Rabu, 29 Oktober 2014

IF YOU KNOW



          Melihatnya tersenyum seperti itu, apalagi yang bisa kurasakan selain turut bahagia. Meski senyuman itu bukanlah untukku, tapi setidaknya aku bisa memastikan dia akan bahagia selamanya. Raina Sandy, satu nama terindah yang akan selalu menghiasi setiap hariku, tak peduli badai apapun yang kurasakan asal dia akan selalu menjadi princess dalam kehidupan ini. Aku tak bisa lama-lama memandang pemandangan indah namun kalau boleh jujur akan membunuhku secara perlahan, karena disaat ini aku melihat Raina Sandy tersenyum bahagia dihadapan pria yang di anggapnya sebagai pangeran Satrio Mahardika. Aku menghela nafas panjang, membayangkan andai saja pangeran itu aku, ah membayangkannya saja membuatku merasa tak pantas. Dia akan selamanya menganggapku seorang kakak yang menyayangi adiknya, tak akan bisa lebih daripada ini. Andai saja aku bisa meminta pada Tuhan, menepiskan rasa cintaku pada adik sahabatku sendiri yang kusayangi lebih dari apapun setelah kedua orangtuaku. Andai saja perjanjianku dan Rama tak pernah ada, ya perjanjian konyol mengatasnamakan persahabatan. 

Tiba-tiba ada tangan kecil yang mengagetkanku keluar dari lamunan, aku hampir menjitak orangnya kalau tak menyadari ternyata dia adalah Renata sahabat terdekat dari Reina. Mereka bersahabat sejak masih di bangku SMP, selalu ditempatkan dikelas yang sama dan juga hobi yang tak berbeda jauh menjadikan mereka sangat dekat seperti saudara. “Nah loh ngelamunin nih ceritanya?” tebaknya padaku. “Kepo banget jadi bocah.” Balasku mendorong tubuhnya menjauh dari taman sekolah dimana sejak tadi aku berdiri. “Bang Handy kebiasaan deh, dorong-dorong anak orang seenak jidat. Jangan mentang-mentang senior dong!” gerutu Renata membuatku tertawa, dia hampir mirip dengan Reina sikap manjanya tapi Renata lebih bersikap dewasa dibanding Reina yang polosnya minta di cubit. “Jangan marah terus, ntar di putusin Arta loh.” Kata-kataku membuatnya menatapku tajam, dengan tangan yang berkacak pinggang. Sebisa mungkin ku tahan tawaku yang akan meledak. “Kok gitu sih, sepupu ipar. Aku bilangin Reina loh kalo Bang Handy diam-diam suka padanya.” Kini gentian Renata yang tertawa keras meninggalkanku yang masih melongo tak percaya.

Malam minggu ini kuhabiskan bermain Playstation dengan Rama, kalau kebanyakan remaja menghabiskan waktu dengan hang out bareng teman atau pacar maka disinilah kami berdua sebagai jomblo terhormat yang malas dengan keramaian tak jelas di luar sana, tapi bukan berarti kami anti social ya. Kulihat Reina tengah duduk di sofa satu ruang dengan aku dan Rama sedang sibuk dengan smartphonenya, pakaiannya rapi sepertinya dia mau pergi, kencan mungkin? entahlah apa urusannya denganku. “Dy, kalah traktir di café Red seminggu ya.” Tantang Rama padaku. “OK, siapa takut palingan juga situ yang kalah.” Jawabku ringan. “PD amat jadi orang, jomblo abadi mana mungkin ngalahin cowok setia kayak Rama.” Ucapnya bangga. “Situ kan cuman gak bisa lepas dari nenek lampir sekolah bukannya setia itu namanya.” Jawabku usil membuatnya menyikut lenganku keras. “Bener tu kata Bang Hanhan, mau aja di siksa sama si lampir. Nyari lain gitu katanya Kakak ganteng rebutan banyak orang.” Reina ikut mengusili Rama, yang membuatku tertawa keras merasa menang. “Shut up, dek. Bocah pemula pacaran mana ngerti sih?” Rama sewot, tawaku kini menghilang berganti senyuman kecut mengingat Reina sudah memiliki kekasih, ya Tuhan apa yang kufikirkan. “Yang penting kan Satrio itu baik, setia, sayang sama aku. Baiklah pokoknya.” Terang Reina yang membuatku dan Rama mendengus kesal namun berbeda sebab. “Baikan juga si Hanhan mu ini, tingkat kegantengannya juga masih lumayan meski masih di bawah kakak lah.” Ujar Rama dengan sangat PDnya dan mengedipkan sebelah matanya padaku. “Aduh plastik mana plastik? Ember juga boleh deh.” Jawabku tak terima selolah ingin muntah. Aku dan Rama pun tertawa bersamaan. “Udah ah terserah, mau ke kamar aja reseh nih kak Ramram sama bang Hanhan.” Reina beranjak dari sofa menuju kamarnya. “Gak jadi kencannya?” tanyaku padanya. “Gak jadi. Tau ah bête nih.” Ucapnya malas. “Idih labih sih dek.” Tawa Rama menggema, yang di hadiahi plototan tajam dari Reina yang membuatku ikut tertawa.

Senin siang sepulang sekolah, aku dan Rama mampir ke café Red. Seperti perjanjian kemarin yang kalah wajib traktir selama seminggu, dan lihatlah muka Rama yang penuh kemalasan karena seminggu ini dia harus traktir aku. Rasakan penderitaanmu Rama, lumayan juga kebetulan Papa dan Mama lagi ke luar kota jenguk kerabat selama seminggu. Jadi uang saku dari Papa bisa kumanfaatkan untuk yang lain, thanks before Rama. “Gak usah lesu kayak orang susah deh, Ram.” Rama mendelik tajam padaku dari balik buku menu yang di bacanya. “Salah tempat deh kita, ini bukan café Red pindah yuk.” Jawabnya ngasal membuatku tertawa dan pelayan disamping meja kami melongo gak jelas. “Eh Romo, café Red daerah sini ya cuman satu ya ini nih. Gak usah halusinasi, buruan pesen aku laper.” Pelayanpun segera mencatat dan 10 menit kemudian pesanan kami datang. Ditengah asyik makan, tiba-tiba Rama memukul kepalaku dengan sendok, emang kurang ajar ni orang. “Apaan sih?” tanyaku kesal, dia hanya menunjuk seseorang di meja tak jauh dari tempat kami. “Satrio? Sama siapa tuh? Bukan Reina kan?” aku memberondong banyak pertanyaan pada Rama yang di jawab dengan putaran bola mata malas. Seolah berkata –Kalo tahu, gak bakal nanya situ. Akupun nyengir gak jelas, dalam hati aku ingin marah melihat pacar princess hatiku selingkuh. “Jangan kasih tahu Reina, Ram.” Rama yang sibuk mengetik sebuah pesan menatapku penuh tanya. “Baru aja mau aku sms, napa sih?” jawabnya. Aku merebut smartphone miliknya. “Eh balikin, aku sayang sama Reina. Dan gak ada yang boleh nyakitin dia, inget kan Dy?” Rama seolah menahan emosi. “Aku juga sayang sama dia, kita cari bukti dulu. Jangan gegabah malah bikin Reina sedih.” Jawabku mengembalikan smartphone miliknya.

Seminggu setelah kejadian itu, aku dan Rama beberapa kali masih sering melihat Satrio dengan cewek yang sama seperti sebelumnya. Aku semakin emosi melihatnya apalagi Rama, bagaimana mungkin hubungan mereka yang baru satu bulan beberapa hari lagi sudah di bumbui dengan perselingkuhan? Tapi itulah nyatanya, setelah melakukan penyelidikan tanpa sepengetahuan siapapun ternyata ada yang tidak beres dengan sikap Satrio yang mendadak menyatakan cinta pada Reina dahal dulu dia cuek pada gadis itu mengingat mereka juga selalu satu kelas sejak SMP. “Bang Dy, ngapain sih ngajak Rena kesini kan aku mau kencan sama Arta. Jadinya malah triple sama bang Dy kan gak lucu jadiin abang ganteng obat nyamuk.” Renata mulai neyrocos gak jelas, dan berhenti ketika mendapat cubitan di hidungnya dari Arta. Good job Arta sangat membantu. “Diem dulu sayang, ini penting kayaknya jadi kita dengerin bang Dy dulu ya.” Arta emang pengertian, Rena kini memasang wajah bête absurd. “Kenal Satrio kan?” tanganku membekap mulut Rena, tahu kalau dia akan memotong kalimatku dan mencemoohku karena dia tahu aku suka dengan Reina. “Dia selingkuh, udah beberapa kali ini aku sama Rama mergokin. Menurut kalian ada yang aneh dengan sikap Satio selama ini?” tanyaku sembari melepas tangan dari mulut Rena yang kehabisan nafas. “Gila, gak lucu kalau ada berita gadis SMA cantik mati di bekap abang ganteng.” Celoteh Rena membuatku dan Arta mendengus kesal. “Bisa tau cewek yang sama Satrio, bang?” tanya Arta. “Gak tau itu siapa, mungkin kalian kenal.” Aku meunjukkan beberapa foto yang kuambil kemarin. Rena dan Arta yang melihat foto itu berubah mimik wajahnya. “Itu kan Marsya, yang dulu hobi banget nge bully anak SMP termasuk Reina.” Pernyataan Renata membuatku menyerngit meminta penjelasan lebih. “Dia adiknya Daren, teman seangkatanku yang pernah naksir sama Reina tapi di tolak mentah-mentah. Inget?” Arta menambahi. “Jangan bilang kalau Daren mau balas dendam sama Reina?” tanyaku penuh selidik. “Bisa saja, tapi ada kemungkinan lain Marsya juga ingin balas dendam karena dulu gebetannya malah suka sama Reina.” Aku menutup mata frustasi. Renata melanjutkan kalimatnya, “Ada yang aneh, dulu Satrio cuek banget sama Reina tapi..” kalimat Renata menggantung membuatku membuka mata menatapnya begitu juga Arta yang memandangi wajah kekasihnya penuh tanya. “Ya ampun aku baru inget kalau dulu pernah ada kabar Satrio naksir sama Marsya.” Renata mengusap wajahnya tak mampu berkata-kata. “Jadi dia manfaatin Satrio yang di cintai mati sama Reina?” Arta menggenggam tangan Renata member ketenangan.

Kulihat Reina berdiri di depan gerbang sekolah, sepertinya menunggu Satrio dari parkiran. Aku kini pulang cepat karena guru les tambahan di kelasku sedang berhalangan hadir dan tak ada guru ganti. Kutarik Reina menuju motorku. “Bang hanhan, ngapain sih nyeret Reina kayak gini sakit tau.” Reina mendumel padaku, aku hanya tersenyum manis melepas tarikan pada tangannya. “Maaf, yuk pulang bareng abang. Kak Rama masih ada les tambahan.” Ucapku santai padahal aku tahu kalau dia menunggu Satrio bukan Rama. “Sekarang kan aku pulangnya emang gak pernah barengan kak Rama tapi sama Satrio, bang.” Aku menghela nafas panjang menahan emosi. “Udah sama bang Handy aja, mulai sekarang jauhin Satrio.” Kini Rama berada tepat di depan Reina, mendengar kalimat kakaknya membuat Reina melotot. “Maksud kakak apaan sih? Gak usah ngelarang deh, emang kalau aku nyuruh kak Rama jauhin si lampir itu mau?” Rama geram dengan sikap adiknya satu ini. Akupun juga merasakan hal yang sama. “Dia gak pantes buat kamu, dia itu busuk. Ngerti gak?” bisik Rama pada Reina tak ingin semua orang mendengar pertengkaran mereka apalagi masih dilingkungan sekolah. Reina meneteskan air mata dan bergumam pelan namun bisa aku dan Rama dengar kan “ Kakak sama abang jahat, kalian gak sayang sama aku.” Tangisnya pecah begitu saja. Dari kejauhan kulihat Satrio mendekati gerbang, Rama melirikku untuk cepat membawa Reina pulang. “Tuh bocah biar aku yang urus, aku percaya kamu bisa nenangin dia.” Aku mengangguk mengerti dan memaksa Reina menaiki motorku.

Selama perjalanan pulang, Reina masih saja terus menangis. Aku udah berusaha ngehibur tapi tetap saja princess kepala batu ini tak menggubrisnya dengan baik. Ayo berfikir Handy, cari solusi tanpa masalah ayo lah. Gerutuku dalam hati, akhirnya aku mendapat ide. Puter balik menuju café Red, kebetulan Renata dan Arta sedang kencan disana, bagaimana bisa tahu ya karena miss update yang disandang Renata, mungkin Renata bisa bantu ngehibur bocah yang kusayangi secara diam ini. “Ngapain puter balik? Bentar lagi kan nyampe rumah?” protes Reina, aku hanya diam tak menjawab. “Bang Handy ngapain sih kayak gini, bisa gak kasih Reina kebebasan. Aku bukan ank kecil lagi, kemarin aku nurut untuk jauhin kak Daren. Tapi aku cinta mati sama Satrio bang.” Aku menggeram melajukan motor dengan gilanya, Reina ketakutan mendekapku erat seolah akan mati saat ini juga. Aku yang paling sakit Rei, andai aja kamu ngerti gimana sakitnya ngelihat kamu sama orang lain. Dan saat aku udah mau belajar melepasmu orang itu malah nyakitin kamu, kamu masih ngebela dia? Segitu cintanya kah kamu sama dia sampai aku gak pernah dapet kesempatan itu, atau mungkin emang gak akan pernah. Aku menggumam dan marah dalam hatiku sendiri berteriak dengan suara jiwaku. Semua harusnya menyadarkanku kalau Reina selamanya hanya seorang adik gak akan lebih.

Sampai di café Red, aku menyusul Renata dan Arta yang sebelumnya tadi di depan ku telfon terlebih dahulu. Kutarik tangan Reina menyusul Renata dan Arta, melihat kondisi Reina yang sembab membuat Renata langsung mendekap erat sahabatnya itu. “Kak Rama mana?” tanya Arta menghilangkan suasana tegang dan hening. “Masih ngurusin bocah, gimana Daren sama Marsya? Beres?” aku menghela nafas lelah, kulihat dari ekor mataku Reina menatapku ketika menanyakan tentang Daren dan Marsya. “Bereslah, makanya kita bisa cepet dateng kesininya.” Cengir Arta enteng tanpa beban. “Baguslah, untung gak Rama sendiri yang ngambil.” Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran sofa yang empuk, nyaman. “Kata siapa gak ikut? Heboh banget tuh tua gak mau kalah sama yang muda.” Jawab Renata ditambahi tawa renyah dari Arta. “Maksudnya apaan sih?” Reina mulai angkat bicara. “Udah nangis aja dulu selesein, kita dah gak mau nampung air mata penuh luka.” Cibir Renata. “Kenapa sih Ta, kok kamu jadi sewot sama aku?” Reina melepas pelukannya pada Renata, menatap kami penuh kebingungan dan juga emosi. “Habis kamu dibantuin malah gitu, kamu marah kan sama bang Handy sampe dia jadi diem kayak gitu? Kamu tuh udah dibohongin sama Marsya dan Daren lewat Satrio.” Reina menatap tak percaya membuatku menghela nafas, sia-sia sudah segala perjuanganku sepertinya tak akan pernah ada aku dihatinya. “Aku balik duluan ya, bentar lagi Rama kesini. Maaf ya Reina kalau selalu bikin kamu gak nyaman.” Reina masih terpaku pada pandangan kososng, kutepuk lembut puncak kepalanya. Arta dan Renata tersenyum tipis seolah mengerti apa yang kurasakan. Sesampainya di pintu café aku bertemu dengan Rama, mengobrol sebentar dan akupun pamit pergi dan melangkahkan kaki menjauh dari café.

                Pindah ke Jogja menjadi pilihan tepat untuk memulai semuanya dari awal, membuka hati pada kehidupan baru. Ah semoga saja ini lebih banyak menyenangkan dari sebelumnya, sekolah baru lingkungan baru teman baru. Sejak pertemuan terakhir dengan Reina di café waktu itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya, meski dia sering mengirimkan pesan atau mencoba menelfonku namun ku abaikan. Aku benar-benar butuh memulainya dari awal, hanya Rama yang tahu aku pindah ke Jogaja dan juga alasan sebenarnya. Aku melarangnya memberitahu pada adik tersayangnya itu, hingga aku benar-benar sudah tiba di Jogja. Sedang Renata dan Arta tetap saja menjadi couple kepo yang memaksaku memberitahu dimana keberadaanku sekarang, mereka benar-benar serasi membuat iri  meski terkadang aneh. Kudengan dari Arta dan Renata bahwa Reina sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya, tentu saja Rama yang memberitahu.  Kata mereka dia shock dan merasa bersalah bersikap acuh kepadaku, tapi itu tak akan merubah segala keputusanku. Rama menjelaskan dengan detial semua kejadiannya sampai aksi mengancam Daren dan Marsya yang akan di adukan kepada Kepala Sekolah untuk mencopot jabatan sebagai ketua basket dan cheerleaders, juga perlakuan Rama terhadap Satrio yang merasa bersalah dan malah benci pada Marsya karena telah di tipu. Aku memang tak akan pernah marah dan benci padanya karena dia adalah princess hatiku sampai kapanpun meski nanti hatiku terisi orang lain.

Tiga tahun sudah aku memulai semuanya dengan yang baru, tak sesulit yang kubayangkan dulu. Semua berjalan dengan sangat baik, aku menyelesaikan sekolah dan juga melanjutkan kuliah disini. Mengejar gelar dokter seperti impianku sejak dulu, aku sudah membayangkan setiap hari memakai jas putih kebanggan itu hhaha. Sebentar lagi, ya karena kini aku sudah di semester akhir tinggal menyusun skripsi dan voila aku adalah dr.Handy Wijaya. Aku masih berhubungan dengan Rama, Arta dan juga Renata tapi dengan Reina aku masih belum bisa entah sampai kapan. Ruang hatikupun masih saja penuh bayangannya tak bisa di usik dengan lainnya, terlalu pengecut mungkin. Sudahlah lupakan saja semua itu sudah berlalu.

Duduk di café menikmati hujan disore hari lewat jendela berteman secangkir kopi adalah yang biasa ku lakukan untuk membunuh rasa sepiku. Kurasa ada yang menepuk pundakku menepis segala imajinasi yang kurangkai dengan sangat nyamannya. “Permisi, boleh duduk disini? Semua kursi penuh.” Sepertinya aku mengenal suara ini, ya sangat mengenal tapi apakah aku masih terjebak dalam imajinasiku? Mungkin iya. Kutengok kesamping asal suara, membuatku membeku sesaat. “Reina Sandy?!” ucapku pelan. Gadis disampingku pun tak kalah terkejutnya namun tak lama seulas senyum manis menghiasai wajahnya, tak banyak berubah semakin terlalu indah. “Bang Han-han?” dia masih saja memakai panggilan itu, hancur sudah pertahanan yang ku buat aku benar-benar merindukannya. Reina menghambur ke pelukanku, dapat kudengar dia terisak, dia menangis. Tapi kenapa? Apakah dia juga merindukanku? “Jangan tinggalin Reina bang, Reina sayang sama bang Han-han. Maafin Reina..” ku usap punggungnya pelan memberikan kenyamanan agar dia tak lagi menangis. “Iya, maafin abang ya princess.” Ucapku pelan, dia semakin mengeratkan pelukannya. “Reina sayang sama abang, Rei..Reina cinta sama bang Han-han.” Aku kaget mendengar penuturannya, jadi cintaku gak bertepuk sebelah tangan? Kuurai pelukan kami, kupandang wajahnya tatapannya teduh namun penuh kerinduan, ke berikan senyuman manisku padanya ku kecup keningnya pelan membuatnya tersipu malu. “Bang han-han juga sayang sama, princess..” ku atur nafasku yang terasa berat “juga ci..cinta sama kamu. Tapi..” berat sekali mengucapnya mengingat perjanjianku dengan Rama. “Tapi kenapa?” itu suara Rama, tapi bagaimana bisa? Aku dan Reina mendongak ke asal suara, itu beneran Rama, Tuhan. Tangannya menyilang di dada dan melotot seram. “Udah lupain aja perjanjian itu, kan tujuannya aku mau lindungin adek aku. Tapi kalau ternyata itu malah bikin princess aku sakit ya udah batalin aja, gampang kan?” aku melongo mendengarnya, enak banget ngomongnya. Kujitak kepalanya cukup keras. “Bego..kenapa baru ngomong sekarang? Gak dari dulu aja sih, oon?!” Rama mendengus kesal, sedang Reina tertawa melihat kelakuan kami. “Ish situ yang bencong, belum apa-apa udah nyerah gitu aja padahal juga mau ngomong ini udah lama. Kamu tuh yang oon! Pake kabur jauh kesini masih aja jomblo.” aku gantian mendengus kesal. “Hore traktiran nih ada yang baru jadian.” Itu teriakan couple kepo. “Traktiran aja heboh mas mbak. Eh bentar deh kok kalian ada disini sih?” tanyaku penuh keheranan. Arta menjitak kepalaku dengan amat tenang tanpa dosa di wajahnya. “Calon dokter masih aja oon, gak up to date. Kan Reina kuliah disini, dan kita lagi jengukin dia sekalian nganter kak Rama prewed.” Aku melongo makin lebar, mereka semua tertawa melihat kelakuanku, namun tak lama Reina memelukku erat membuatku harus kembali sadar dari kebodohanku. Thanks God, it’s so beautiful.teriakku dalam hati.

Akhirnya cintaku tak bertepuk sebelah tangan, indahnya dunia ini. Arta dan Renata juga masih langgeng sampai sekarang, sebentar lagi mereka berencana melangsungkan pesta pertunangan. Dan yang mengejutkan adalah Rama, bentar lagi dia nikah. Tentu saja dengan nenek lampir, sebenarnya namanya Karmila Anatasya bukan nenek lampir, baguskan? Tapi karena dia cerewet banget apalagi sama Rama ya udah aku sama Reina manggil dia nenek lampir tapi dia baik kok gak nyeremin. Reina juga kuliah di Jogja ternyata jurusan kedokteran tapi beda universitas denganku. Couple dokter? Bisalah unik juga daripada couple kepo yang ku nobatkan untuk Arta dan Renata.










Senin, 27 Oktober 2014

Cafe Nite



               Senyumnya kembali indah bahkan tawanya begitu renyah ku dengar setelah beberapa bulan ini semua itu hilang karena ke pergian Jack sang pujaan hati yang meninggalkannya begitu saja tanpa kata perpisahan, bagaimana mungkin aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku memiliki alasan yang sama dengannya untuk selalu bisa se bahagia saat ini. Aku mencinta Sam jauh sebelum aku tahu bahwa Grace juga dekat dengan Sam tak lama ini, karena pertemuan pertama mereka di sebuah pesta teman kerjanya. Entahlah, mungkin terdengar aneh bagaimana aku bisa jatuh cinta pada Sam bertahun-tahun sampai akhirnya aku harus melepaskannya jauh sebelum aku memulai bahkan belum sempat memberikan aba-aba. Andai saja aku bisa egois dengan jujur kepada Grace bahwa aku mencintai pria itu, dan pria itulah yang selama ini terukir sangat indah dalam setiap curhat ku pada Grace yang merupakan sahabat kecilku yang tak bisa ku lukai begitu saja dan tak akan pernah ku biarkan terluka.
“Hai, kau melamun Ra.” Suara lembutnya menghentikan lamunanku, namun aku hanya bisa diam tergugup.
“Hello? Are you okey my sweety girl?” tangannya dilambaikan tepat di depan mataku, mengajakku untuk kembali pada dunia nyata.
“Ya tentu saja my  lovely girl. Ayo kita pulang, sudah mulai malam aku banyak tugas deadline besok dikantor.” Aku membereskan handphone juga ipad kedalam tas milikku. Grace memutar bola matanya kesal, dan mengikuti apa yang aku lakukan tanpa banyak protes.

                Berkutat dengan pekerjaan mungkin akan lebih baik daripada aku harus terus-terusan terfikir oleh Grace dan Sam. Hari ini aku begitu menyibukkan diri sampai tak sempat untuk sekedar membalas pesan dari Grace yang meminta pendapatnya tentang sosok Sam, bukannya aku tak mau tapi aku sungguh sibuk menyiapkan semua file data untuk sebuah proyek novel tulisanku yang akan ku presentasikan sore ini di sebuah kantor penerbit terkenal di kota ini. Selesai menyiapkan semua file dan dokumen aku langsung bergegas menuju kantor penerbit yang tak jauh dari tempat kos ku saat ini untuk memulai meeting dengan tim mereka karena jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, itu artinya tiga puluh menit lagi meeting dimulai. Lima belas menit aku sudah sampai dengan menggunakan sepeda motor matic milikku yang sudah menemaniku sejak SMA.
“Sore pak Dion.” Sapaku ramah pada lelaki paruh baya yang duduk di lobby kantor.
“Sore mbak Rara, cepat sekali datangnya. Bukankah meeting baru dimulai 10 menit lagi?” tanyanya tersenyum ramah.
“Iya pak. Lebih baik datang awal dari pada terlambat, tak enak sama yang senior.” Candaku namun tetap sopan. Yang disambut tawa kecil dari pak Dion
“Ya sudah. Mbak Rara tunggu saja di ruangan meeting sudah ada beberapa tim disana, nanti saya nyusul.”
“Baik pak, saya permisi.” Tanggapku, dan di hadiahi anggukan tanda setuju.
Sudah cukup lama aku mengenal pak Dion, beliaulah yang mendorongku untuk terjun ke dunia menulis yang memang sudah ku geluti sejak masih SMP meski hanya sebatas tulisan pribadi. Tapi berkat bantuan pak Dion dan juga bu May isterinya yang merupakan guru Sastra ku di SMA jadilah aku seorang penulis, dan ini adalah proyek kedua ku bersama pak Dion dan timnya.

                Rapat telah selesai aku menghela nafas lega, ada rasa senang juga sedih ketika tahu bahwa Sam ikut juga dalam tim ku kali ini. Memang bukan kali pertama aku bekerja sama dengannya, namun kini dia memegang sebagai editor menggantikan mas Erik yang ditugaskan di proyek penulis lain yang artinya mau tak mau aku akan banyak bertemu dengannya untuk berdiskusi dan mengamati perkembangan persiapan buku novelku sampai waktu penerbitan. Semoga saja ini bukan pertanda buruk untuk hati ku sendiri dan semoga Grace gak cemburu kalau tahu siapa editor yang akan mendampingiku. Tak mau berlama-lama melamun, aku membereskan file dokumen milikku dan bergegas keluar ruang rapat setelah berpamitan dengan yang lain. Ketika hendak berdiri tiba-tiba ada yang menarik tanganku, kutoleh dan ternyata dia adalah Sam.
“Hey mau kemana, my paris?” tanyanya padaku. Semua orang di kantor ini tak heran jika Sam memanggilku dengan sebutan itu, karena mereka tahu aku dan Sam cukup dekat sejak penerbitan buku pertama ku bahkan banyak yang mengira aku dan Sam adalah sepasang kekasih.
“Aku mau pulang, ada yang mesti…” kalimatku terpotong begitu saja olehnya.
“Buru-buru sekali kamu ini, gak mau jalan dulu? Ngopi atau ngeteh gitu?”
“Tapi Mas.”
“Proyekmu baru saja diterima dengan baik Ra dan mendapatkan editor ganteng sepertiku. Rayakanlah kebahagiaanmu itu.” Tingkat PDnya mulai kambuh, tapi itulah yang membuatku semakin tak bisa melupakannya begitu saja.
“Oke, tapi nggak sekarang aku harus menyelesaikan tugas kuliahku malam ini juga.” Ucapku menyetujui dan melepas pegangan tangannya yang sedari tadi mencengkramku.
“Sampai ketemu besok my Paris, jam 7 malam di café Nite.” Dia bangkit dari duduknya mengacak poni depanku dengan lembut dan berjalan keluar dari ruangan. Semua orang yang masih ada di ruang rapat hanya tertawa melihat tingkah kami, Sam yang slalu tak bisa ditolak dan aku yang harus slalu saja setuju dengan pendapatnya.

                Tugas kampus mungkin tak akan terasa berat kalau saja tak dibarengi oleh deadline pengumpulan, dan itulah yang selalu di lakukan oleh para dosen seenaknya memberi tugas dan menentukan waktu pengumpulan. Untung saja semalaman ngebut tugas resensi ku sudah selesai. Ku edarkan pandangan di sekitar kampus mencari sosok Grace yang nampaknya akan kesal hari ini karena aku cuekin seharian kemarin. Sampai di kantin ku lihat sosok gadis cantik itu, bukan hanya cantik juga supel dan pintar membuatnya banyak di taksir oleh teman bahkan senior kampus. Beruntung sekali gadis ini.
“My lovely girl, jangan cemberut dong nanti tikusnya naksir loh.” Candaku ketika melihat perubahan wajah Grace ketika aku menghampirinya.
“Gak lucu. Kirain dah tenggelem di dalem buku kemarin.” Dia menatapku dengan sorot mata tajam, yang malah membuatku tertawa lepas. Aku masih saja tertawa membuat Grace semakin kesal dan menghabiskan minuman yang dia pesan tadi seolah menghiraukanku.
“Ya Tuhan, gitu aja ngambek. Maaf deh kan aku lagi sibuk buat persiapan novel ke dua ku Grace.” Tawa ku hentikan begitu saja, dan memeluknya erat.
“Really sweety? Novel kedua? Kapan?” Matanya berbinar dan dia telah kembali menjadi Grace yang keponya maksimal.
“Baru persiapan, kemarin selesai meeting sama penerbit jadi gak bisa ngurusin pesan dari kamu.”
“Ah lupain aja. Terus gimana hasilnya?” tuhkan keponya kambuh, tadi aja marah ngambek gitu emang labil.
“Ya gitu deh.” Aku tersenyum semangat melepas pelukanku padanya.
“Di setujui?” dia memastikan dan kujawab dengan anggukan.
“Asyik.” Dia gantian memelukku sebentar “Traktir ya, ntar malem di café Nite jam 7 aku tungguin.” Ucapnya sambil berlari karena terburu-buru ada kelas. Aku yang mendengar hanya bisa melongo dan ingetkan ntar malem dia juga punya janji dengan Sam. Ya Tuhan, semoga baik-baik aja ya. Gumamku dalam hati.

                Wajah familiar itu sudah duduk manis di sebuah meja dekat jendela memandangi rintikan  hujan yang begitu menyejukkan sambil sesekali menatap layar handphone, aku mendekatinya yang sedari tadi menungguku bahkan ada belasan pesan sejak tadi sore untuk mengingatkan aku dengan acara traktiran malam ini.
“Ngelamun aja mas, galau ya jadi jones?” sapaku sekaligus memberikan candaan padanya.
“Sial, mana mungkin aku jadi jones. Emang kamu yang galau karena jomblo abadi?” balasnya sembari mencubit lenganku, menyuruhku duduk disampingnya.
“Idih, aku gak jomblo abadi kali. Cuman LDR aja.” Ucapku santai sambil memanggil waiters untuk memesan makanan.
“LDR ama siapa Ra, kok gak pernah cerita sih?” ambeknya padaku yang ku hadiahi tawa.
“Sama jodoh aku, aku disini jodoh aku di tangan Tuhan.” Jawabku sambil menjulurkan lidah mengejeknya.
“Lucu ya. Dasar jomblo abadi.” Sam menjitak kepalaku pelan.
“Udah ah, pesen dulu gih.” Ucapku menunjuk waitres yang ku panggil  tadi.
“Kayak biasanya aja deh.”
“Kopi hitam tanpa gula satu, coklat panas tanpa cream satu, honey pancake nya dua.” Aku menyebutkan pesananku. Dan tak lama makanan kami datang, aku dan Sam asyik mengobrol seperti orang yang lama tak pernah ketemu, padahal hampir setiap hari aku bertemu dengannya di kantor pak Dion. Banyak yang kami obrolkan, mulai dari kerjaan sampai membahas lelucon absurd yang gak pernah penting. Kulihat handphoneku yang berbunyi ada panggilan masuk, ternyata Grace yang sudah sampai di depan café dan kusuruh saja masuk bergabung di meja kami. Awalnya di kaget melihat siapa yang duduk di samping kananku, dia berbisik padaku dia adalah Sam yang tempo hari dia ceritakan dan aku tahu karena aku pernah ditunjukkan foto Sam sehari setelah mereka bertemu. Hebatnya Sam masih mengingat Grace yang bertemu dengannya di pesta itu, Grace tentu bahagia namun aku ada rasa sedih yang kututupi tak ingin mengacaukan suasana akrab seperti ini.

                Seminggu ini Grace selalu saja mengejarku kemana aku pergi, di kampus di tempat kos bahkan di kantor aku diteror oleh pesan dari nya. Dia memintaku untuk mendekatkannya  dengan Sam, seperti saat ini dia tengah membujukku dengan segenap tenaga namun ku biarkan santai karena aku juga sedang sibuk meneliti naskah novelku.
“Ayolah sweety, tolong peri cantikmu ini biar gak galau dan berubah jadi nenek sihir yang siap menyihirmu jadi kodok.” Bujuknya penuh canda.
“Idih gak mau bantu ah, bukannya di baikin malah mau di sihir jadi kodok. Jadi Rapunzel atau Dian Sastro gitu kek.” Gerutuku padanya tanpa melepas pandangan pada laptop dihadapanku.
“Gak maksud gitu, ya udah ntar aku gratisin gaun di butik mama deh terus aku doain biar cepet move on dari Muf.” Matanya memohon bagai anak kecil yang minta di beliin permen. Akupun langsung melepas pandangan pada laptop dan menatapnya penuh tanya, bukan karena terlalu berbinar karena gaun gratis di butik mama Grace yang menjadi langganan para kaum high class tapi karena nama Muf yang dilontarkannya.
“Muf?” aku menghela nafas sesak, Grace menyebut nama itu lagi. Menyadari raut muka ku, Grace langsung memelukku posesif.
“Aduh mulut aku ini emang gak bisa di rem deh, maaf Rara aku gak maksud ngingetin kamu sama hal itu.” Grace benar-benar menyesal menyebut nama terlarang itu di hadapanu , tentu saja sekuat apapun di tahan air mataku akan dengan indahnya meluncur dari kelopak mataku. Grace menenangkanku agar tak histeris, dia tak mau melihatku kembali histeris seperti dua tahun yang lalu dan sejak saat itu Grace tak pernah sedikitpun menyebut nama itu. Setelah cukup tenang Grace pamit pulang karena hari mulai malam, aku juga memberikan pin BBM milik Sam untuk dia bisa dekat sendiri dengan Sam.

                Aku dan Sam masih sibuk di depan laptop kami masing-masing, sesekali berdiskusi dan memberikan arahan kepadaku. Sudah hampir lima jam aku di ruangannya, membahas naskah novelku. Suasana begitu serius meski banyak perdebatan yang terdengar dari aku maupun Sam, pandangan kami juga tak pernah lepas dari laptop dan buku sesekali saling pandang memberi argument tanpa candaan, karena Sam begitu disiplin disaat seperti ini. Ya aku tahu itu, dengan sangat pasti. Tapi jangan harap ini berlangsung lama karena nanti jika pekerjaan sudah selesai atau masuk jam istirahat pasti sifat usilnya akan kambuh dan merajalela.
“Selesai.” Ucapku penuh kegembiraan. Sam manggut-manggut terlihat lelah namun semangat, kemudian menunjuk kearah jam dinding dengan dagunya.
“Aku lapar.” Suaranya begitu lemah seperti habis mencangkul sawah lima hektar, dan itu membuatku tertawa geli.
“Ayo ikut aku makan siang, eh sore lebih tepatnya.” Dia menyeretku bangkit dari kursi.
“Tapi ini sudah lewat jam istirahat mas. Nanti kalau ketahuan sama mbak Irma seperti waktu itu gimana?” ucapku, mengingat dulu dia di marahin habis-habisan sama mbak Irma yang merupakan asisten pak Dion yang cukup galak karena pergi keluar kantor tanpa alasan tugas disaat jam kerja.
“Inget aja, padahal kan udah lama itu. Tenang aja mbak Irma tugas luar kota sama pak Dion. Lagian aku belum istirahat kan dari tadi terus laper, kamu juga nanti kalau sakit aku yang repot kena marah banyak orang.”
“Oke deh, yuk berangkat.” Meraih tas yang ku selempangkan di bahu kiri.
“Semangat banget dah.” Ejeknya sambil mengikutiku berjalan keluar ruangannya.
                Restoran makanan sunda dekat kantor Sam menjadi pilihan kami, kami berdua duduk di meja deket jendela. Tempat favorit kami memang disamping jendela apalagi kalau lagi musim hujan, suasana itu yang slalu kami sukai. Sepanjang acara makan kami tak banyak bicara, aku sibuk dengan makananku karena lapar dan Sam sibuk dengan handphonenya sambil senyum-senyum sendiri, meski kadang memperhatikanku yang makan dengan lahap seperti orang nggak makan selama satu minggu.
“Mas..” panggilku pada Sam.
“Hm..” jawabnya tanpa menatapku.
“Mas Sam, kesambet apa?” mendengar pertanyaanku dia menoleh dan menatapku bingung.
“Maksudnya?”
“Dari tadi senyum-senyum gak jelas, nasi mu aku habisin baru tau rasa.” Gerutuku padanya
“Idih siapa yang gak jelas, orang lagi seneng BBM an sama cewek cantik kok.” Jawabnya enteng yang membuatku sedikit merasa sesak nafas.
“Cewek? Siapa mas? Sejak kapan deket sama cewek?” pertanyaan ku yang panjang membuatnya tertawa geli.
“Itu kepo apa cemburu sih? Nanya panjang banget gitu.” Tatapan matanya tepat di manik mataku, Ya Tuhan dia ganteng banget.
“Apaan juga cemburu, bukannya mas Sam biasanya paling anti kalau di BBM cewek gitu, kok sekarang malah genit sih.” Aku mencoba balik menatapnya tanpa terlihat gugup sekalipun.
“Aduh perhatian juga ternyata, kan biasanya juga BBM sama kamu biasa aja kan. Apa jangan-jangan kamu bukan cewek Ra?” godanya kepadaku.
“Reseh deh.” Aku pura-pura ngambek. “Palingan juga Grace yang BBM.” Lanjutku menjulurkan lidahku di hadapannya.
“Kok kamu tahu? Jangan bilang kamu yang ngasih pin BBM aku.” Aku yang mendengar ocehan Sam hanya bisa senyum gak jelas.
“Abis, maksa banget sih. Ya udah kasih aja siapa tahu jodoh sama Mas.” Jawabku menggoda, tapi jelas hatiku berkata sebaliknya. Akupun melanjutkan makan, dan membiarkan Sam sibuk dengan dunianya sendiri.

                Kedekatan Grace dan Sam semakin intens, entah harus turut bahagia atau malah sebaliknya melihat kedua orang yang kusayangi merasa bahagia. Setidaknya itulah aku lihat saat ini, dimana mereka sering menghabiskan waktu berdua, jalan berdua, makan berdua sampai nonton berdua layaknya orang pacaran. Tak mau ambil pusing, aku biarkan saja mereka semakin dekat dan bukankah itu yang aku inginkan agar mereka bisa semakin dekat. Aku sibukkan diriku dengan persiapan launching novelku yang kurang tiga hari ini, menyiapkan segala macam keperluan dari mulai percetakan novel sampai dress yang akan ku pakai nantinya. Kurasakan ada yang sedikit berubah dengan hidupku, oh iya sudah hampir seminggu ini Grace tak menghubunginya untuk sekedar memberi semangat atau bercerita tentang perkembangannya dengan Sam, dikampus seperti hari ini dia juga tak ada menyapaku. Kucoba mencarinya di kantin juga setiap sudut kampus namun tak juga ketemu, tak sengaja aku menoleh ke dalam perpus dan kulihat Grace disana. Tunggu dulu sejak kapan Grace datang ke perpus, anak itu kan paling anti kalau berhubungan dengan perpustakaan.
“Hai my lovely girl!” sapaku manis kepadanya seperti biasa, tapi dia malah hanya diam seolah tak mendengarkanku.
“My lovely girl! Grace…? Hallo?? Kenapa sih, ngambek gara-gara aku sibuk persiapan novel?” tanyaku memberondong karena dia kunjung merespon sapaan dan pertanyaanku.
“Ok aku minta maaf kalau terlalu sibuk sendiri..” belum selesai bicara Grace kini menatapku dengan tatpan benci yang tak pernah dia perlihatkan padaku.
“Sibuk sendiri? Bukannya sibuk berdua sama Sam?” aku tertegun mendengar pertanyaan Grace yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Dia kan memang editor aku my lovely girl. Wajar dong, kamu kenapa sih ada masalah sama dia?”
“Stop panggil aku dengan sebutan itu. Aku gak nyangka ya Ra, aku fikir kamu emang sahabat aku yang saling terbuka satu sama lain tapi kenyataannya kamu itu brengsek.” Bisiknya kepadaku penuh penekanan di akhir kalimatnya, dia berbisik karena ini perpus yang anti dengan suara riuh.
“Maksudnya apa sih? Aku gak ngerti kalau kamu gak cerita.”
“Kamu pura-pura kan ngedeketin aku ke Sam, padahal Sam itu sama kamu dan kamu juga sebaliknya. Kamu cuman mau ngebuat aku malu karena jujur ngomong ke Sam tentang perasaan aku ke dia. Salah aku apa sih Ra?” tangisnya pecah begitu saja, akupun tanpa sadar menetaskan airmataku diam tanpa suara. Grace beranjak dari tempat duduknya namun sebelumnya dia menoleh kembali kearah ku menyodorkan sebuah undangan.
“Undangan reuni angkatan, tepat sehari sebelum launching novelmu.” Lalu dia meninggalkanku sendiri yang masih penuh kebingungan.

                Reuni SMA, biasanya aku selalu bersama Grace menyapa riang teman lama bagaikan anak kembar yang tak terpisahkan. Dengan lesu aku masuk ke dalam gedung acara menyapa teman-teman yang sudah datang, tak kulihat sosok Grace yang biasanya slalu datang lebih awal dari acara dimulai. Apa Grace masih marah denganku, tapi aku sungguh gak ngerti apa hubungannya dengan Sam, apalagi beberapa hari ini aku belum bertemu dengan Sam karena sudah pasti dia lebih sangat sibuk daripada aku. Kupandangi pojok dinding foto yang berisi foto kami dari masih duduk bersama di SMA sampai acara reuni yang di adakan setahun sekali. Mataku tertuju pada satu frame foto dimana ada foto dua orang cewek dan cowok bercengkrama asyik, kalau tak salah foto ini diambil secara candid, Air mataku menetes tak tertahan, kalau dulu ada Grace yang slalu menenangkanku dan slalu protes pada panitia karena foto ini selalu saja di pajang.
“Muf, bener kata kamu kalau aku gak akan pernah bisa  ngejalanin semua tanpa kamu. Kamu kenapa sih perginya lama banget dan nggak kembali? Apa kamu udah gak sayang sama aku?” suaraku terdengar lirih.
“Sekarang Grace juga ninggalin aku, aku bisa digambarin kayak bungkus makanan bekas dipinggir jalan deh. Terbang kesana kemari kebawa angin gak ada yang peduliin.” aku tersenyum sinis, menertawakan diriku sendiri. “
Kamu inget kan pas aku ngambek sama Grace gara-gara aku pindah ke Jogja tanpa kalian tahu, yang hasilnya kalian nyusulin aku pindah kesini. Aku kangen banget sama kamu, pengen dipeluk lagi sama kamu, nutupin mata aku kalau sibuk sendirian. Pokoknya aku kangen kamu Muf!!” air mataku mengalir deras.
“Kenapa sih musti kamu yang mati duluan, kenapa harus kamu yang sakit. Kenapa gak aku aja, atau kita sakit dan mati bareng Muf. Kenapa??” amarahku begitu besar sampai beberapa anak yang berada didekatku menatap bingung dan tentu prihatin, tapi aku tak peduli dengan tatapan itu. Sekelabat kulihat Grace tak jauh dari tempatku berdiri, menatapku penuh arti. Tanpa peduli akupun meninggalkan acara ini, bahkan acara baru saja dimulai.

                Pagi ini harusnya menjadi hari yang membahagiakan bagiku, dimana satu mimpi kembali bisa aku wujudkan dengan segenap perjuanganku dan juga kebaikan Tuhan terhadapku. Namun sayang aku tak di damping lagi oleh Grace, sahabat yang paling mengerti aku dibanding diriku sendiri. Setelah persiapan selesai, aku dan seluruh tim istirahat sejenak untuk menenangkan diri dan memastikan persiapan telah sempurna. Kulirik Sam yang duduk disampingku, seolah menyimpan sebuah rahasia yang berhubungan dengan Grace dan aku.
“Sebenarnya apa yang Mas lakuin ke Grace?” tanyaku tanpa menoleh kepadanya.
“Hanya salah paham kecil, tak perlu di bahas.” Jawabnya tanpa beban. Kini aku menatapnya yang tertunduk dalam diam.
“Mas, please. Aku kenal banget Mas gimana, juga Grace aku sangat paham sifat kalian. Grace gak akan gitu aja marah dan bersikap seperti ini kalo gak terjadi apa-apa. Jujur mas.” Aku memohon penjelasan padanya. Yang ditanya malah hanya diam cukup lama sampai akhirnya menghela nafas berat.
“Dia nembak aku, tapi aku gak bisa.” Matanya terpejam menahan amarah.
“Kenapa? Grace cinta sama mas Sam, dia bisa move on juga karena mas Sam. Tolong mas, dia cewek baik kok malah sempurna. Apa yang kurang darinya?” Aku beranikan menatap wajahnya yang menengadah ke langit-langit ruang.
“Gak bisa, Ra. Aku udah jatuh cinta sama cewek lain. Dan Grace udah tahu siapa cewek itu”
“Tapi kenapa mas Sam kasih perhatian sama Grace seolah ngasih harapan?”
“Karena dia udah aku anggap seperti adik ku sendiri, Ra. Ya dia gadis yang sempurna maka dari itu aku mau jagain dia sebagai adik aku.” Kini dia menghadapkan wajahnya pada ku, meski masih menunduk lemas.
“Terus. Sii..sia..siapa cewek yang udah bikin mas Sam jatuh cinta?” entah kenapa dia begitu gagap melontarkan pertanyaan ini. Kini Sam menatap tepat di manik mataku, raut wajahnya sulit ku artikan membuat detak jantung ku berdetak tak beraturan.
“Cewek itu kamu. RARA SETIA RAHSYA.” Tangannya kini memegang wajahku lembut. Mendengar jawabannya membuat detak jantung yang sedari tadi berdetak tak karuan menjadi seolah berhenti berdetak beberapa detik, tanpa kusadari air mata ku menetes begitu saja dan aku tak mampu berkata apapun.
“Udah lama Ra aku memendam rasa ini untuk kamu, jauh sebelum kamu sama Muf.” Mendengar itu membuat mataku terbelalak tak percaya.
“Ya, kamu mungkin gak akan percaya bagaimana seorang Samuel Setiawan Mahendra bisa memendam selama itu. Cowok yang sering kali mengabaikan perhatian cewek lain hanya untuk meyakinkan diri sendiri kalau aku bisa punya kesempatan sama kamu Ra, sampai mati-matian nyari info tentang kamu saat hijrah ke sini.” Tangannya kini menggenggam tanganku.
“Tapi kenapa harus disaat Grace juga punya rasa yang sama untuk mas Sam? Grace itu sahabat bahkan sudah seperti saudara bagi ku.” Ucapanku terdengar lemah namun aku yakin mas Sam masih bisa mendengarnya. Mas Sam melepas pegangan tangannya tersenyum kecut, kembali menatap langit-langit ruang seolah memutar sebuah memori masa lalu.
“Ya, harusnya dulu Ra. Sayangnya aku terlalu bodoh ngalah gitu aja sama Muf, kalian sama-sama mencintai dan aku berusaha ngerelain meski gak pernah bisa.”
“Maksud Mas ngalah?”
“Muf sakit sudah lama, dan kami semua tahu umurnya mungkin gak sepanjang kami. Apapun yang menjadi kebahagiaannya berusaha kami wujudkan meski Muf sering menolak karena dia gak mau terlihat lemah. Dia sepupu ku, dan maaf aku ngebiarin Muf membuatmu bahagia lalu ninggalin kamu dalam kaeterpurukan gitu aja.” Nafasnya terdengar sangat berat, dan aku entahlah aku tak tahu harus berfikir seperti apa.

                Acara kali ini berjalan dengan baik dan professional, ego yang beberapa menit lalu menghampiri antara aku dan mas Sam dikesampingkan seolah tak terjadi apapun. Kulihat juga di baris pojok tamu undangan ada Grace yang seolah menutup diri, tapi aku yakin itu Grace dan dia tetap sahabat terbaikku. Bagaimanapun juga Grace yang paling mengerti aku disini, disaat aku harus jauh dari ke dua orang tua dan keluarga, Grace tak akan pernah membiarkanku sendirian sebenci apapun dia kepadaku. Selesai acara aku langsung menuju parkiran, melajukan motor matic kesayanganku untuk segera sampai di tempat kos. Acara pembubaran tim akan di adakan nanti malam sekaligus evaluasi dan syukuran kelancaran acara di café Nite, makanya aku memutuskan untuk segera pulang setelah berpamitan dengan pak Dion dan mbak Irma. Mandi dilanjutkan dengan menghempaskan tubuh di kasur mungkin akan sedikit membantu mengusir fikiran yang membebaninya sejak beberapa hari yang lalu.

                Café Nite jam tujuh malam, telah penuh dengan beberapa orang dari tim sukses yang membantu launching buku novel milikku, café ini di pesan mbak Irma khusu untuk acara mala mini. Banyak juga di antara mereka yang membawa serta pasangannya, termasuk pak Dion yang turut hadir bersama isterinya yang merupakan guru SMA ku. Dari beberapa orang belum ku lihat adanya Sam, mungkin dia terlambat atau bahkan tak datang. Entahlah sudah cukup beban fikiran ku saat ini, aku tak mau lagi memikirkan orang itu, aku harus melupakan semua rasa yang aku sendiri miliki, harus. Aku tak mau menyakiti siapapun disini, akan lebih baik jika aku menyakiti diri ku sendiri. Tak berselang lama pintu café terbuka, Nampak mas Sam dari balik pintu dan ternyata dia tak sendiri karena ada sosok wanita cantik di sampingnya, dia adalah Grace. Mereka terlihat serasi, Tuhan bantu aku lagi untuk tak merusak suasana bahagia disini dengan keterpurukanku sendiri. Sam dan Grace duduk satu meja dengan ku dan pak Dion serta isteringa juga mbak Irma, kami semua ngobrol seperti biasa seolah tak terjadi apapun, meski terlihat adanya jarak antara aku dan Grace. Cukup lama sampai tak terasa sudah hampir jam setengah sepuluh malam, pak Dion dan isterinya pamit pulang duluan di susul oleh mbak Irma. Untuk menghindari ke canggungan, akupun memutuskan untuk pamit juga. Hendak melangkah pamit pada yang lain, Sam mencengkram tanganku menghentikan langkah yang akan ku mulai.
“Ada apa, Mas? Sudah malam aku harus balik.”
“Duduk, kita perlu bicara.” Ucapnya pelan namun tegas. Aku menghela nafas dan menurutinya untuk kembali duduk, sekali menoleh pada Grace yang membuang pandangannya padaku.
“Langsung saja, Mas.” Grace membuka suara.
“Oke, aku mau minta maaf sama kalian tentang beberapa hal yang terjadi minggu ini. Aku tahu kalian sahabat sejati, jadi tak seharusnya kalian saling diam seperti orang yang tak kenal sama sekali seperti ini. Apalagi hanya karena aku.”
“Ini semua salahku, aku yang tak peka dengan kalian. Harusnya aku berfikir panjang sebelum ketakutan yang kufikirkan menjadi kenyataan, aku fikir Grace akan bahagia dengan mendekatkannya dengan mas Sam tapi salah aku malah membuatnya terluka. Aku bodoh.” Aku benar-benar tak bisa menahan tangis ku, dan tanpa ku harapkan air mataku mengalir deras.
“Nggak Ra, kamu nggak salah. Harusnya aku waspada untuk nggak ngasih harapan palsu sama Grace, dan juga ngebuang imajinasi ku untuk milikin kamu.” Sam terlihat frustasi menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
“Stop, saling menyalahkan! Kalian berdua emang salah, karena kalian nggak saling jujur tentang perasaan kalian yang memiliki rasa yang sama. Kalian hanya bisa berfikir untuk tidak menyakiti orang lain, tapi cara yang kalian lakuin salah.” Grace mulai menunjukkan amarah yang selama ini di tutupinya.
“Dan aku cuman, cewek bodoh yang tak bisa tahu situasi. Mengharapkan sesuatu yang dari awal udah aku tahu bahwa dia gak akan pernah aku dapetin. Aku gak marah karena aku ditolak Ra, tapi aku marah karena kamu gak jujur sama aku. Rasanya sia-sia tau gak selama ini kita bersahabat dan coba saling terbuka kalau nyatanya kamu tetap gak bisa jujur sama aku.”
“Aku cuman gak mau nyakitin kamu Grace. Aku tahu kamu jatuh cinta sama mas Sam, dan bisa move on dari kesedihan masa lalu kamu. Aku udah bisa lihat kebahagiaan yang dulu sempet hilang dari kamu Grace.”
“Tapi kamu salah Ra, karena aku gak akan pernah bahagia kalau sahabatku merelakan kebahagiaannya untuk aku.”
“Karena memang cuman kamu yang bisa ngedampingi mas Sam selamanya Grace bukan aku.” Ucapanku membuat kedua orang yang duduk dihadapan ku menfokuskan pandangannya pada ku.
“Maksud kamu apa?” tanya Sam menatapku menuntut penjelasan.
“Ya, aku jujur aku cinta sama mas Sam.” Aku berhenti bicara sejenak, Grace kini tersenyum miris bukan bahagia. Aku tahu itu.
“Tapi aku gak bisa, aku gak mau mas Sam ngerasain apa yang aku rasain. Kehilangan orang yang di cinta, aku selalu berusaha membuat mas Sam benci sama aku. Dengan segala kerelaan maka aku memutuskan menjodohkan kalian, apalagi ku lihat Grace begitu tertarik dengan mas Sam.”
“Tapi kenapa Ra? Kamu segitu bencinya sama aku? Apa salahku Ra? Biar aku perbaiki itu.” Tatapannya seolah memohon.
“Nggak ada kebencian dan tak ada yang harus di perbaiki.”
“Terus, apa maksudmu tadi?” Grace Nampak kebingungan.
“Besok aku harus balik, bertemu dengan keluarga pulang ke rumah. Aku mau kembali merasakan pelukan hangat keluarga di sisa umur ku.” Aku tersenyum lemah, Grace dan Sam melongo mendengar pernyataanku.
“Mm..maksud kamu? Sisa umur? Apa yang terjadi Ra?” Grace Nampak panic. Ya Grace meski dia sahabatku namun dia tak pernah tahu tentang hal ini, hanya mama dan papa yang tahu semuanya.
“Dokter udah nyerah Grace, aku sendiri udah capek bergantung sama obat dan rumah sakit. Segala macam pengobatan udah aku lakuin, tapi takdir memang tak bisa di paksa aku hanya tinggal nunggu saat itu datang. Mungkin aku akan bisa kembali bahagia bertemu dengan Muf.” Senyum ku mengembang seolah tanpa beban. Grace meraih tanganku, di genggamnya dengan lembut.
“Kamu pasti bercanda Ra, kamu sehat dan gak sakit apapun. Mana mungkin aku gak tahu, kita sahabatan dari kecil Ra. Kamu gak mungkin sembunyiin ini semua.” Grace masih tak percaya dengan apa yang ku ucapkan tadi begitu juga Sam, yang menatapku menuntut penjelasan.
“Aku dan kedua orang tua ku sengaja merahasiakan ini semua Grace. Bahkan aku tahu bahwa aku sakit setelah kepergian Sam, dimana aku benar-benar drop karena menghentikan minum obat yang awalnya mama bilang itu adalah vitamin yang harus aku minum setiap hari. Mereka juga aku hanya ingin aku di perlakukan sama, bukan di pandang dengan belas kasihan.” Grace kini berlari menuju bangku tempat ku duduk, menghempaskan tubuhnya memelukku dalam tangisan.

                Setelah kejadian malam itu di café Nite aku langsung kembali ke kota asal ku, seperti yang aku ingin kan juga ke dua orang tuaku. Menghabiskan waktu yang tersisa dengan kebersamaan keluarga yang sangat aku cintai, sisa waktu ini ku habiskan juga dengan membuat novel ke tiga ku. Seandainya saja ada banyak waktu untukku, aku memimpikan punya ribuan novel untuk semua orang baca. Sam dan Grace kini benar-benar belajar, memulai semuanya dari awal menuju jalan yang indah. Mereka bertekad ingin membuat ku merasakan kebahagian yang mereka rasakan. 

Sebulan ku rasa cukup sudah, aku benar-benar merasakan kebahagiaan dari semua sisi. Keluarga yang selalu ada untukku, sahabat setia yang tak pernah lepas meski banyak persoalan yang kami hadapi. Warna pelangi yang indah terkalahkan sudah dengan warna kehidupan yang aku miliki, Tuhan memabg sangat adil dan sayang pada setiap umat. Lelahku sudah menanti kini tiba saatnya aku akan tertidur lama, dan bertemu dengan yang sangat ku rindukan Muf yang menunggunya di kehidupan selanjutnya. Mungkin benar apa yang di katakan Muf, kalau hanya dia yang akan menjaga dan memelukku erat penuh sayang. Kini kita bertemu lagi Muf, meski minus candaan dari orang sekitar kita seperti dulu.