Melihatnya
tersenyum seperti itu, apalagi yang bisa kurasakan selain turut bahagia. Meski
senyuman itu bukanlah untukku, tapi setidaknya aku bisa memastikan dia akan
bahagia selamanya. Raina Sandy, satu nama terindah yang akan selalu menghiasi
setiap hariku, tak peduli badai apapun yang kurasakan asal dia akan selalu
menjadi princess dalam kehidupan ini. Aku tak bisa lama-lama memandang
pemandangan indah namun kalau boleh jujur akan membunuhku secara perlahan,
karena disaat ini aku melihat Raina Sandy tersenyum bahagia dihadapan pria yang
di anggapnya sebagai pangeran Satrio Mahardika. Aku menghela nafas panjang,
membayangkan andai saja pangeran itu aku, ah membayangkannya saja membuatku
merasa tak pantas. Dia akan selamanya menganggapku seorang kakak yang
menyayangi adiknya, tak akan bisa lebih daripada ini. Andai saja aku bisa
meminta pada Tuhan, menepiskan rasa cintaku pada adik sahabatku sendiri yang
kusayangi lebih dari apapun setelah kedua orangtuaku. Andai saja perjanjianku
dan Rama tak pernah ada, ya perjanjian konyol mengatasnamakan persahabatan.
Tiba-tiba
ada tangan kecil yang mengagetkanku keluar dari lamunan, aku hampir menjitak
orangnya kalau tak menyadari ternyata dia adalah Renata sahabat terdekat dari
Reina. Mereka bersahabat sejak masih di bangku SMP, selalu ditempatkan dikelas
yang sama dan juga hobi yang tak berbeda jauh menjadikan mereka sangat dekat
seperti saudara. “Nah loh ngelamunin nih
ceritanya?” tebaknya padaku. “Kepo
banget jadi bocah.” Balasku mendorong tubuhnya menjauh dari taman sekolah
dimana sejak tadi aku berdiri. “Bang
Handy kebiasaan deh, dorong-dorong anak orang seenak jidat. Jangan
mentang-mentang senior dong!” gerutu Renata membuatku tertawa, dia hampir
mirip dengan Reina sikap manjanya tapi Renata lebih bersikap dewasa dibanding
Reina yang polosnya minta di cubit. “Jangan
marah terus, ntar di putusin Arta loh.” Kata-kataku membuatnya menatapku
tajam, dengan tangan yang berkacak pinggang. Sebisa mungkin ku tahan tawaku
yang akan meledak. “Kok gitu sih, sepupu
ipar. Aku bilangin Reina loh kalo Bang Handy diam-diam suka padanya.” Kini
gentian Renata yang tertawa keras meninggalkanku yang masih melongo tak
percaya.
Malam
minggu ini kuhabiskan bermain Playstation dengan Rama, kalau kebanyakan remaja
menghabiskan waktu dengan hang out bareng teman atau pacar maka disinilah kami
berdua sebagai jomblo terhormat yang malas dengan keramaian tak jelas di luar
sana, tapi bukan berarti kami anti social ya. Kulihat Reina tengah duduk di sofa
satu ruang dengan aku dan Rama sedang sibuk dengan smartphonenya, pakaiannya
rapi sepertinya dia mau pergi, kencan mungkin? entahlah apa urusannya denganku.
“Dy, kalah traktir di café Red seminggu
ya.” Tantang Rama padaku. “OK, siapa
takut palingan juga situ yang kalah.” Jawabku ringan. “PD amat jadi orang, jomblo abadi mana mungkin ngalahin cowok setia
kayak Rama.” Ucapnya bangga. “Situ
kan cuman gak bisa lepas dari nenek lampir sekolah bukannya setia itu namanya.”
Jawabku usil membuatnya menyikut lenganku keras. “Bener tu kata Bang Hanhan, mau aja di siksa sama si lampir. Nyari lain
gitu katanya Kakak ganteng rebutan banyak orang.” Reina ikut mengusili
Rama, yang membuatku tertawa keras merasa menang. “Shut up, dek. Bocah pemula pacaran mana ngerti sih?” Rama sewot,
tawaku kini menghilang berganti senyuman kecut mengingat Reina sudah memiliki
kekasih, ya Tuhan apa yang kufikirkan. “Yang
penting kan Satrio itu baik, setia, sayang sama aku. Baiklah pokoknya.”
Terang Reina yang membuatku dan Rama mendengus kesal namun berbeda sebab. “Baikan juga si Hanhan mu ini, tingkat
kegantengannya juga masih lumayan meski masih di bawah kakak lah.” Ujar
Rama dengan sangat PDnya dan mengedipkan sebelah matanya padaku. “Aduh plastik mana plastik? Ember juga boleh
deh.” Jawabku tak terima selolah ingin muntah. Aku dan Rama pun tertawa
bersamaan. “Udah ah terserah, mau ke
kamar aja reseh nih kak Ramram sama bang Hanhan.” Reina beranjak dari sofa
menuju kamarnya. “Gak jadi kencannya?” tanyaku padanya. “Gak jadi. Tau ah bête nih.” Ucapnya malas. “Idih labih sih dek.” Tawa Rama menggema, yang di hadiahi
plototan tajam dari Reina yang membuatku ikut tertawa.
Senin
siang sepulang sekolah, aku dan Rama mampir ke café Red. Seperti perjanjian
kemarin yang kalah wajib traktir selama seminggu, dan lihatlah muka Rama yang
penuh kemalasan karena seminggu ini dia harus traktir aku. Rasakan
penderitaanmu Rama, lumayan juga kebetulan Papa dan Mama lagi ke luar kota
jenguk kerabat selama seminggu. Jadi uang saku dari Papa bisa kumanfaatkan
untuk yang lain, thanks before Rama. “Gak
usah lesu kayak orang susah deh, Ram.” Rama mendelik tajam padaku dari
balik buku menu yang di bacanya. “Salah
tempat deh kita, ini bukan café Red pindah yuk.” Jawabnya ngasal membuatku
tertawa dan pelayan disamping meja kami melongo gak jelas. “Eh Romo, café Red daerah sini ya cuman satu ya ini nih. Gak usah
halusinasi, buruan pesen aku laper.” Pelayanpun segera mencatat dan 10
menit kemudian pesanan kami datang. Ditengah asyik makan, tiba-tiba Rama
memukul kepalaku dengan sendok, emang kurang ajar ni orang. “Apaan sih?” tanyaku kesal, dia hanya menunjuk seseorang di meja
tak jauh dari tempat kami. “Satrio? Sama
siapa tuh? Bukan Reina kan?” aku memberondong banyak pertanyaan pada Rama
yang di jawab dengan putaran bola mata malas. Seolah berkata –Kalo tahu, gak
bakal nanya situ. Akupun nyengir gak jelas, dalam hati aku ingin marah melihat
pacar princess hatiku selingkuh. “Jangan
kasih tahu Reina, Ram.” Rama yang sibuk mengetik sebuah pesan menatapku
penuh tanya. “Baru aja mau aku sms, napa
sih?” jawabnya. Aku merebut smartphone miliknya. “Eh balikin, aku sayang sama Reina. Dan gak ada yang boleh nyakitin
dia, inget kan Dy?” Rama seolah menahan emosi. “Aku juga sayang sama dia, kita cari bukti dulu. Jangan gegabah malah
bikin Reina sedih.” Jawabku mengembalikan smartphone miliknya.
Seminggu
setelah kejadian itu, aku dan Rama beberapa kali masih sering melihat Satrio
dengan cewek yang sama seperti sebelumnya. Aku semakin emosi melihatnya apalagi
Rama, bagaimana mungkin hubungan mereka yang baru satu bulan beberapa hari lagi
sudah di bumbui dengan perselingkuhan? Tapi itulah nyatanya, setelah melakukan
penyelidikan tanpa sepengetahuan siapapun ternyata ada yang tidak beres dengan
sikap Satrio yang mendadak menyatakan cinta pada Reina dahal dulu dia cuek pada
gadis itu mengingat mereka juga selalu satu kelas sejak SMP. “Bang Dy, ngapain sih ngajak Rena kesini kan
aku mau kencan sama Arta. Jadinya malah triple sama bang Dy kan gak lucu jadiin
abang ganteng obat nyamuk.” Renata mulai neyrocos gak jelas, dan berhenti
ketika mendapat cubitan di hidungnya dari Arta. Good job Arta sangat membantu. “Diem dulu sayang, ini penting kayaknya jadi
kita dengerin bang Dy dulu ya.” Arta emang pengertian, Rena kini memasang
wajah bête absurd. “Kenal Satrio kan?”
tanganku membekap mulut Rena, tahu kalau dia akan memotong kalimatku dan
mencemoohku karena dia tahu aku suka dengan Reina. “Dia selingkuh, udah beberapa kali ini aku sama Rama mergokin. Menurut
kalian ada yang aneh dengan sikap Satio selama ini?” tanyaku sembari
melepas tangan dari mulut Rena yang kehabisan nafas. “Gila, gak lucu kalau ada berita gadis SMA cantik mati di bekap abang
ganteng.” Celoteh Rena membuatku dan Arta mendengus kesal. “Bisa tau cewek yang sama Satrio, bang?”
tanya Arta. “Gak tau itu siapa, mungkin kalian kenal.” Aku meunjukkan beberapa
foto yang kuambil kemarin. Rena dan Arta yang melihat foto itu berubah mimik
wajahnya. “Itu kan Marsya, yang dulu hobi banget nge bully anak SMP termasuk
Reina.” Pernyataan Renata membuatku menyerngit meminta penjelasan lebih. “Dia
adiknya Daren, teman seangkatanku yang pernah naksir sama Reina tapi di tolak
mentah-mentah. Inget?” Arta menambahi. “Jangan bilang kalau Daren mau balas
dendam sama Reina?” tanyaku penuh selidik. “Bisa saja, tapi ada kemungkinan
lain Marsya juga ingin balas dendam karena dulu gebetannya malah suka sama
Reina.” Aku menutup mata frustasi. Renata melanjutkan kalimatnya, “Ada yang
aneh, dulu Satrio cuek banget sama Reina tapi..” kalimat Renata menggantung
membuatku membuka mata menatapnya begitu juga Arta yang memandangi wajah
kekasihnya penuh tanya. “Ya ampun aku baru inget kalau dulu pernah ada kabar
Satrio naksir sama Marsya.” Renata mengusap wajahnya tak mampu berkata-kata. “Jadi
dia manfaatin Satrio yang di cintai mati sama Reina?” Arta menggenggam tangan
Renata member ketenangan.
Kulihat
Reina berdiri di depan gerbang sekolah, sepertinya menunggu Satrio dari
parkiran. Aku kini pulang cepat karena guru les tambahan di kelasku sedang
berhalangan hadir dan tak ada guru ganti. Kutarik Reina menuju motorku. “Bang hanhan, ngapain sih nyeret Reina kayak
gini sakit tau.” Reina mendumel padaku, aku hanya tersenyum manis melepas
tarikan pada tangannya. “Maaf, yuk pulang
bareng abang. Kak Rama masih ada les tambahan.” Ucapku santai padahal aku
tahu kalau dia menunggu Satrio bukan Rama. “Sekarang
kan aku pulangnya emang gak pernah barengan kak Rama tapi sama Satrio, bang.”
Aku menghela nafas panjang menahan emosi. “Udah
sama bang Handy aja, mulai sekarang jauhin Satrio.” Kini Rama berada tepat
di depan Reina, mendengar kalimat kakaknya membuat Reina melotot. “Maksud kakak apaan sih? Gak usah
ngelarang deh, emang kalau aku nyuruh kak Rama jauhin si lampir itu mau?”
Rama geram dengan sikap adiknya satu ini. Akupun juga merasakan hal yang sama. “Dia gak pantes buat kamu, dia itu busuk.
Ngerti gak?” bisik Rama pada Reina tak ingin semua orang mendengar
pertengkaran mereka apalagi masih dilingkungan sekolah. Reina meneteskan air
mata dan bergumam pelan namun bisa aku dan Rama dengar kan “ Kakak sama abang jahat, kalian gak sayang sama aku.” Tangisnya
pecah begitu saja. Dari kejauhan kulihat Satrio mendekati gerbang, Rama
melirikku untuk cepat membawa Reina pulang. “Tuh
bocah biar aku yang urus, aku percaya kamu bisa nenangin dia.” Aku
mengangguk mengerti dan memaksa Reina menaiki motorku.
Selama
perjalanan pulang, Reina masih saja terus menangis. Aku udah berusaha ngehibur
tapi tetap saja princess kepala batu ini tak menggubrisnya dengan baik. Ayo
berfikir Handy, cari solusi tanpa masalah ayo lah. Gerutuku dalam hati,
akhirnya aku mendapat ide. Puter balik menuju café Red, kebetulan Renata dan
Arta sedang kencan disana, bagaimana bisa tahu ya karena miss update yang
disandang Renata, mungkin Renata bisa bantu ngehibur bocah yang kusayangi
secara diam ini. “Ngapain puter balik?
Bentar lagi kan nyampe rumah?” protes Reina, aku hanya diam tak menjawab. “Bang Handy ngapain sih kayak gini, bisa gak
kasih Reina kebebasan. Aku bukan ank kecil lagi, kemarin aku nurut untuk jauhin
kak Daren. Tapi aku cinta mati sama Satrio bang.” Aku menggeram melajukan
motor dengan gilanya, Reina ketakutan mendekapku erat seolah akan mati saat ini
juga. Aku yang paling sakit Rei, andai aja kamu ngerti gimana sakitnya ngelihat
kamu sama orang lain. Dan saat aku udah mau belajar melepasmu orang itu malah
nyakitin kamu, kamu masih ngebela dia? Segitu cintanya kah kamu sama dia sampai
aku gak pernah dapet kesempatan itu, atau mungkin emang gak akan pernah. Aku
menggumam dan marah dalam hatiku sendiri berteriak dengan suara jiwaku. Semua
harusnya menyadarkanku kalau Reina selamanya hanya seorang adik gak akan lebih.
Sampai
di café Red, aku menyusul Renata dan Arta yang sebelumnya tadi di depan ku
telfon terlebih dahulu. Kutarik tangan Reina menyusul Renata dan Arta, melihat
kondisi Reina yang sembab membuat Renata langsung mendekap erat sahabatnya itu.
“Kak Rama mana?” tanya Arta
menghilangkan suasana tegang dan hening. “Masih
ngurusin bocah, gimana Daren sama Marsya? Beres?” aku menghela nafas lelah,
kulihat dari ekor mataku Reina menatapku ketika menanyakan tentang Daren dan
Marsya. “Bereslah, makanya kita bisa
cepet dateng kesininya.” Cengir Arta enteng tanpa beban. “Baguslah, untung gak Rama sendiri yang
ngambil.” Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa yang empuk, nyaman. “Kata siapa gak ikut? Heboh banget tuh tua
gak mau kalah sama yang muda.” Jawab Renata ditambahi tawa renyah dari
Arta. “Maksudnya apaan sih?” Reina
mulai angkat bicara. “Udah nangis aja
dulu selesein, kita dah gak mau nampung air mata penuh luka.” Cibir Renata.
“Kenapa sih Ta, kok kamu jadi sewot sama
aku?” Reina melepas pelukannya pada Renata, menatap kami penuh kebingungan
dan juga emosi. “Habis kamu dibantuin
malah gitu, kamu marah kan sama bang Handy sampe dia jadi diem kayak gitu? Kamu
tuh udah dibohongin sama Marsya dan Daren lewat Satrio.” Reina menatap tak
percaya membuatku menghela nafas, sia-sia sudah segala perjuanganku sepertinya
tak akan pernah ada aku dihatinya. “Aku
balik duluan ya, bentar lagi Rama kesini. Maaf ya Reina kalau selalu bikin kamu
gak nyaman.” Reina masih terpaku pada pandangan kososng, kutepuk lembut
puncak kepalanya. Arta dan Renata tersenyum tipis seolah mengerti apa yang
kurasakan. Sesampainya di pintu café aku bertemu dengan Rama, mengobrol
sebentar dan akupun pamit pergi dan melangkahkan kaki menjauh dari café.
Pindah ke Jogja menjadi pilihan
tepat untuk memulai semuanya dari awal, membuka hati pada kehidupan baru. Ah semoga
saja ini lebih banyak menyenangkan dari sebelumnya, sekolah baru lingkungan
baru teman baru. Sejak pertemuan terakhir dengan Reina di café waktu itu aku
tak pernah lagi bertemu dengannya, meski dia sering mengirimkan pesan atau
mencoba menelfonku namun ku abaikan. Aku benar-benar butuh memulainya dari
awal, hanya Rama yang tahu aku pindah ke Jogaja dan juga alasan sebenarnya. Aku
melarangnya memberitahu pada adik tersayangnya itu, hingga aku benar-benar
sudah tiba di Jogja. Sedang Renata dan Arta tetap saja menjadi couple kepo yang
memaksaku memberitahu dimana keberadaanku sekarang, mereka benar-benar serasi
membuat iri meski terkadang aneh.
Kudengan dari Arta dan Renata bahwa Reina sudah tahu apa yang terjadi
sebenarnya, tentu saja Rama yang memberitahu. Kata mereka dia shock dan merasa
bersalah bersikap acuh kepadaku, tapi itu tak akan merubah segala keputusanku. Rama menjelaskan dengan detial semua kejadiannya sampai aksi mengancam Daren dan Marsya yang akan di adukan kepada Kepala Sekolah untuk mencopot jabatan sebagai ketua basket dan cheerleaders, juga perlakuan Rama terhadap Satrio yang merasa bersalah dan malah benci pada Marsya karena telah di tipu. Aku
memang tak akan pernah marah dan benci padanya karena dia adalah princess
hatiku sampai kapanpun meski nanti hatiku terisi orang lain.
Tiga
tahun sudah aku memulai semuanya dengan yang baru, tak sesulit yang kubayangkan
dulu. Semua berjalan dengan sangat baik, aku menyelesaikan sekolah dan juga
melanjutkan kuliah disini. Mengejar gelar dokter seperti impianku sejak dulu, aku
sudah membayangkan setiap hari memakai jas putih kebanggan itu hhaha. Sebentar lagi,
ya karena kini aku sudah di semester akhir tinggal menyusun skripsi dan voila aku adalah dr.Handy Wijaya. Aku
masih berhubungan dengan Rama, Arta dan juga Renata tapi dengan Reina aku masih
belum bisa entah sampai kapan. Ruang hatikupun masih saja penuh bayangannya tak
bisa di usik dengan lainnya, terlalu pengecut mungkin. Sudahlah lupakan saja
semua itu sudah berlalu.
Duduk
di café menikmati hujan disore hari lewat jendela berteman secangkir kopi adalah
yang biasa ku lakukan untuk membunuh rasa sepiku. Kurasa ada yang menepuk
pundakku menepis segala imajinasi yang kurangkai dengan sangat nyamannya. “Permisi, boleh duduk disini? Semua kursi
penuh.” Sepertinya aku mengenal suara ini, ya sangat mengenal tapi apakah
aku masih terjebak dalam imajinasiku? Mungkin iya. Kutengok kesamping asal
suara, membuatku membeku sesaat. “Reina
Sandy?!” ucapku pelan. Gadis disampingku pun tak kalah terkejutnya namun tak
lama seulas senyum manis menghiasai wajahnya, tak banyak berubah semakin
terlalu indah. “Bang Han-han?” dia
masih saja memakai panggilan itu, hancur sudah pertahanan yang ku buat aku
benar-benar merindukannya. Reina menghambur ke pelukanku, dapat kudengar dia
terisak, dia menangis. Tapi kenapa? Apakah dia juga merindukanku? “Jangan tinggalin Reina bang, Reina sayang
sama bang Han-han. Maafin Reina..” ku usap punggungnya pelan memberikan
kenyamanan agar dia tak lagi menangis. “Iya,
maafin abang ya princess.” Ucapku pelan, dia semakin mengeratkan
pelukannya. “Reina sayang sama abang,
Rei..Reina cinta sama bang Han-han.” Aku kaget mendengar penuturannya, jadi
cintaku gak bertepuk sebelah tangan? Kuurai pelukan kami, kupandang wajahnya
tatapannya teduh namun penuh kerinduan, ke berikan senyuman manisku padanya ku
kecup keningnya pelan membuatnya tersipu malu. “Bang han-han juga sayang sama, princess..” ku atur nafasku yang
terasa berat “juga ci..cinta sama kamu. Tapi..”
berat sekali mengucapnya mengingat perjanjianku dengan Rama. “Tapi kenapa?” itu suara Rama, tapi
bagaimana bisa? Aku dan Reina mendongak ke asal suara, itu beneran Rama, Tuhan.
Tangannya menyilang di dada dan melotot seram. “Udah lupain aja perjanjian itu, kan tujuannya aku mau lindungin adek
aku. Tapi kalau ternyata itu malah bikin princess aku sakit ya udah batalin
aja, gampang kan?” aku melongo mendengarnya, enak banget ngomongnya. Kujitak
kepalanya cukup keras. “Bego..kenapa baru
ngomong sekarang? Gak dari dulu aja sih, oon?!” Rama mendengus kesal,
sedang Reina tertawa melihat kelakuan kami. “Ish
situ yang bencong, belum apa-apa udah nyerah gitu aja padahal juga mau ngomong
ini udah lama. Kamu tuh yang oon! Pake kabur jauh kesini masih aja jomblo.”
aku gantian mendengus kesal. “Hore
traktiran nih ada yang baru jadian.” Itu teriakan couple kepo. “Traktiran aja heboh mas mbak. Eh bentar deh
kok kalian ada disini sih?” tanyaku penuh keheranan. Arta menjitak kepalaku
dengan amat tenang tanpa dosa di wajahnya. “Calon
dokter masih aja oon, gak up to date. Kan Reina kuliah disini, dan kita lagi
jengukin dia sekalian nganter kak Rama prewed.” Aku melongo makin lebar,
mereka semua tertawa melihat kelakuanku, namun tak lama Reina memelukku erat
membuatku harus kembali sadar dari kebodohanku. Thanks God, it’s so beautiful.teriakku
dalam hati.
Akhirnya
cintaku tak bertepuk sebelah tangan, indahnya dunia ini. Arta dan Renata juga
masih langgeng sampai sekarang, sebentar lagi mereka berencana melangsungkan
pesta pertunangan. Dan yang mengejutkan adalah Rama, bentar lagi dia nikah. Tentu
saja dengan nenek lampir, sebenarnya namanya Karmila Anatasya bukan nenek
lampir, baguskan? Tapi karena dia cerewet banget apalagi sama Rama ya udah aku
sama Reina manggil dia nenek lampir tapi dia baik kok gak nyeremin. Reina juga
kuliah di Jogja ternyata jurusan kedokteran tapi beda universitas denganku.
Couple dokter? Bisalah unik juga daripada couple kepo yang ku nobatkan untuk
Arta dan Renata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar