Minggu, 21 Desember 2014

Mawar Merah Itu Sang Malaikat Tanpa Sayap

Guyuran hujan membasahi tanah merah yang kini mendekap erat orang yang sangat dia cintai, meski terkadang dia masih belum bisa membahagiakan malah menyakiti hati tapi sosok yang kini sudah mendiami dimensi dunia yang berbeda tak sekalipun membenci sikap dan laku buruk selama ini. Dia ingin menangis menumpahkan segala rasa sedihnya tapi tak mampu, dadanya terasa sesak membawanya pada memori sebelum berada di depan gundukan tanah ini, dia merasa seolah tak pantas menangisi sosok bijak yang diam-diam dia kagumi, dia merasa hanyalah sosok anak durhaka yang tak  punya hak untuk menangisi karena selama hidup sosok ini dia hanya menyematkan luka yang tak seharusnya, dia menyesal sangat menyesal, berharap sekali bisa memutar waktu jika tahu usia sosok ini hanya sampai pada hari ini karena kesan terakhir begitu tak mengenakkan di ingat.

Tujuh hari sejak kepergiannya, dia mungkin terlihat tegar dengan mengikuti semua prosesi pemakaman dengan tanpa air mata tak ada yang tahu betapa tidak percayanya dia tentang hari itu. Dia masih menganggap Bunda nya masih akan bangun ketika akan dimandikan, bahkan saat pemakaman dia masoh berharap Bunda nya berdiri dan meminta pulang bersamanya, juga saat kini duduk ditengah acara tahlilan dia masih berharap Bunda nya muncul di depan pintu dan mengatakan "Bunda pulang, capek beberapa hari bantuin orang lahiran." dia menatap getir halaman rumahnya hanya kerabat, sahabat, dan tetangga yang sedang khidmat memanjatkan doa, harapannya musnah sudah Bunda nya tak akan kembali. Tak terasa air matanya menetes perlahan menjadi sebuah isakan yang menyakitkan setiap yang mendengar, dia bergumam lirih namun bisa di dengar orang yang duduk disampingnya "Ternyata Bunda beneran meninggal." setelah gumaman itu hanya terdengar isakan yang sungguh memilukan. Tujuh hari kepergian Bunda nya dan dia baru bisa menyadarinya bahwa ini bukan candaan Tuhan seperti yang diharapkannya.

Duduk bersandar pada sandaran kasur masih terdengar isakan tanpa air mata, memandangi seisi kamarnya sendiri yang memunculkan kenangan. Menatap cermin disamping kanan sisi kamar, tempat dimana Bunda sering nyerobot ikut bercermin meski dikamarnya sendiri ada cermin. Tumpukan buku bacaan di meja belajar, Bunda selalu ngomel kalau melihat dia terlalu sering membaca apalagi setelah diharuskan memakai kacamata sejak SMP karena minus di matanya yang mengganggu penglihatannya. Ada kacamata yang tergeletak disamping tumpukan buku, kacamata berjejer yang pertama di beli kan Bunda dengan sogikan es krim sampai yg terbaru dia beli dengan uang sendiri yang diantar langsung oleh Bunda ke optik meski kesehatan Bunda saat itu tak lagi sehat saat berjalan, Bumda senang saat melihat dia sudah sedikit bisa membeli kebutuhannya sendiri. Lalu kini dia menatap nanar pada bagian kosong disisi tempatnya duduk kini, biasanya Bunda selalu ikut tidur disini saat beliau kecapekan dan tak ada teman ngobrol maka Bunda pasti akan nyusul dia terlelap di kasur meski sering iseng dulu. Atau saat Bunda membangunkanya tiap pagi dan sore karena kebiasaan tidur kebablasan alis tukang tidur yamg dia lakukan membuat Bunda kadang jengkel.


Hari ini 233 hari tepat Bunda pergi tanpa pernah kembali, membagikan hanya sekedar cerita nostalgia bersama Ayah ataupun kisaj sehari-hari yang tak pernah mudah untuk dijalani beliau karena jauh dari sanak saudara kandung meski kini beliau memiliki anak dan banyak cucu yang siap menggenggam tangan renta di usia senjanya. 233 hari sudah beliau melewatkan semua momen yang harusmya membahagiakan tapi malah jadi mengharukan karena mengingat betapa belum bisanya dia dan para saudaranya mampu memberikan secuil kebahagiaan pada Bunda, Bunda melewatkan hari ulang tahun dia, ayah, kesemua kakaknya. Melewati hari ulangtahunnya sendiri yang selalu merrngek meminta hadiah sederhana,hanya sebuah pelukan dan ciuman penuh kasih sayang bukan sebuah perhiasan apalagi berlian yang beliau minta sebagai kado. Hari ini juga beliau melewatkan perayaan hari ibu, dimana moment terakhir perayaan Hari Ibu tahun kemarin dia baru bisa mengucapkannya meski demgan malu-malu karena tak terbiasa selama hidup 20 tahun lebih itu yang pertama malah disaat Bunda dalam keadaan sakit. Dan itu sukses menjadi kan moment perayaan Hari Ibu pertama dan terakhir yang bisa dia ucapkan secara langsung pada Bundanya karena kini nyatanya dia harus puas hanya menitiplan salam pada Bundanya lewat do'a.

Dia bergumam lirih menghadap jendela yang menampilkan awan teduh. " Bunda, andai kau masih bisa mendampingiku melewati hariku sampai nanti kau tahu betapa bahagianya aku? Maaf atas segala sikap, sering pulang malam hanya untyk mengikuti ekstrakulikuler yang jadi hobi ku sampai kadamg harus nginep disekolah membuat mu cemas setengah mati. Ngumpet di lemari karena kesal merasa terabaikan, membanting pintu tiap kali keinginanku tak kau wujudkan dengan mudah. Maaf belum bisa mewujudkan harapanmu untukku segera memiliki pendamping hidup. Maaf membuatmu harus terbaring sakit karena memikirkan semua sikap dan  keinginanku yg di luar batas, kata orang sebab kau sakit struk sampai terbaring dirumah sakit selama 2 minggu sampai jadi cacat setelahnya karena tak mampu berjalan sendiri, aku yang membuat kau begitu karena kau terlalu berfikir keras untuk menuruti keinginanku. Saat ku dengar ada yang menyalahkanku aku menangis bukan tak terima tapi sangat menerima hingga aku sendiri benci pada diriku sendiri saat bersikap denganmu saat itu.

Bunda, terimakasih atas segala yg ada di dirimu. Kalau kata orang bijak, ibu adalah sosok malaikat tanpa sayap yang sering terabaikan. Trrima kasih sudah jadi malaikat sekaligus mawar merahku, terima kasih atas segala hadiah dan es krim saat kau membujukku memakai kaca mata dan atas bujukan dg 2 kotak eskrim aku menyanggupi memakai benda konyol itu sampai saat ini. Terima kasih atas biaya hidup selama 20 tahun lebih hasil banting tulangmu, dari bayi sampai dewasa yang memiliki banyak keinginan. Terima kasih turut bangga atas sgala prestasi yg kuraih mulai dari modelling saat usia kanak-kanak sampai terakhir menyabet gelar di sebuah festival seni masa SMA, meski kau jengkel karena aku sering lupa waktu untuk kuluangkan untukmu tapi diam-diam kau bangga. Terima kasih juga telah beberapa kali hadir dalam mimpiku hanya untuk mengatakan bahwa kau sudah memaafkan semua kesalahan ku dan meminta ku untuk tak slalu menyalahkan diri sendiri. Tapi demi Tuhan saat kau memimt untuk tak lagi menyalahkan diri sendiri aku selalu berusaha meski sering kali gagal tapi harus ku coba berdamai dg kehidupan bukankah itu yg slalu kau ajarkan buka? Pada intinya terima kasih atas segalanya, kasih sayang dan segenap cinta yang tak pernah habisnya untuk kau bagi. Love you Bunda betapa aku merindukanmu."

Di usapnya air mata yang mulai mengering meninggalkan jejak di pipi chubbynya. Tersenyum menatap bingkai foto keluarga yang terlijat amat bahagia, mungkin satu sosok sudah meninggalkan dunia tapi kenangannya akan slalu abadi dalam sanubari siapapun yg mengenalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar