Senyumnya kembali indah bahkan
tawanya begitu renyah ku dengar setelah beberapa bulan ini semua itu hilang
karena ke pergian Jack sang pujaan hati yang meninggalkannya begitu saja tanpa
kata perpisahan, bagaimana mungkin aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku
memiliki alasan yang sama dengannya untuk selalu bisa se bahagia saat ini. Aku
mencinta Sam jauh sebelum aku tahu bahwa Grace juga dekat dengan Sam tak lama
ini, karena pertemuan pertama mereka di sebuah pesta teman kerjanya. Entahlah,
mungkin terdengar aneh bagaimana aku bisa jatuh cinta pada Sam bertahun-tahun
sampai akhirnya aku harus melepaskannya jauh sebelum aku memulai bahkan belum
sempat memberikan aba-aba. Andai saja aku bisa egois dengan jujur kepada Grace
bahwa aku mencintai pria itu, dan pria itulah yang selama ini terukir sangat
indah dalam setiap curhat ku pada Grace yang merupakan sahabat kecilku yang tak
bisa ku lukai begitu saja dan tak akan pernah ku biarkan terluka.
“Hai, kau melamun Ra.” Suara lembutnya menghentikan lamunanku, namun
aku hanya bisa diam tergugup.
“Hello? Are you okey my sweety girl?” tangannya dilambaikan tepat
di depan mataku, mengajakku untuk kembali pada dunia nyata.
“Ya tentu saja my lovely girl.
Ayo kita pulang, sudah mulai malam aku banyak tugas deadline besok dikantor.”
Aku membereskan handphone juga ipad kedalam tas milikku. Grace memutar bola
matanya kesal, dan mengikuti apa yang aku lakukan tanpa banyak protes.
Berkutat
dengan pekerjaan mungkin akan lebih baik daripada aku harus terus-terusan
terfikir oleh Grace dan Sam. Hari ini aku begitu menyibukkan diri sampai tak
sempat untuk sekedar membalas pesan dari Grace yang meminta pendapatnya tentang
sosok Sam, bukannya aku tak mau tapi aku sungguh sibuk menyiapkan semua file
data untuk sebuah proyek novel tulisanku yang akan ku presentasikan sore ini di
sebuah kantor penerbit terkenal di kota ini. Selesai menyiapkan semua file dan
dokumen aku langsung bergegas menuju kantor penerbit yang tak jauh dari tempat
kos ku saat ini untuk memulai meeting dengan tim mereka karena jam sudah
menunjukkan pukul 3 sore, itu artinya tiga puluh menit lagi meeting dimulai.
Lima belas menit aku sudah sampai dengan menggunakan sepeda motor matic milikku
yang sudah menemaniku sejak SMA.
“Sore pak Dion.” Sapaku ramah pada lelaki paruh baya yang duduk di
lobby kantor.
“Sore mbak Rara, cepat sekali datangnya. Bukankah meeting baru dimulai
10 menit lagi?” tanyanya tersenyum ramah.
“Iya pak. Lebih baik datang awal dari pada terlambat, tak enak sama
yang senior.” Candaku namun tetap sopan. Yang disambut tawa kecil dari pak
Dion
“Ya sudah. Mbak Rara tunggu saja di ruangan meeting sudah ada beberapa
tim disana, nanti saya nyusul.”
“Baik pak, saya permisi.” Tanggapku, dan di hadiahi anggukan tanda
setuju.
Sudah cukup lama aku mengenal pak
Dion, beliaulah yang mendorongku untuk terjun ke dunia menulis yang memang
sudah ku geluti sejak masih SMP meski hanya sebatas tulisan pribadi. Tapi
berkat bantuan pak Dion dan juga bu May isterinya yang merupakan guru Sastra ku
di SMA jadilah aku seorang penulis, dan ini adalah proyek kedua ku bersama pak
Dion dan timnya.
Rapat
telah selesai aku menghela nafas lega, ada rasa senang juga sedih ketika tahu
bahwa Sam ikut juga dalam tim ku kali ini. Memang bukan kali pertama aku
bekerja sama dengannya, namun kini dia memegang sebagai editor menggantikan mas
Erik yang ditugaskan di proyek penulis lain yang artinya mau tak mau aku akan
banyak bertemu dengannya untuk berdiskusi dan mengamati perkembangan persiapan
buku novelku sampai waktu penerbitan. Semoga saja ini bukan pertanda buruk
untuk hati ku sendiri dan semoga Grace gak cemburu kalau tahu siapa editor yang
akan mendampingiku. Tak mau berlama-lama melamun, aku membereskan file dokumen
milikku dan bergegas keluar ruang rapat setelah berpamitan dengan yang lain.
Ketika hendak berdiri tiba-tiba ada yang menarik tanganku, kutoleh dan ternyata
dia adalah Sam.
“Hey mau kemana, my paris?” tanyanya padaku. Semua orang di
kantor ini tak heran jika Sam memanggilku dengan sebutan itu, karena mereka
tahu aku dan Sam cukup dekat sejak penerbitan buku pertama ku bahkan banyak
yang mengira aku dan Sam adalah sepasang kekasih.
“Aku mau pulang, ada yang mesti…”
kalimatku terpotong begitu saja olehnya.
“Buru-buru sekali kamu ini, gak
mau jalan dulu? Ngopi atau ngeteh gitu?”
“Tapi Mas.”
“Proyekmu baru saja diterima
dengan baik Ra dan mendapatkan editor ganteng sepertiku. Rayakanlah
kebahagiaanmu itu.” Tingkat PDnya mulai kambuh, tapi itulah yang membuatku
semakin tak bisa melupakannya begitu saja.
“Oke, tapi nggak sekarang aku
harus menyelesaikan tugas kuliahku malam ini juga.” Ucapku menyetujui dan
melepas pegangan tangannya yang sedari tadi mencengkramku.
“Sampai ketemu besok my Paris, jam 7 malam di café Nite.” Dia
bangkit dari duduknya mengacak poni depanku dengan lembut dan berjalan keluar
dari ruangan. Semua orang yang masih ada di ruang rapat hanya tertawa melihat
tingkah kami, Sam yang slalu tak bisa ditolak dan aku yang harus slalu saja
setuju dengan pendapatnya.
Tugas
kampus mungkin tak akan terasa berat kalau saja tak dibarengi oleh deadline
pengumpulan, dan itulah yang selalu di lakukan oleh para dosen seenaknya memberi
tugas dan menentukan waktu pengumpulan. Untung saja semalaman ngebut tugas
resensi ku sudah selesai. Ku edarkan pandangan di sekitar kampus mencari sosok
Grace yang nampaknya akan kesal hari ini karena aku cuekin seharian kemarin.
Sampai di kantin ku lihat sosok gadis cantik itu, bukan hanya cantik juga supel
dan pintar membuatnya banyak di taksir oleh teman bahkan senior kampus.
Beruntung sekali gadis ini.
“My lovely girl, jangan cemberut
dong nanti tikusnya naksir loh.” Candaku ketika melihat perubahan wajah Grace
ketika aku menghampirinya.
“Gak lucu. Kirain dah tenggelem
di dalem buku kemarin.” Dia menatapku dengan sorot mata tajam, yang malah
membuatku tertawa lepas. Aku masih saja tertawa membuat Grace semakin kesal dan
menghabiskan minuman yang dia pesan tadi seolah menghiraukanku.
“Ya Tuhan, gitu aja ngambek. Maaf
deh kan aku lagi sibuk buat persiapan novel ke dua ku Grace.” Tawa ku hentikan
begitu saja, dan memeluknya erat.
“Really sweety? Novel kedua?
Kapan?” Matanya berbinar dan dia telah kembali menjadi Grace yang keponya
maksimal.
“Baru persiapan, kemarin selesai
meeting sama penerbit jadi gak bisa ngurusin pesan dari kamu.”
“Ah lupain aja. Terus gimana
hasilnya?” tuhkan keponya kambuh, tadi aja marah ngambek gitu emang labil.
“Ya gitu deh.” Aku tersenyum
semangat melepas pelukanku padanya.
“Di setujui?” dia memastikan dan
kujawab dengan anggukan.
“Asyik.” Dia gantian memelukku
sebentar “Traktir ya, ntar malem di café Nite jam 7 aku tungguin.” Ucapnya
sambil berlari karena terburu-buru ada kelas. Aku yang mendengar hanya bisa
melongo dan ingetkan ntar malem dia juga punya janji dengan Sam. Ya Tuhan,
semoga baik-baik aja ya. Gumamku dalam hati.
Wajah
familiar itu sudah duduk manis di sebuah meja dekat jendela memandangi
rintikan hujan yang begitu menyejukkan
sambil sesekali menatap layar handphone, aku mendekatinya yang sedari tadi
menungguku bahkan ada belasan pesan sejak tadi sore untuk mengingatkan aku
dengan acara traktiran malam ini.
“Ngelamun aja mas, galau ya jadi
jones?” sapaku sekaligus memberikan candaan padanya.
“Sial, mana mungkin aku jadi
jones. Emang kamu yang galau karena jomblo abadi?” balasnya sembari mencubit
lenganku, menyuruhku duduk disampingnya.
“Idih, aku gak jomblo abadi kali.
Cuman LDR aja.” Ucapku santai sambil memanggil waiters untuk memesan makanan.
“LDR ama siapa Ra, kok gak pernah
cerita sih?” ambeknya padaku yang ku hadiahi tawa.
“Sama jodoh aku, aku disini jodoh
aku di tangan Tuhan.” Jawabku sambil menjulurkan lidah mengejeknya.
“Lucu ya. Dasar jomblo abadi.”
Sam menjitak kepalaku pelan.
“Udah ah, pesen dulu gih.” Ucapku
menunjuk waitres yang ku panggil tadi.
“Kayak biasanya aja deh.”
“Kopi hitam tanpa gula satu,
coklat panas tanpa cream satu, honey pancake nya dua.” Aku menyebutkan
pesananku. Dan tak lama makanan kami datang, aku dan Sam asyik mengobrol seperti
orang yang lama tak pernah ketemu, padahal hampir setiap hari aku bertemu dengannya
di kantor pak Dion. Banyak yang kami obrolkan, mulai dari kerjaan sampai
membahas lelucon absurd yang gak pernah penting. Kulihat handphoneku yang
berbunyi ada panggilan masuk, ternyata Grace yang sudah sampai di depan café
dan kusuruh saja masuk bergabung di meja kami. Awalnya di kaget melihat siapa
yang duduk di samping kananku, dia berbisik padaku dia adalah Sam yang tempo
hari dia ceritakan dan aku tahu karena aku pernah ditunjukkan foto Sam sehari
setelah mereka bertemu. Hebatnya Sam masih mengingat Grace yang bertemu
dengannya di pesta itu, Grace tentu bahagia namun aku ada rasa sedih yang
kututupi tak ingin mengacaukan suasana akrab seperti ini.
Seminggu
ini Grace selalu saja mengejarku kemana aku pergi, di kampus di tempat kos
bahkan di kantor aku diteror oleh pesan dari nya. Dia memintaku untuk
mendekatkannya dengan Sam, seperti saat
ini dia tengah membujukku dengan segenap tenaga namun ku biarkan santai karena
aku juga sedang sibuk meneliti naskah novelku.
“Ayolah sweety, tolong peri cantikmu
ini biar gak galau dan berubah jadi nenek sihir yang siap menyihirmu jadi
kodok.” Bujuknya penuh canda.
“Idih gak mau bantu ah, bukannya
di baikin malah mau di sihir jadi kodok. Jadi Rapunzel atau Dian Sastro gitu
kek.” Gerutuku padanya tanpa melepas pandangan pada laptop dihadapanku.
“Gak maksud gitu, ya udah ntar
aku gratisin gaun di butik mama deh terus aku doain biar cepet move on dari Muf.”
Matanya memohon bagai anak kecil yang minta di beliin permen. Akupun langsung
melepas pandangan pada laptop dan menatapnya penuh tanya, bukan karena terlalu
berbinar karena gaun gratis di butik mama Grace yang menjadi langganan para
kaum high class tapi karena nama Muf yang dilontarkannya.
“Muf?” aku menghela nafas sesak,
Grace menyebut nama itu lagi. Menyadari raut muka ku, Grace langsung memelukku
posesif.
“Aduh mulut aku ini emang gak
bisa di rem deh, maaf Rara aku gak maksud ngingetin kamu sama hal itu.” Grace
benar-benar menyesal menyebut nama terlarang itu di hadapanu , tentu saja
sekuat apapun di tahan air mataku akan dengan indahnya meluncur dari kelopak
mataku. Grace menenangkanku agar tak histeris, dia tak mau melihatku kembali
histeris seperti dua tahun yang lalu dan sejak saat itu Grace tak pernah
sedikitpun menyebut nama itu. Setelah cukup tenang Grace pamit pulang karena
hari mulai malam, aku juga memberikan pin BBM milik Sam untuk dia bisa dekat
sendiri dengan Sam.
Aku
dan Sam masih sibuk di depan laptop kami masing-masing, sesekali berdiskusi dan
memberikan arahan kepadaku. Sudah hampir lima jam aku di ruangannya, membahas
naskah novelku. Suasana begitu serius meski banyak perdebatan yang terdengar
dari aku maupun Sam, pandangan kami juga tak pernah lepas dari laptop dan buku
sesekali saling pandang memberi argument tanpa candaan, karena Sam begitu
disiplin disaat seperti ini. Ya aku tahu itu, dengan sangat pasti. Tapi jangan
harap ini berlangsung lama karena nanti jika pekerjaan sudah selesai atau masuk
jam istirahat pasti sifat usilnya akan kambuh dan merajalela.
“Selesai.” Ucapku penuh
kegembiraan. Sam manggut-manggut terlihat lelah namun semangat, kemudian
menunjuk kearah jam dinding dengan dagunya.
“Aku lapar.” Suaranya begitu
lemah seperti habis mencangkul sawah lima hektar, dan itu membuatku tertawa
geli.
“Ayo ikut aku makan siang, eh
sore lebih tepatnya.” Dia menyeretku bangkit dari kursi.
“Tapi ini sudah lewat jam
istirahat mas. Nanti kalau ketahuan sama mbak Irma seperti waktu itu gimana?”
ucapku, mengingat dulu dia di marahin habis-habisan sama mbak Irma yang
merupakan asisten pak Dion yang cukup galak karena pergi keluar kantor tanpa
alasan tugas disaat jam kerja.
“Inget aja, padahal kan udah lama
itu. Tenang aja mbak Irma tugas luar kota sama pak Dion. Lagian aku belum
istirahat kan dari tadi terus laper, kamu juga nanti kalau sakit aku yang repot
kena marah banyak orang.”
“Oke deh, yuk berangkat.” Meraih
tas yang ku selempangkan di bahu kiri.
“Semangat banget dah.” Ejeknya
sambil mengikutiku berjalan keluar ruangannya.
Restoran
makanan sunda dekat kantor Sam menjadi pilihan kami, kami berdua duduk di meja
deket jendela. Tempat favorit kami memang disamping jendela apalagi kalau lagi
musim hujan, suasana itu yang slalu kami sukai. Sepanjang acara makan kami tak
banyak bicara, aku sibuk dengan makananku karena lapar dan Sam sibuk dengan
handphonenya sambil senyum-senyum sendiri, meski kadang memperhatikanku yang
makan dengan lahap seperti orang nggak makan selama satu minggu.
“Mas..” panggilku pada Sam.
“Hm..” jawabnya tanpa menatapku.
“Mas Sam, kesambet apa?”
mendengar pertanyaanku dia menoleh dan menatapku bingung.
“Maksudnya?”
“Dari tadi senyum-senyum gak
jelas, nasi mu aku habisin baru tau rasa.” Gerutuku padanya
“Idih siapa yang gak jelas, orang
lagi seneng BBM an sama cewek cantik kok.” Jawabnya enteng yang membuatku
sedikit merasa sesak nafas.
“Cewek? Siapa mas? Sejak kapan
deket sama cewek?” pertanyaan ku yang panjang membuatnya tertawa geli.
“Itu kepo apa cemburu sih? Nanya
panjang banget gitu.” Tatapan matanya tepat di manik mataku, Ya Tuhan dia
ganteng banget.
“Apaan juga cemburu, bukannya mas
Sam biasanya paling anti kalau di BBM cewek gitu, kok sekarang malah genit
sih.” Aku mencoba balik menatapnya tanpa terlihat gugup sekalipun.
“Aduh perhatian juga ternyata,
kan biasanya juga BBM sama kamu biasa aja kan. Apa jangan-jangan kamu bukan
cewek Ra?” godanya kepadaku.
“Reseh deh.” Aku pura-pura
ngambek. “Palingan juga Grace yang BBM.” Lanjutku menjulurkan lidahku di
hadapannya.
“Kok kamu tahu? Jangan bilang
kamu yang ngasih pin BBM aku.” Aku yang mendengar ocehan Sam hanya bisa senyum
gak jelas.
“Abis, maksa banget sih. Ya udah
kasih aja siapa tahu jodoh sama Mas.” Jawabku menggoda, tapi jelas hatiku
berkata sebaliknya. Akupun melanjutkan makan, dan membiarkan Sam sibuk dengan
dunianya sendiri.
Kedekatan
Grace dan Sam semakin intens, entah harus turut bahagia atau malah sebaliknya
melihat kedua orang yang kusayangi merasa bahagia. Setidaknya itulah aku lihat
saat ini, dimana mereka sering menghabiskan waktu berdua, jalan berdua, makan
berdua sampai nonton berdua layaknya orang pacaran. Tak mau ambil pusing, aku
biarkan saja mereka semakin dekat dan bukankah itu yang aku inginkan agar
mereka bisa semakin dekat. Aku sibukkan diriku dengan persiapan launching
novelku yang kurang tiga hari ini, menyiapkan segala macam keperluan dari mulai
percetakan novel sampai dress yang akan ku pakai nantinya. Kurasakan ada yang
sedikit berubah dengan hidupku, oh iya sudah hampir seminggu ini Grace tak
menghubunginya untuk sekedar memberi semangat atau bercerita tentang
perkembangannya dengan Sam, dikampus seperti hari ini dia juga tak ada
menyapaku. Kucoba mencarinya di kantin juga setiap sudut kampus namun tak juga
ketemu, tak sengaja aku menoleh ke dalam perpus dan kulihat Grace disana.
Tunggu dulu sejak kapan Grace datang ke perpus, anak itu kan paling anti kalau
berhubungan dengan perpustakaan.
“Hai my lovely girl!” sapaku
manis kepadanya seperti biasa, tapi dia malah hanya diam seolah tak
mendengarkanku.
“My lovely girl! Grace…? Hallo??
Kenapa sih, ngambek gara-gara aku sibuk persiapan novel?” tanyaku memberondong
karena dia kunjung merespon sapaan dan pertanyaanku.
“Ok aku minta maaf kalau terlalu
sibuk sendiri..” belum selesai bicara Grace kini menatapku dengan tatpan benci
yang tak pernah dia perlihatkan padaku.
“Sibuk sendiri? Bukannya sibuk
berdua sama Sam?” aku tertegun mendengar pertanyaan Grace yang tak pernah
kubayangkan sebelumnya.
“Dia kan memang editor aku my
lovely girl. Wajar dong, kamu kenapa sih ada masalah sama dia?”
“Stop panggil aku dengan sebutan
itu. Aku gak nyangka ya Ra, aku fikir kamu emang sahabat aku yang saling
terbuka satu sama lain tapi kenyataannya kamu itu brengsek.” Bisiknya kepadaku
penuh penekanan di akhir kalimatnya, dia berbisik karena ini perpus yang anti
dengan suara riuh.
“Maksudnya apa sih? Aku gak
ngerti kalau kamu gak cerita.”
“Kamu pura-pura kan ngedeketin
aku ke Sam, padahal Sam itu sama kamu dan kamu juga sebaliknya. Kamu cuman mau
ngebuat aku malu karena jujur ngomong ke Sam tentang perasaan aku ke dia. Salah
aku apa sih Ra?” tangisnya pecah begitu saja, akupun tanpa sadar menetaskan
airmataku diam tanpa suara. Grace beranjak dari tempat duduknya namun
sebelumnya dia menoleh kembali kearah ku menyodorkan sebuah undangan.
“Undangan reuni angkatan, tepat
sehari sebelum launching novelmu.” Lalu dia meninggalkanku sendiri yang masih
penuh kebingungan.
Reuni
SMA, biasanya aku selalu bersama Grace menyapa riang teman lama bagaikan anak
kembar yang tak terpisahkan. Dengan lesu aku masuk ke dalam gedung acara menyapa
teman-teman yang sudah datang, tak kulihat sosok Grace yang biasanya slalu
datang lebih awal dari acara dimulai. Apa Grace masih marah denganku, tapi aku
sungguh gak ngerti apa hubungannya dengan Sam, apalagi beberapa hari ini aku
belum bertemu dengan Sam karena sudah pasti dia lebih sangat sibuk daripada
aku. Kupandangi pojok dinding foto yang berisi foto kami dari masih duduk
bersama di SMA sampai acara reuni yang di adakan setahun sekali. Mataku tertuju
pada satu frame foto dimana ada foto dua orang cewek dan cowok bercengkrama
asyik, kalau tak salah foto ini diambil secara candid, Air mataku menetes tak
tertahan, kalau dulu ada Grace yang slalu menenangkanku dan slalu protes pada
panitia karena foto ini selalu saja di pajang.
“Muf, bener kata kamu kalau aku
gak akan pernah bisa ngejalanin semua
tanpa kamu. Kamu kenapa sih perginya lama banget dan nggak kembali? Apa kamu
udah gak sayang sama aku?” suaraku terdengar lirih.
“Sekarang Grace juga ninggalin
aku, aku bisa digambarin kayak bungkus makanan bekas dipinggir jalan deh.
Terbang kesana kemari kebawa angin gak ada yang peduliin.” aku tersenyum sinis,
menertawakan diriku sendiri. “
Kamu inget kan pas aku ngambek
sama Grace gara-gara aku pindah ke Jogja tanpa kalian tahu, yang hasilnya
kalian nyusulin aku pindah kesini. Aku kangen banget sama kamu, pengen dipeluk
lagi sama kamu, nutupin mata aku kalau sibuk sendirian. Pokoknya aku kangen
kamu Muf!!” air mataku mengalir deras.
“Kenapa sih musti kamu yang mati
duluan, kenapa harus kamu yang sakit. Kenapa gak aku aja, atau kita sakit dan
mati bareng Muf. Kenapa??” amarahku begitu besar sampai beberapa anak yang
berada didekatku menatap bingung dan tentu prihatin, tapi aku tak peduli dengan
tatapan itu. Sekelabat kulihat Grace tak jauh dari tempatku berdiri, menatapku
penuh arti. Tanpa peduli akupun meninggalkan acara ini, bahkan acara baru saja
dimulai.
Pagi
ini harusnya menjadi hari yang membahagiakan bagiku, dimana satu mimpi kembali
bisa aku wujudkan dengan segenap perjuanganku dan juga kebaikan Tuhan
terhadapku. Namun sayang aku tak di damping lagi oleh Grace, sahabat yang
paling mengerti aku dibanding diriku sendiri. Setelah persiapan selesai, aku
dan seluruh tim istirahat sejenak untuk menenangkan diri dan memastikan
persiapan telah sempurna. Kulirik Sam yang duduk disampingku, seolah menyimpan
sebuah rahasia yang berhubungan dengan Grace dan aku.
“Sebenarnya apa yang Mas lakuin
ke Grace?” tanyaku tanpa menoleh kepadanya.
“Hanya salah paham kecil, tak
perlu di bahas.” Jawabnya tanpa beban. Kini aku menatapnya yang tertunduk dalam
diam.
“Mas, please. Aku kenal banget
Mas gimana, juga Grace aku sangat paham sifat kalian. Grace gak akan gitu aja
marah dan bersikap seperti ini kalo gak terjadi apa-apa. Jujur mas.” Aku
memohon penjelasan padanya. Yang ditanya malah hanya diam cukup lama sampai
akhirnya menghela nafas berat.
“Dia nembak aku, tapi aku gak
bisa.” Matanya terpejam menahan amarah.
“Kenapa? Grace cinta sama mas
Sam, dia bisa move on juga karena mas Sam. Tolong mas, dia cewek baik kok malah
sempurna. Apa yang kurang darinya?” Aku beranikan menatap wajahnya yang
menengadah ke langit-langit ruang.
“Gak bisa, Ra. Aku udah jatuh
cinta sama cewek lain. Dan Grace udah tahu siapa cewek itu”
“Tapi kenapa mas Sam kasih
perhatian sama Grace seolah ngasih harapan?”
“Karena dia udah aku anggap
seperti adik ku sendiri, Ra. Ya dia gadis yang sempurna maka dari itu aku mau
jagain dia sebagai adik aku.” Kini dia menghadapkan wajahnya pada ku, meski
masih menunduk lemas.
“Terus. Sii..sia..siapa cewek
yang udah bikin mas Sam jatuh cinta?” entah kenapa dia begitu gagap melontarkan
pertanyaan ini. Kini Sam menatap tepat di manik mataku, raut wajahnya sulit ku
artikan membuat detak jantung ku berdetak tak beraturan.
“Cewek itu kamu. RARA SETIA
RAHSYA.” Tangannya kini memegang wajahku lembut. Mendengar jawabannya membuat
detak jantung yang sedari tadi berdetak tak karuan menjadi seolah berhenti
berdetak beberapa detik, tanpa kusadari air mata ku menetes begitu saja dan aku
tak mampu berkata apapun.
“Udah lama Ra aku memendam rasa
ini untuk kamu, jauh sebelum kamu sama Muf.” Mendengar itu membuat mataku
terbelalak tak percaya.
“Ya, kamu mungkin gak akan
percaya bagaimana seorang Samuel Setiawan Mahendra bisa memendam selama itu.
Cowok yang sering kali mengabaikan perhatian cewek lain hanya untuk meyakinkan
diri sendiri kalau aku bisa punya kesempatan sama kamu Ra, sampai mati-matian
nyari info tentang kamu saat hijrah ke sini.” Tangannya kini menggenggam
tanganku.
“Tapi kenapa harus disaat Grace
juga punya rasa yang sama untuk mas Sam? Grace itu sahabat bahkan sudah seperti
saudara bagi ku.” Ucapanku terdengar lemah namun aku yakin mas Sam masih bisa
mendengarnya. Mas Sam melepas pegangan tangannya tersenyum kecut, kembali
menatap langit-langit ruang seolah memutar sebuah memori masa lalu.
“Ya, harusnya dulu Ra. Sayangnya
aku terlalu bodoh ngalah gitu aja sama Muf, kalian sama-sama mencintai dan aku
berusaha ngerelain meski gak pernah bisa.”
“Maksud Mas ngalah?”
“Muf sakit sudah lama, dan kami
semua tahu umurnya mungkin gak sepanjang kami. Apapun yang menjadi
kebahagiaannya berusaha kami wujudkan meski Muf sering menolak karena dia gak
mau terlihat lemah. Dia sepupu ku, dan maaf aku ngebiarin Muf membuatmu bahagia
lalu ninggalin kamu dalam kaeterpurukan gitu aja.” Nafasnya terdengar sangat
berat, dan aku entahlah aku tak tahu harus berfikir seperti apa.
Acara
kali ini berjalan dengan baik dan professional, ego yang beberapa menit lalu
menghampiri antara aku dan mas Sam dikesampingkan seolah tak terjadi apapun.
Kulihat juga di baris pojok tamu undangan ada Grace yang seolah menutup diri,
tapi aku yakin itu Grace dan dia tetap sahabat terbaikku. Bagaimanapun juga
Grace yang paling mengerti aku disini, disaat aku harus jauh dari ke dua orang
tua dan keluarga, Grace tak akan pernah membiarkanku sendirian sebenci apapun
dia kepadaku. Selesai acara aku langsung menuju parkiran, melajukan motor matic
kesayanganku untuk segera sampai di tempat kos. Acara pembubaran tim akan di
adakan nanti malam sekaligus evaluasi dan syukuran kelancaran acara di café
Nite, makanya aku memutuskan untuk segera pulang setelah berpamitan dengan pak
Dion dan mbak Irma. Mandi dilanjutkan dengan menghempaskan tubuh di kasur mungkin
akan sedikit membantu mengusir fikiran yang membebaninya sejak beberapa hari
yang lalu.
Café
Nite jam tujuh malam, telah penuh dengan beberapa orang dari tim sukses yang
membantu launching buku novel milikku, café ini di pesan mbak Irma khusu untuk
acara mala mini. Banyak juga di antara mereka yang membawa serta pasangannya,
termasuk pak Dion yang turut hadir bersama isterinya yang merupakan guru SMA
ku. Dari beberapa orang belum ku lihat adanya Sam, mungkin dia terlambat atau
bahkan tak datang. Entahlah sudah cukup beban fikiran ku saat ini, aku tak mau
lagi memikirkan orang itu, aku harus melupakan semua rasa yang aku sendiri
miliki, harus. Aku tak mau menyakiti siapapun disini, akan lebih baik jika aku
menyakiti diri ku sendiri. Tak berselang lama pintu café terbuka, Nampak mas
Sam dari balik pintu dan ternyata dia tak sendiri karena ada sosok wanita
cantik di sampingnya, dia adalah Grace. Mereka terlihat serasi, Tuhan bantu aku
lagi untuk tak merusak suasana bahagia disini dengan keterpurukanku sendiri.
Sam dan Grace duduk satu meja dengan ku dan pak Dion serta isteringa juga mbak
Irma, kami semua ngobrol seperti biasa seolah tak terjadi apapun, meski
terlihat adanya jarak antara aku dan Grace. Cukup lama sampai tak terasa sudah
hampir jam setengah sepuluh malam, pak Dion dan isterinya pamit pulang duluan
di susul oleh mbak Irma. Untuk menghindari ke canggungan, akupun memutuskan
untuk pamit juga. Hendak melangkah pamit pada yang lain, Sam mencengkram
tanganku menghentikan langkah yang akan ku mulai.
“Ada apa, Mas? Sudah malam aku
harus balik.”
“Duduk, kita perlu bicara.”
Ucapnya pelan namun tegas. Aku menghela nafas dan menurutinya untuk kembali
duduk, sekali menoleh pada Grace yang membuang pandangannya padaku.
“Langsung saja, Mas.” Grace
membuka suara.
“Oke, aku mau minta maaf sama
kalian tentang beberapa hal yang terjadi minggu ini. Aku tahu kalian sahabat
sejati, jadi tak seharusnya kalian saling diam seperti orang yang tak kenal
sama sekali seperti ini. Apalagi hanya karena aku.”
“Ini semua salahku, aku yang tak
peka dengan kalian. Harusnya aku berfikir panjang sebelum ketakutan yang
kufikirkan menjadi kenyataan, aku fikir Grace akan bahagia dengan
mendekatkannya dengan mas Sam tapi salah aku malah membuatnya terluka. Aku
bodoh.” Aku benar-benar tak bisa menahan tangis ku, dan tanpa ku harapkan air
mataku mengalir deras.
“Nggak Ra, kamu nggak salah.
Harusnya aku waspada untuk nggak ngasih harapan palsu sama Grace, dan juga
ngebuang imajinasi ku untuk milikin kamu.” Sam terlihat frustasi menyembunyikan
wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
“Stop, saling menyalahkan! Kalian
berdua emang salah, karena kalian nggak saling jujur tentang perasaan kalian
yang memiliki rasa yang sama. Kalian hanya bisa berfikir untuk tidak menyakiti
orang lain, tapi cara yang kalian lakuin salah.” Grace mulai menunjukkan amarah
yang selama ini di tutupinya.
“Dan aku cuman, cewek bodoh yang
tak bisa tahu situasi. Mengharapkan sesuatu yang dari awal udah aku tahu bahwa
dia gak akan pernah aku dapetin. Aku gak marah karena aku ditolak Ra, tapi aku
marah karena kamu gak jujur sama aku. Rasanya sia-sia tau gak selama ini kita
bersahabat dan coba saling terbuka kalau nyatanya kamu tetap gak bisa jujur
sama aku.”
“Aku cuman gak mau nyakitin kamu
Grace. Aku tahu kamu jatuh cinta sama mas Sam, dan bisa move on dari kesedihan
masa lalu kamu. Aku udah bisa lihat kebahagiaan yang dulu sempet hilang dari
kamu Grace.”
“Tapi kamu salah Ra, karena aku
gak akan pernah bahagia kalau sahabatku merelakan kebahagiaannya untuk aku.”
“Karena memang cuman kamu yang
bisa ngedampingi mas Sam selamanya Grace bukan aku.” Ucapanku membuat kedua
orang yang duduk dihadapan ku menfokuskan pandangannya pada ku.
“Maksud kamu apa?” tanya Sam
menatapku menuntut penjelasan.
“Ya, aku jujur aku cinta sama mas
Sam.” Aku berhenti bicara sejenak, Grace kini tersenyum miris bukan bahagia.
Aku tahu itu.
“Tapi aku gak bisa, aku gak mau
mas Sam ngerasain apa yang aku rasain. Kehilangan orang yang di cinta, aku
selalu berusaha membuat mas Sam benci sama aku. Dengan segala kerelaan maka aku
memutuskan menjodohkan kalian, apalagi ku lihat Grace begitu tertarik dengan
mas Sam.”
“Tapi kenapa Ra? Kamu segitu
bencinya sama aku? Apa salahku Ra? Biar aku perbaiki itu.” Tatapannya seolah
memohon.
“Nggak ada kebencian dan tak ada
yang harus di perbaiki.”
“Terus, apa maksudmu tadi?” Grace
Nampak kebingungan.
“Besok aku harus balik, bertemu
dengan keluarga pulang ke rumah. Aku mau kembali merasakan pelukan hangat
keluarga di sisa umur ku.” Aku tersenyum lemah, Grace dan Sam melongo mendengar
pernyataanku.
“Mm..maksud kamu? Sisa umur? Apa
yang terjadi Ra?” Grace Nampak panic. Ya Grace meski dia sahabatku namun dia
tak pernah tahu tentang hal ini, hanya mama dan papa yang tahu semuanya.
“Dokter udah nyerah Grace, aku
sendiri udah capek bergantung sama obat dan rumah sakit. Segala macam
pengobatan udah aku lakuin, tapi takdir memang tak bisa di paksa aku hanya
tinggal nunggu saat itu datang. Mungkin aku akan bisa kembali bahagia bertemu
dengan Muf.” Senyum ku mengembang seolah tanpa beban. Grace meraih tanganku, di
genggamnya dengan lembut.
“Kamu pasti bercanda Ra, kamu
sehat dan gak sakit apapun. Mana mungkin aku gak tahu, kita sahabatan dari
kecil Ra. Kamu gak mungkin sembunyiin ini semua.” Grace masih tak percaya
dengan apa yang ku ucapkan tadi begitu juga Sam, yang menatapku menuntut
penjelasan.
“Aku dan kedua orang tua ku
sengaja merahasiakan ini semua Grace. Bahkan aku tahu bahwa aku sakit setelah
kepergian Sam, dimana aku benar-benar drop karena menghentikan minum obat yang
awalnya mama bilang itu adalah vitamin yang harus aku minum setiap hari. Mereka
juga aku hanya ingin aku di perlakukan sama, bukan di pandang dengan belas
kasihan.” Grace kini berlari menuju bangku tempat ku duduk, menghempaskan
tubuhnya memelukku dalam tangisan.
Setelah
kejadian malam itu di café Nite aku langsung kembali ke kota asal ku, seperti
yang aku ingin kan juga ke dua orang tuaku. Menghabiskan waktu yang tersisa
dengan kebersamaan keluarga yang sangat aku cintai, sisa waktu ini ku habiskan
juga dengan membuat novel ke tiga ku. Seandainya saja ada banyak waktu untukku,
aku memimpikan punya ribuan novel untuk semua orang baca. Sam dan Grace kini
benar-benar belajar, memulai semuanya dari awal menuju jalan yang indah. Mereka
bertekad ingin membuat ku merasakan kebahagian yang mereka rasakan.
Sebulan ku rasa
cukup sudah, aku benar-benar merasakan kebahagiaan dari semua sisi. Keluarga
yang selalu ada untukku, sahabat setia yang tak pernah lepas meski banyak
persoalan yang kami hadapi. Warna pelangi yang indah terkalahkan sudah dengan
warna kehidupan yang aku miliki, Tuhan memabg sangat adil dan sayang pada
setiap umat. Lelahku sudah menanti kini tiba saatnya aku akan tertidur lama,
dan bertemu dengan yang sangat ku rindukan Muf yang menunggunya di kehidupan selanjutnya.
Mungkin benar apa yang di katakan Muf, kalau hanya dia yang akan menjaga dan
memelukku erat penuh sayang. Kini kita bertemu lagi Muf, meski minus candaan
dari orang sekitar kita seperti dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar