Rabu, 29 Oktober 2014

IF YOU KNOW



          Melihatnya tersenyum seperti itu, apalagi yang bisa kurasakan selain turut bahagia. Meski senyuman itu bukanlah untukku, tapi setidaknya aku bisa memastikan dia akan bahagia selamanya. Raina Sandy, satu nama terindah yang akan selalu menghiasi setiap hariku, tak peduli badai apapun yang kurasakan asal dia akan selalu menjadi princess dalam kehidupan ini. Aku tak bisa lama-lama memandang pemandangan indah namun kalau boleh jujur akan membunuhku secara perlahan, karena disaat ini aku melihat Raina Sandy tersenyum bahagia dihadapan pria yang di anggapnya sebagai pangeran Satrio Mahardika. Aku menghela nafas panjang, membayangkan andai saja pangeran itu aku, ah membayangkannya saja membuatku merasa tak pantas. Dia akan selamanya menganggapku seorang kakak yang menyayangi adiknya, tak akan bisa lebih daripada ini. Andai saja aku bisa meminta pada Tuhan, menepiskan rasa cintaku pada adik sahabatku sendiri yang kusayangi lebih dari apapun setelah kedua orangtuaku. Andai saja perjanjianku dan Rama tak pernah ada, ya perjanjian konyol mengatasnamakan persahabatan. 

Tiba-tiba ada tangan kecil yang mengagetkanku keluar dari lamunan, aku hampir menjitak orangnya kalau tak menyadari ternyata dia adalah Renata sahabat terdekat dari Reina. Mereka bersahabat sejak masih di bangku SMP, selalu ditempatkan dikelas yang sama dan juga hobi yang tak berbeda jauh menjadikan mereka sangat dekat seperti saudara. “Nah loh ngelamunin nih ceritanya?” tebaknya padaku. “Kepo banget jadi bocah.” Balasku mendorong tubuhnya menjauh dari taman sekolah dimana sejak tadi aku berdiri. “Bang Handy kebiasaan deh, dorong-dorong anak orang seenak jidat. Jangan mentang-mentang senior dong!” gerutu Renata membuatku tertawa, dia hampir mirip dengan Reina sikap manjanya tapi Renata lebih bersikap dewasa dibanding Reina yang polosnya minta di cubit. “Jangan marah terus, ntar di putusin Arta loh.” Kata-kataku membuatnya menatapku tajam, dengan tangan yang berkacak pinggang. Sebisa mungkin ku tahan tawaku yang akan meledak. “Kok gitu sih, sepupu ipar. Aku bilangin Reina loh kalo Bang Handy diam-diam suka padanya.” Kini gentian Renata yang tertawa keras meninggalkanku yang masih melongo tak percaya.

Malam minggu ini kuhabiskan bermain Playstation dengan Rama, kalau kebanyakan remaja menghabiskan waktu dengan hang out bareng teman atau pacar maka disinilah kami berdua sebagai jomblo terhormat yang malas dengan keramaian tak jelas di luar sana, tapi bukan berarti kami anti social ya. Kulihat Reina tengah duduk di sofa satu ruang dengan aku dan Rama sedang sibuk dengan smartphonenya, pakaiannya rapi sepertinya dia mau pergi, kencan mungkin? entahlah apa urusannya denganku. “Dy, kalah traktir di café Red seminggu ya.” Tantang Rama padaku. “OK, siapa takut palingan juga situ yang kalah.” Jawabku ringan. “PD amat jadi orang, jomblo abadi mana mungkin ngalahin cowok setia kayak Rama.” Ucapnya bangga. “Situ kan cuman gak bisa lepas dari nenek lampir sekolah bukannya setia itu namanya.” Jawabku usil membuatnya menyikut lenganku keras. “Bener tu kata Bang Hanhan, mau aja di siksa sama si lampir. Nyari lain gitu katanya Kakak ganteng rebutan banyak orang.” Reina ikut mengusili Rama, yang membuatku tertawa keras merasa menang. “Shut up, dek. Bocah pemula pacaran mana ngerti sih?” Rama sewot, tawaku kini menghilang berganti senyuman kecut mengingat Reina sudah memiliki kekasih, ya Tuhan apa yang kufikirkan. “Yang penting kan Satrio itu baik, setia, sayang sama aku. Baiklah pokoknya.” Terang Reina yang membuatku dan Rama mendengus kesal namun berbeda sebab. “Baikan juga si Hanhan mu ini, tingkat kegantengannya juga masih lumayan meski masih di bawah kakak lah.” Ujar Rama dengan sangat PDnya dan mengedipkan sebelah matanya padaku. “Aduh plastik mana plastik? Ember juga boleh deh.” Jawabku tak terima selolah ingin muntah. Aku dan Rama pun tertawa bersamaan. “Udah ah terserah, mau ke kamar aja reseh nih kak Ramram sama bang Hanhan.” Reina beranjak dari sofa menuju kamarnya. “Gak jadi kencannya?” tanyaku padanya. “Gak jadi. Tau ah bête nih.” Ucapnya malas. “Idih labih sih dek.” Tawa Rama menggema, yang di hadiahi plototan tajam dari Reina yang membuatku ikut tertawa.

Senin siang sepulang sekolah, aku dan Rama mampir ke café Red. Seperti perjanjian kemarin yang kalah wajib traktir selama seminggu, dan lihatlah muka Rama yang penuh kemalasan karena seminggu ini dia harus traktir aku. Rasakan penderitaanmu Rama, lumayan juga kebetulan Papa dan Mama lagi ke luar kota jenguk kerabat selama seminggu. Jadi uang saku dari Papa bisa kumanfaatkan untuk yang lain, thanks before Rama. “Gak usah lesu kayak orang susah deh, Ram.” Rama mendelik tajam padaku dari balik buku menu yang di bacanya. “Salah tempat deh kita, ini bukan café Red pindah yuk.” Jawabnya ngasal membuatku tertawa dan pelayan disamping meja kami melongo gak jelas. “Eh Romo, café Red daerah sini ya cuman satu ya ini nih. Gak usah halusinasi, buruan pesen aku laper.” Pelayanpun segera mencatat dan 10 menit kemudian pesanan kami datang. Ditengah asyik makan, tiba-tiba Rama memukul kepalaku dengan sendok, emang kurang ajar ni orang. “Apaan sih?” tanyaku kesal, dia hanya menunjuk seseorang di meja tak jauh dari tempat kami. “Satrio? Sama siapa tuh? Bukan Reina kan?” aku memberondong banyak pertanyaan pada Rama yang di jawab dengan putaran bola mata malas. Seolah berkata –Kalo tahu, gak bakal nanya situ. Akupun nyengir gak jelas, dalam hati aku ingin marah melihat pacar princess hatiku selingkuh. “Jangan kasih tahu Reina, Ram.” Rama yang sibuk mengetik sebuah pesan menatapku penuh tanya. “Baru aja mau aku sms, napa sih?” jawabnya. Aku merebut smartphone miliknya. “Eh balikin, aku sayang sama Reina. Dan gak ada yang boleh nyakitin dia, inget kan Dy?” Rama seolah menahan emosi. “Aku juga sayang sama dia, kita cari bukti dulu. Jangan gegabah malah bikin Reina sedih.” Jawabku mengembalikan smartphone miliknya.

Seminggu setelah kejadian itu, aku dan Rama beberapa kali masih sering melihat Satrio dengan cewek yang sama seperti sebelumnya. Aku semakin emosi melihatnya apalagi Rama, bagaimana mungkin hubungan mereka yang baru satu bulan beberapa hari lagi sudah di bumbui dengan perselingkuhan? Tapi itulah nyatanya, setelah melakukan penyelidikan tanpa sepengetahuan siapapun ternyata ada yang tidak beres dengan sikap Satrio yang mendadak menyatakan cinta pada Reina dahal dulu dia cuek pada gadis itu mengingat mereka juga selalu satu kelas sejak SMP. “Bang Dy, ngapain sih ngajak Rena kesini kan aku mau kencan sama Arta. Jadinya malah triple sama bang Dy kan gak lucu jadiin abang ganteng obat nyamuk.” Renata mulai neyrocos gak jelas, dan berhenti ketika mendapat cubitan di hidungnya dari Arta. Good job Arta sangat membantu. “Diem dulu sayang, ini penting kayaknya jadi kita dengerin bang Dy dulu ya.” Arta emang pengertian, Rena kini memasang wajah bête absurd. “Kenal Satrio kan?” tanganku membekap mulut Rena, tahu kalau dia akan memotong kalimatku dan mencemoohku karena dia tahu aku suka dengan Reina. “Dia selingkuh, udah beberapa kali ini aku sama Rama mergokin. Menurut kalian ada yang aneh dengan sikap Satio selama ini?” tanyaku sembari melepas tangan dari mulut Rena yang kehabisan nafas. “Gila, gak lucu kalau ada berita gadis SMA cantik mati di bekap abang ganteng.” Celoteh Rena membuatku dan Arta mendengus kesal. “Bisa tau cewek yang sama Satrio, bang?” tanya Arta. “Gak tau itu siapa, mungkin kalian kenal.” Aku meunjukkan beberapa foto yang kuambil kemarin. Rena dan Arta yang melihat foto itu berubah mimik wajahnya. “Itu kan Marsya, yang dulu hobi banget nge bully anak SMP termasuk Reina.” Pernyataan Renata membuatku menyerngit meminta penjelasan lebih. “Dia adiknya Daren, teman seangkatanku yang pernah naksir sama Reina tapi di tolak mentah-mentah. Inget?” Arta menambahi. “Jangan bilang kalau Daren mau balas dendam sama Reina?” tanyaku penuh selidik. “Bisa saja, tapi ada kemungkinan lain Marsya juga ingin balas dendam karena dulu gebetannya malah suka sama Reina.” Aku menutup mata frustasi. Renata melanjutkan kalimatnya, “Ada yang aneh, dulu Satrio cuek banget sama Reina tapi..” kalimat Renata menggantung membuatku membuka mata menatapnya begitu juga Arta yang memandangi wajah kekasihnya penuh tanya. “Ya ampun aku baru inget kalau dulu pernah ada kabar Satrio naksir sama Marsya.” Renata mengusap wajahnya tak mampu berkata-kata. “Jadi dia manfaatin Satrio yang di cintai mati sama Reina?” Arta menggenggam tangan Renata member ketenangan.

Kulihat Reina berdiri di depan gerbang sekolah, sepertinya menunggu Satrio dari parkiran. Aku kini pulang cepat karena guru les tambahan di kelasku sedang berhalangan hadir dan tak ada guru ganti. Kutarik Reina menuju motorku. “Bang hanhan, ngapain sih nyeret Reina kayak gini sakit tau.” Reina mendumel padaku, aku hanya tersenyum manis melepas tarikan pada tangannya. “Maaf, yuk pulang bareng abang. Kak Rama masih ada les tambahan.” Ucapku santai padahal aku tahu kalau dia menunggu Satrio bukan Rama. “Sekarang kan aku pulangnya emang gak pernah barengan kak Rama tapi sama Satrio, bang.” Aku menghela nafas panjang menahan emosi. “Udah sama bang Handy aja, mulai sekarang jauhin Satrio.” Kini Rama berada tepat di depan Reina, mendengar kalimat kakaknya membuat Reina melotot. “Maksud kakak apaan sih? Gak usah ngelarang deh, emang kalau aku nyuruh kak Rama jauhin si lampir itu mau?” Rama geram dengan sikap adiknya satu ini. Akupun juga merasakan hal yang sama. “Dia gak pantes buat kamu, dia itu busuk. Ngerti gak?” bisik Rama pada Reina tak ingin semua orang mendengar pertengkaran mereka apalagi masih dilingkungan sekolah. Reina meneteskan air mata dan bergumam pelan namun bisa aku dan Rama dengar kan “ Kakak sama abang jahat, kalian gak sayang sama aku.” Tangisnya pecah begitu saja. Dari kejauhan kulihat Satrio mendekati gerbang, Rama melirikku untuk cepat membawa Reina pulang. “Tuh bocah biar aku yang urus, aku percaya kamu bisa nenangin dia.” Aku mengangguk mengerti dan memaksa Reina menaiki motorku.

Selama perjalanan pulang, Reina masih saja terus menangis. Aku udah berusaha ngehibur tapi tetap saja princess kepala batu ini tak menggubrisnya dengan baik. Ayo berfikir Handy, cari solusi tanpa masalah ayo lah. Gerutuku dalam hati, akhirnya aku mendapat ide. Puter balik menuju café Red, kebetulan Renata dan Arta sedang kencan disana, bagaimana bisa tahu ya karena miss update yang disandang Renata, mungkin Renata bisa bantu ngehibur bocah yang kusayangi secara diam ini. “Ngapain puter balik? Bentar lagi kan nyampe rumah?” protes Reina, aku hanya diam tak menjawab. “Bang Handy ngapain sih kayak gini, bisa gak kasih Reina kebebasan. Aku bukan ank kecil lagi, kemarin aku nurut untuk jauhin kak Daren. Tapi aku cinta mati sama Satrio bang.” Aku menggeram melajukan motor dengan gilanya, Reina ketakutan mendekapku erat seolah akan mati saat ini juga. Aku yang paling sakit Rei, andai aja kamu ngerti gimana sakitnya ngelihat kamu sama orang lain. Dan saat aku udah mau belajar melepasmu orang itu malah nyakitin kamu, kamu masih ngebela dia? Segitu cintanya kah kamu sama dia sampai aku gak pernah dapet kesempatan itu, atau mungkin emang gak akan pernah. Aku menggumam dan marah dalam hatiku sendiri berteriak dengan suara jiwaku. Semua harusnya menyadarkanku kalau Reina selamanya hanya seorang adik gak akan lebih.

Sampai di café Red, aku menyusul Renata dan Arta yang sebelumnya tadi di depan ku telfon terlebih dahulu. Kutarik tangan Reina menyusul Renata dan Arta, melihat kondisi Reina yang sembab membuat Renata langsung mendekap erat sahabatnya itu. “Kak Rama mana?” tanya Arta menghilangkan suasana tegang dan hening. “Masih ngurusin bocah, gimana Daren sama Marsya? Beres?” aku menghela nafas lelah, kulihat dari ekor mataku Reina menatapku ketika menanyakan tentang Daren dan Marsya. “Bereslah, makanya kita bisa cepet dateng kesininya.” Cengir Arta enteng tanpa beban. “Baguslah, untung gak Rama sendiri yang ngambil.” Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa yang empuk, nyaman. “Kata siapa gak ikut? Heboh banget tuh tua gak mau kalah sama yang muda.” Jawab Renata ditambahi tawa renyah dari Arta. “Maksudnya apaan sih?” Reina mulai angkat bicara. “Udah nangis aja dulu selesein, kita dah gak mau nampung air mata penuh luka.” Cibir Renata. “Kenapa sih Ta, kok kamu jadi sewot sama aku?” Reina melepas pelukannya pada Renata, menatap kami penuh kebingungan dan juga emosi. “Habis kamu dibantuin malah gitu, kamu marah kan sama bang Handy sampe dia jadi diem kayak gitu? Kamu tuh udah dibohongin sama Marsya dan Daren lewat Satrio.” Reina menatap tak percaya membuatku menghela nafas, sia-sia sudah segala perjuanganku sepertinya tak akan pernah ada aku dihatinya. “Aku balik duluan ya, bentar lagi Rama kesini. Maaf ya Reina kalau selalu bikin kamu gak nyaman.” Reina masih terpaku pada pandangan kososng, kutepuk lembut puncak kepalanya. Arta dan Renata tersenyum tipis seolah mengerti apa yang kurasakan. Sesampainya di pintu café aku bertemu dengan Rama, mengobrol sebentar dan akupun pamit pergi dan melangkahkan kaki menjauh dari café.

                Pindah ke Jogja menjadi pilihan tepat untuk memulai semuanya dari awal, membuka hati pada kehidupan baru. Ah semoga saja ini lebih banyak menyenangkan dari sebelumnya, sekolah baru lingkungan baru teman baru. Sejak pertemuan terakhir dengan Reina di café waktu itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya, meski dia sering mengirimkan pesan atau mencoba menelfonku namun ku abaikan. Aku benar-benar butuh memulainya dari awal, hanya Rama yang tahu aku pindah ke Jogaja dan juga alasan sebenarnya. Aku melarangnya memberitahu pada adik tersayangnya itu, hingga aku benar-benar sudah tiba di Jogja. Sedang Renata dan Arta tetap saja menjadi couple kepo yang memaksaku memberitahu dimana keberadaanku sekarang, mereka benar-benar serasi membuat iri  meski terkadang aneh. Kudengan dari Arta dan Renata bahwa Reina sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya, tentu saja Rama yang memberitahu.  Kata mereka dia shock dan merasa bersalah bersikap acuh kepadaku, tapi itu tak akan merubah segala keputusanku. Rama menjelaskan dengan detial semua kejadiannya sampai aksi mengancam Daren dan Marsya yang akan di adukan kepada Kepala Sekolah untuk mencopot jabatan sebagai ketua basket dan cheerleaders, juga perlakuan Rama terhadap Satrio yang merasa bersalah dan malah benci pada Marsya karena telah di tipu. Aku memang tak akan pernah marah dan benci padanya karena dia adalah princess hatiku sampai kapanpun meski nanti hatiku terisi orang lain.

Tiga tahun sudah aku memulai semuanya dengan yang baru, tak sesulit yang kubayangkan dulu. Semua berjalan dengan sangat baik, aku menyelesaikan sekolah dan juga melanjutkan kuliah disini. Mengejar gelar dokter seperti impianku sejak dulu, aku sudah membayangkan setiap hari memakai jas putih kebanggan itu hhaha. Sebentar lagi, ya karena kini aku sudah di semester akhir tinggal menyusun skripsi dan voila aku adalah dr.Handy Wijaya. Aku masih berhubungan dengan Rama, Arta dan juga Renata tapi dengan Reina aku masih belum bisa entah sampai kapan. Ruang hatikupun masih saja penuh bayangannya tak bisa di usik dengan lainnya, terlalu pengecut mungkin. Sudahlah lupakan saja semua itu sudah berlalu.

Duduk di café menikmati hujan disore hari lewat jendela berteman secangkir kopi adalah yang biasa ku lakukan untuk membunuh rasa sepiku. Kurasa ada yang menepuk pundakku menepis segala imajinasi yang kurangkai dengan sangat nyamannya. “Permisi, boleh duduk disini? Semua kursi penuh.” Sepertinya aku mengenal suara ini, ya sangat mengenal tapi apakah aku masih terjebak dalam imajinasiku? Mungkin iya. Kutengok kesamping asal suara, membuatku membeku sesaat. “Reina Sandy?!” ucapku pelan. Gadis disampingku pun tak kalah terkejutnya namun tak lama seulas senyum manis menghiasai wajahnya, tak banyak berubah semakin terlalu indah. “Bang Han-han?” dia masih saja memakai panggilan itu, hancur sudah pertahanan yang ku buat aku benar-benar merindukannya. Reina menghambur ke pelukanku, dapat kudengar dia terisak, dia menangis. Tapi kenapa? Apakah dia juga merindukanku? “Jangan tinggalin Reina bang, Reina sayang sama bang Han-han. Maafin Reina..” ku usap punggungnya pelan memberikan kenyamanan agar dia tak lagi menangis. “Iya, maafin abang ya princess.” Ucapku pelan, dia semakin mengeratkan pelukannya. “Reina sayang sama abang, Rei..Reina cinta sama bang Han-han.” Aku kaget mendengar penuturannya, jadi cintaku gak bertepuk sebelah tangan? Kuurai pelukan kami, kupandang wajahnya tatapannya teduh namun penuh kerinduan, ke berikan senyuman manisku padanya ku kecup keningnya pelan membuatnya tersipu malu. “Bang han-han juga sayang sama, princess..” ku atur nafasku yang terasa berat “juga ci..cinta sama kamu. Tapi..” berat sekali mengucapnya mengingat perjanjianku dengan Rama. “Tapi kenapa?” itu suara Rama, tapi bagaimana bisa? Aku dan Reina mendongak ke asal suara, itu beneran Rama, Tuhan. Tangannya menyilang di dada dan melotot seram. “Udah lupain aja perjanjian itu, kan tujuannya aku mau lindungin adek aku. Tapi kalau ternyata itu malah bikin princess aku sakit ya udah batalin aja, gampang kan?” aku melongo mendengarnya, enak banget ngomongnya. Kujitak kepalanya cukup keras. “Bego..kenapa baru ngomong sekarang? Gak dari dulu aja sih, oon?!” Rama mendengus kesal, sedang Reina tertawa melihat kelakuan kami. “Ish situ yang bencong, belum apa-apa udah nyerah gitu aja padahal juga mau ngomong ini udah lama. Kamu tuh yang oon! Pake kabur jauh kesini masih aja jomblo.” aku gantian mendengus kesal. “Hore traktiran nih ada yang baru jadian.” Itu teriakan couple kepo. “Traktiran aja heboh mas mbak. Eh bentar deh kok kalian ada disini sih?” tanyaku penuh keheranan. Arta menjitak kepalaku dengan amat tenang tanpa dosa di wajahnya. “Calon dokter masih aja oon, gak up to date. Kan Reina kuliah disini, dan kita lagi jengukin dia sekalian nganter kak Rama prewed.” Aku melongo makin lebar, mereka semua tertawa melihat kelakuanku, namun tak lama Reina memelukku erat membuatku harus kembali sadar dari kebodohanku. Thanks God, it’s so beautiful.teriakku dalam hati.

Akhirnya cintaku tak bertepuk sebelah tangan, indahnya dunia ini. Arta dan Renata juga masih langgeng sampai sekarang, sebentar lagi mereka berencana melangsungkan pesta pertunangan. Dan yang mengejutkan adalah Rama, bentar lagi dia nikah. Tentu saja dengan nenek lampir, sebenarnya namanya Karmila Anatasya bukan nenek lampir, baguskan? Tapi karena dia cerewet banget apalagi sama Rama ya udah aku sama Reina manggil dia nenek lampir tapi dia baik kok gak nyeremin. Reina juga kuliah di Jogja ternyata jurusan kedokteran tapi beda universitas denganku. Couple dokter? Bisalah unik juga daripada couple kepo yang ku nobatkan untuk Arta dan Renata.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar