Rara,
makin cakep sumpah dah. Masih aja lengket sama si Dimas.” Tantri memeluk
Rara erat melepas kerinduannya. “Aku
emang ditakdirin buat slalu cakep, jadi jangan iri ya. Ya kita kan udah paket
jangan heran deh.” Rara tertawa bersama Tantri. “Iya sampai banyak yang mau modusin kamu malah mundur gegara Dimas
slalu stay disamping kamu.” Rara hanya tertawa mendengarnya, ya begitulah
banyak yang mengira Rara dan Dimas adalah sepasang kekasih yang sangat serasi
tapi para sahabat mereka mendengar itu malah membuat mereka tertawa. Acara hari
ini sungguh seru dan menyenangkan, entah sudah berapa kali mereka tertawa
bersama. Hal seperti inilah yang sering mereka rindukan sejak resmi lulus
menjadi siswa siswi SMA dan harus berhadapan dengan dunia baru yang benar-benar
berbeda dari dunia mainan.
Istirahat kerja dihabiskan Rara
dan Dimas untuk makan bersama di warung dekat tempat kerja, ini mereka pilih
karena sebagai staff biasa dari perusahaan furniture yang memiliki gaji tak
berlebih jadi harus hemat. Mereka tak sendirian, teman yang lainpun melakukan
yang sama. Awalnya membuat kaget rekan lain apalagi mereka adalah staff termuda
disana dibanding yang lain, rekan lain fikir mereka akan gensi menikmati makan
siang di sebuah warung sederhana seperti ini.”Acara
seminggu kemarin kamu ketemu Alya gak, Ra?” tanya Dimas disela makan
siangnya. “Alya adik angkatan kita yang
sepupunya kak Denis itu? Liat sih cuman gak sempet ngobrol. Kenapa?” Rara
balik bertanya pada Dimas. “Dapet salam
tuh dari kak Denis, Alya yang bilang. Dia kan gak dateng gara-gara sibuk
skripsi di Jogja. Cie kayaknya masih naksir kamu tuh, Ra.” Rara tersedak
mendengar ucapan Dimas, buru-buru Dimas mengulurkan minum padanya. “Sembarangan kalo ngomong, mana mungkin idola
para wanita naksir aku Dim! Lagian Alya juga gak ngomong apa-apa sama aku, jadi
jangan ngarang.” Ucapnya kembali menikmati makannya yang tertunda. “Terserah deh, tapi aku gak ngarang. Kalo
jadian bilang-bilang ya mau minta PJ nih.” Tawa Dimas membuat Rara kesal
dan mengacuhkan sahabatnya ini. Ya dari para temannya Rara tahu kalau kak Denis
suka padanya waktu masih di SMA, waktu itu Rara masih kelas sepuluh dan kak
Denis kelas dua belas. Mereka mengikuti komunitas teater jadi kabar tentang hal
itu sempat kencang berhembus meski Rara gak pernah mendengar langsung dari
orangnya.
Malam minggu kelabu, Rara hanya
menonton tv dirumah sambil sibuk dengan hp nya yang berisik gegara notif grup
BBM Teater. Biasanya Dimas main kerumahnya tapi kali ini dia lagi ngapel sama
gebetannya, teman angkatan yang ketemu di acara Teater dua minggu yang lalu.
Dasar Dimas playboy masih aja gak waras. “Kagak
keluar cuy?” tanya Arya sambil mengambil duduk disamping adiknya ini. “Kagak.” Jawab Rara singkat. “Masih ngambek aja, inget umur deh Ra.”
Arya mencubit pipi chubby Rara dengan gemas. “Dih apaan sih, dah sono ngapel aja. Gangguin orang nonton aja sih.”
Jawabnya dengan sewot. “Sinta lagi keluar
kota, jadi ya udah dirumah aja. Bagas sama Reno juga sibuk ngapel, jadi ya
mending dirumah aja gangguin gadis jomblo.” Tawa Arya membuat Rara mencebik
kesal. “Bodoh ah, kak Arya mah reseh gitu
minta di balikin ke perut ibu.” Protes Rara memukul lengan Arya dengan
majalah. “Yee sembarangan jadi adik. Tuh
hp bunyi mulu dari operator?” Arya kembali iseng pada Rara. “Terserah deh.” Rara menghempaskan
tubuhnya tidur di sofa dan menutup sebagian wajahnya dengan bantal sambil
mengutak atik smartphonenya, sedang Arya sibuk tenggelam dalam tontonannya.
Mata Rara terbelalak“Apaan sih, kesambet Ra?” Rara masih
terpaku pada layar smartphonenya dengan mulut mlongo sempurna. Arya yang merasa
diabaikan ikut kepo dan melihat layar touchscreen itu. “Duh ileh, di invite cogan ternyata. Lumayan sih, eh bentar ini kan??
Denis ya?” tanya Arya sambil merebut benda itu dari tangan adiknya. “Dih balikin sini, ngapain ikutan heboh
sih.” Rara merebutnya dan berlari ke kamar tak peduli ejekan dari kakaknya
yang membuat pipinya bersemu.
Beberapa hari ini Rara terlihat
sumringah sekali, Dimas merasa penasaran dengan apa yang menimpa sahabatnya
ini. Bahkan saat hangout bersama Tantri, tatapan mata Rara tak pernah lepas
dari smarphonenya membuat Tantri juga ikut penasaran. Mereka bertiga duduk di
salah satu meja café di sebuah mall, Tantri yang duduk disebelah Rara memandang
Dimas seolah bertanya sedang Dimas yang juga penasaran hanya mengangkat kedua
bahunya tanda tak tahu. “Gadismu salah
obat ya, kok jadi aneh gini?” bisik Tantri pada Dimas yang duduk di
depannya. “Tau tuh, udah tiga hari ini
kayak gitu, perasaan di warung deket kantor makanannya gak aneh-aneh kok.”
Dimas dan Tantri geleng-geleng kepala dengan tingkah Rara. Rara yang merasa
diperhatikan mendongak menatap dua sahabatnya itu. “Kenapa?” Tantri mencubit pipi kanan Rara sedang Dimas mencubit
bagian kiri. “Aww..sakit begs.” Jerit
Rara tak terima, mengelus kedua pipinya. “Kesambet
dimana sih, Ra?” tanya Tantri. “Iya
dari kemarin aneh banget tau.” Sambung Dimas masih dengan wajah penuh
tanya. “Aku gak kesambet. Kalian kok jadi
ketularan kak Arya sih? Bête ih.” Gerutu Rara pada dua sahabatnya ini. “Kayaknya ntar aku musti tanya kak Arya deh
Tan.” Ucap Dimas yang di hadiahi anggukan oleh Tantri tanda setuju. Rara
hanya memutar bola matanya melihat kelakuan mereka.
“Hai, Ra.” Sapaan itu membuat ketiganya
menoleh. Rara yang sadar dengan siapa yang menyapanya menjadi agak gugup dan
bersemu merah. “Ehh..ha hai kak.”
Balas Rara. “Eh ada Tantri sama Dimas
juga.” Denis menatap Tantri dan Dimas bergantian. “Hai, Kak Denis.” Jawab mereka bersamaan. “Kok ada disini kak?” tanya Dimas yang mempersilahkan Denis duduk
di kursi sampingnya depan Rara.
“Kebetulan lagi nganter temen cari sepatu futsal, terus BBM Rara katanya ada
disini ya nyusul aja capek juga abis muter.” Jawab Denis yang membuat Dimas
dan Tantri melirik jenaka Rara, wajahnya kini sudah memerah malu. “Kayaknya kamu gak usah nanya sama kak Arya
deh, Dim.” Ucap Tantri jahil. “Waduh
Tan, aku patah hati nih bakal di duain.” Jawab Dimas seolah merasa sakit
yang dibuat-buat yang mendapat tatapan tajam dari Rara dan tawa tertahan dari
Tantri, sedang Denis menggaruk rambutnya yang tak gatal. “Ehm..kalian masih deket aja ya kayak perangko.” Menunjuk pada Rara
dan Dimas membuat keduanya melongo dan Tantri menahan tawa yang akan meledak. “Mm..maksud kak Denis?” tanya Rara gugup.”Kalian kan pacaran. Awet sekali, sejak
kalian masuk SMA kalo gak salah denger.” Jawab Denis. Tantri yang sedari
tadi menahan tawa sudah tak sanggup lagi langsung menyemburkan tawa disusul
oleh Dimas dan Rara belakangan. Hal ini membuat Denis bingung, sepertinya tadi
tak ada yang lucu tapi kenapa ketiga orang ini malah tertawa begitu kencang. “Wah..Kak Denis stalker apa ikutan rutinitas
gossip sih?” tanya Tantri disela tawanya. “Maksudmu?” Dimas menghela nafas, menahan tawanya. “Kita berdua sahabatan, Kak. Rara ini ibarat
kata tong sampah buang unek-unek aku sejak kelas 7. Sejak saat itu kita sekelas
terus, nah pas SMA tong sampah aku nambah satu yaitu Tantri tapi dilihat yang
paling deket sama aku cuman Rara karna kita sering barengan.” Jelas Dimas
panjang lebar. “Dan Dimas ini deket
banget sama kakak aku, karena dia anak tunggal dan pengen ngerasain punya
kakak. Malah kadang yang berasa adik kandung itu dia di banding aku.” Tawa Tantri
dan Dimas bertambah keras melihat Rara mencebik kesal dengan perlakuan kak Arya
padanya. Denis pun ikut mentertawakan tingkah Rara yang menggemaskan.
Dimas
dan Arya sibuk menggoda Rara yang wajahnya semakin bersemu merah, Ayah dan ibu
yang melihat tingkah mereka hanya tersenyum sambil geleng kepala. Rara pun
semakin kesal dengan kekompakan kakak dan sahabat baiknya ini, jika mereka
sudah sepihak seperti ini bisa dipastikan Rara hanya akan jadi bulan-bulanan
target digoda apalagi mengingat kejadian seminggu lalu bertemu dengan Denis,
Rara dan Denis terlihat semakin dekat. Ketika sedang asyik bercanda, pintu
rumah diketuk mereka bertiga yang asyik duduk dikarpet depan tv saling pandang.
Ibu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. “Jadi mukanya kayak udang rebus, Dim?” tanya Arya melanjutkan
godaannya. “Parah banget kak, ngalahin
udang rebus. Kirain kesambet ternyata kepanah asmara, duh ileh bikin cemburu.” Tawa
Dimas disusul oleh Arya.”Patah hati dong
situ?” dihadiahi anggukan tawa oleh Dimas. “Ah
reseh ah kalian.” Rara melemparkan bantal kearah dua pria menyebalkan ini. “Siapa to Dim, yang bikin gadis Ayah jadi
putri malu itu?” Ayah Rara ikut menggoda anak gadisnya, membuat Dimas dan
Arya merasa bertambah kekuatan. “Ah Ayah
belum dikasih tahu? Wah parah kamu Ra gak dikawinin sama bapakmu mampus tuh.”
Canda Dimas. “Ya udah minta tolong aja
sama bapakmu, kita tukeran gimana?” jawab Rara dengan kesal. “Loh kok gitu? Udah bosen jadi anak Ayah sampai
minta pensiun?” tanya Ayah Rara pura-pura ngambek. “Ayah sih, ah kak Arya juga. Dimas…!!! ini gara-gara kamu.” Gelak
tawa menggema melihat Rara yang semakin tak berkutik, sampai ibu masuk pun tawa
mereka masih belum reda. “Ra, ada tamu
tuh.” Ibu menghampiri Rara. “Siapa bu?” tanya Rara. “Gak tahu namanya, cowok. Ganteng loh Ra,
jangan-jangan itu yang diceritain Dimas?” semua mata menatap Rara penuh
selidik dan senyuman penuh tanya.”Terserah.”
jawab Rara sambil berlalu menuju ruang tamu. Setelah
pamit pada orang rumah plus dapat berbagai macam pertanyaan usil dan jahil,
Deni mengajak Rara pergi ke café tak jauh dari rumah Rara. Tak ada pembicaraan
yang mereka lakukan di sepanjang perjalanan, Rara yang dibonceng dibelakang
hanya sibuk dengan fikirannya sendiri sedang Denis focus pada jalanan. Sampai
di café mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati suasana dingin sehabis
hujan tadi sore. “Keluarga mu seru ya,
Ra. Akrab banget lagi.” Tanya Denis sambil menikmati secangkir kopi panas
pesanannya. “Iya, Kak. Begitulah rame
banget tapi kadang reseh juga kayak tadi itu.” Jawab Rara sambil memainkan
cangkirnya yang berisi hot chocholate. “Dimas
juga ya?”. Tambah Denis. “Iya, Dimas
udah di anggep kayak keluarga sendiri. Sering nginep juga kalau ortunya di luar
kota.” Jawab Rara. “Kalian cocok
banget loh Ra, kenapa gak pacaran?” Rara menatap wajah Denis tak percaya
dengan pertanyaan pujaan hatinya ini. “Kadang
kita risih juga bingung dianggep kayak gitu, perasaan tingkah kita biasa aja
sebagai seorang sahabat yang saling menjaga, kita bahkan punya crush
masing-masing yang jadi rahasia kita betiga bareng Tantri. He is Dimas, and I’m
Rara. We just bestfriend, gak akan berubah sampai kapanpun.” Jawab Rara
sambil tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan kecewa. ”Sorry, Ra. Aku gak maksud.” Mata Denis menatap Rara penuh
penyesalan. “Udahlah, kalau kak Denis
ngajak kesini cuman mau bahas ini mendingan aku pulang aja deh.” Ucap Rara,
ketika akan beranjak dari kursi tangannya di cegah oleh Denis. “Maaf, duduk lagi ya. Ada yang mau aku
omongin lagi bukan itu tujuan aku ngajak kamu kesini.”
Pulang
kerja, Rara mampir ke rumah Dimas. Kebetulan orang tua Dimas baru pulang dari
luar kota dan sudah lama Rara nggak main ke rumah keluarga Dimas. Setibanya
disana dia langsung disapa hangat oleh Papa dan Mama Dimas, seperti keberadaan
Dimas di keluarga Rara, disinipun Rara sudah dianggap sebagai seorang anak
apalagi Dimas adalah anak tunggal. “Rara,
Mama kangen banget sama kamu. Apa kabar nak? Keliatan makin seger nih?” canda
Mama Dimas. “Mama bisa aja, aku baik Ma.
Aku juga kangen banget, Mama sama Papa jalan-jalan terus sih gak ngajak.”
Jawab Rara disertai tawa hangat dari semuanya. “Tenang aja Ra, walaupun gak di ajak oleh-oleh kamu tetep nomer satu.”
Sambung Papa Dimas. “Giliran Rara aja
kayak gitu, Pa, Ma, ini Dimas anak kalian!!” protes Dimas. Semua semakin
tertawa melihat tingkah Dimas yang cemburu dengan perhatian yang diberikan pada
Rara. “Denger-denger ada yang lagi
berbunga nih?” bisik Mama namun dapat didengar oleh semuanya yang membuat
Rara bersemu malu. “Ini pasti Dimas nih,
ah curang kan aku yang punya cerita kok kamu yang curhatin sih?” melempar
bantak di kursi tamu ke wajah Dimas. “Eitss..
gak kena. Lagian kita kan mau dikasih PJ, Ra. Jarang-jarang kan Rara pacaran
ditembak di café pula.” Tawa Dimas meledak tak bisa ditahan membuat Rara
semakin merengut. “Udah Dim, jangan
digodain terus. Nanti pas acara pertunangan Dimas di ajak ya Ra.” Papa
menengahi debat keduanya. “Wuihh.jadi
Dim? Cepet banget gila kemarin aja masih ngajak nge-date yang lain, takut lepas
lagi ya? Hahahaha” Dimas menoyor kepala Rara. “Sembarangan kalo ngomong, kelamaan gak enak Ra. Kamu juga buruan ajak
Denis nikah, jangan mau cuman dipacarin.” Canda Dimas. “Iya deh ntar aku bilangin, ntar nikahnya kita barengan aja biar lucu.”
Merekapun bercanda tawa penuh kebahagiaan.
Dimas
terlihat gelisah mengingat besok adalah hari pertunangannya dengan seorang
gadis yang selama ini mengisi hatinya, masa pacaran mereka mungkin baru sekitar
4 bulan karena sulit sekali mendekati gadis lain akibat gosip kedekatannya
dengan Rara. Namun Dimas dengan sekuat tenaga dan kesungguhan cintanya bisa
menakhlukkan Salsa, sang gadis pujaan dalam waktu yang bisa dikatakan bukan
sebentar. Dengan persiapan yang matang, Dimas berharap besok acaranya akan
berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Terbangun dari lamunannya karena getar
dari smartphone miliknya, buru-buru dia meraih benda itu. Terpampang pesan
singkat dari gadis yang menjadi objek fikirannya beberapa detik lalu, yang
membuat sebingkai senyuman manis terukir indah di wajahnya. “Kamu gak deg-degan sendiri kok. Semangat
ya, jangan kecapekan. Sampai jumpa besok, sayang.” Setelah membalas pesan
singkat itu, Dimas terjun ke ranjang tidurnya menuju scene mimpi indah.
Penantian selama ini didepan mata, Salsa yang merupakan teman seangkatannya
meski tak pernah satu kelas namun sering sekali mereka terlibat bersama dalam
acara yang di adakan di sekolah.
Ditemani
kedua orang tuanya juga sahabatnya, tak ketinggalan keluarga Rara dan juga
Denis. Dimas mantap meminang sang gadis, dengan sangat gagah dan penuh
keyakinan. Sorak gembira dan syukur pujianpun terdengar di kediaman Salsa.
Mampu memberikan haru bahagia juga tatapan iri para gadis lain yang belum di
pinang prianya. Acara berlanjut dengan ramah tamah dan makan bersama. Dimas
yang duduk bersama Salsa langsung diserbu oleh dua sahabat cantiknya, di goda
dan di usilin seperti biasa mereka lakukan. Mungkin kedepan mereka tak akan
bisa seperti ini lagi untuk saling menjaga perasaan hati lain yang begitu
mereka jaga dan perjuangkan. “Cie Dimas,
sudah laku nih.” Seru Tantri. “Iya
terus siapa nih yang ninggalin siapa? Cemburu nih woy.” Canda Rara yang
dihadiahi jitakan oleh Dimas dan Tantri. Namun yang di jitak malah tertawa
meski agak kesakitan. “Denger Denis,
mampus noh.” Rara semakin tertawa kencang.” Lagian kamu dulu kan gitu pas kak Denis PDKT aku. Balas dendam dikit
boleh dong.” Sebelah matanya dikedipkan menggoda sahabatnya. Tantri dan
Salsa tertawa melihat tingkah keduanya, yang terkadang akrab meski tak jarang
juga saling selisih paham seperti ini tapi mereka saling menyayangi satu sama
lain. “Udah ah, kayak Tom n Jerry aja malu tuh diliatin bocah. Aku ada kabar
gembira.” Tantri menengahi keduanya. “Kamu dapet arisan Tan?” tanya Rara.
“Nggak, kamu pasti abis menang lotre. Ya kan?” tanya Dimas tak mau kalah
membuat Salsa tertawa dan Tantri memberikan hadiahi jitakan dikepala keduanya.
“Sembarangan jadi orang. Aku mau tunangan bro minggu depan.” Ucap Tantri dengan
penuh semangat. “Demi apa?? Jadi sama Niko?” Rara dan Dimas bersamaan, keduanya
kaget juga bahagia langsung menghambur ke pelukan Tantri membuat Tantri sulit
bernafas. “Lepas, gila. Gak bisa nafas ini.” Protes Tantri yang langsung
dilepas keduanya. “Berarti tinggal satu bocah ini doang yang belum nih?” tanya
Dimas melirik Rara.”Apaan?” mata Rara membulat sempurna. “Serem amat buk!!”
teriak Dimas, Tantri dan Salsa barengan. “Siapa bilang, udah lamaran keluarga
inti kok. Langsung nikah gak perlu tunangan.” Ucap suara dari Denis yang sudah
berdiri di belakang Rara sembari tersenyum manis. “Demi apa?? Kok kamu gak
cerita?” jeritan Dimas dan Tantri semakin keras membuat semua orang di rumah
itu menatap mereka, yang membuat mereka nyengir gak jelas karena malu. Denis
langsung duduk di samping Rara dan memeluknya penuh rasa cinta, dan tatapan
keduanya penuh kebahagiaan. Dimas dan Salsa pun tak mau kalah menunjukkan
kemesraannya membuat Tantri merengut karena Niko gak bisa ikut ke acara ini.
Namun tiba-tiba ada sentuhan hangat dipundak Tantri yang membuat jeritan yang
akan keluat menjadi senyum bahagia melihat Niko datang menghampirinya. “Aku
sama Kak Denis nikah selang satu minggu sama Dimas, kata Mama sama Papa
sekalian repotnya ya udah Ayah Ibu juga setuju. Bapak Bunda apalagi.” Jelas
Rara menambah kebahagiaan diantara sahabat itu.
Menikah
adalah impian setiap pasang kekasih, dengan berbagai macam perjuangan dan
perselisihan membuat mereka semakin yakin akan apa yang mereka pilih. Jika
gagal pada perjuangan awal bukan berarti akan kalah di akhir, karena kehidupan
berputar dan berganti. Musim berganti, waktu berganti. Pernikahan Dimas minggu
lalu berjalan sukses dan lancar, kini dia resmi memperisteri Salsa sebagai
nyonya Dimas Saputra. Dilanjutkan pernikahan Rara dan Denis berlangsung
sederhana namun hikmat dan sakral, kebahagiaan penuh meliputi Rara menyandang
gelar Nyonya Dimas. Tak jauh beda dengan kedua sahabatnya, Tantri juga resmi
menjadi nyonya Niko seminggu sebelum Dimas menikah. Persahabatan penuh lika
liku yang mereka pertahankan sekalipun hampir saja merenggut kebahagiaan di
masing-masing hati mereka. Tak ada perjuangan yang sia-sia kalau memang kita
serius menjadikannya kebaikan untuk kita pikul. Suara-suara lain itu hanya
untuk di dengar bukan lagi untuk di mengerti kalau hanya akan menimbulkan masalah.
Selama masih ada rasa kasih serta sayang yang digenggam, semua akan lebih mudah
dan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar